Minggu, 27 Desember 2009

Fariduddin `Attar,

Fariduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim lebih dikenal dengan nama Attar, si penyebar wangi . Meskipun sedikit yang diketahui dengan pasti tentang hidupnya, namun agaknya dapat dikatakan bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 506 H/1119 dekat Nisyapur di Persia Barat-Laut (tempat kelahiran Umar Khayyam) dan meninggal sekitar tahun 607 H/1220 di Syaikhuhah dalam usia yang amat lanjut. Sebagian besar dari apa yang diketahui tentang dirinya bersifat legendaris, juga kematiannya di tangan seorang perajurit Jenghis Khan. Dari catatan kenang-kenangan pribadinya yang tersebar di antara tulisan-tulisannya agaknya dapat disebutkan bahwa ia melewatkan tiga belas tahun dari masa mudanya di Meshed. Menurut Dawlatshah, suatu hari Attar sedang duduk dengan seorang kawannya di muka pintu kedainya, ketika seorang darwis datang mendekat, singgah sebentar, mencium bau wangi, kemudian menarik nafas panjang dan menangis. Attar mengira darwis itu berusaha hendak membangkitkan belas kasih mereka, lalu menyuruh darwis itu pergi. Darwis itu berkata, “Baik, tak ada satu pun yang menghalangi aku meninggalkan pintumu dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini. Tetapi aku sedih memikirkanmu, Attar. Mana mungkin kau pernah memikirkan maut dan meninggalkan segala harta duniawi ini?” Attar menjawab bahwa ia berharap akan mengakhiri hidupnya dalam kemiskinan dan kepuasan sebagai seorang darwis. “Kita tunggu saja,” ksts dsrwis itu, dan segera sesudah itu ia pun merebahkan diri dan mati.
Peristiwa ini menimbulkan kesan yang amat dalam di hati Attar sehingga ia meninggalkan kedai ayahnya, menjadi murid Syaikh Bukn-ud-din yang terkenal, dan kemudian dilanjutkan kepada sufi Abu Sa'id bin Abil Khair. Mulailah ia mempelajari sistem pemikiran sufi, dalam teori dan praktek. Selama tiga puluh sembilah tahun ia mengembara ke berbagai negeri, belajar di pemukiman-pemukiman para syaikh dan mengumpulkan tulisan-tulisan para sufi yang saleh, sekalian dengan legenda-legenda dan cerita-cerita. Kemudian ia pun kembali ke Nisyapur di mana ia melewatkan sisa hidupnya. Konon ia memiliki pengertian yang lebih dalam tentang alam pemikiran sufi dibandingkan dengan dua ratus ribu sajak dan banyak karya prosa. Ia hidup sebelum Jalaluddin Rumi. Ditanya siapa yang lebih pandai diantara keduanya itu, seorang sufi mengatakan, “Rumi membumbung ke puncak kesempurnaan bagai rajawali dalam sekejap mata; Attar mencapai tempat itu juga dengan merayap seperti semut.” Rumi mengatakan,”Attar ialah jiwa itu sendiri”. Setelah Attar menyelesaikan kajian tasawufnya dengan kedua gurunya itu, ia banyak membaca kitab-kitab tasawuf seperti Hikayat al-Masyaikh karya Abu Muhammad Ja'far bin Muhammad al-Khuldi (wafat 348 H/959), kitab al-Luma karangan Abu Nasser Abdullah bin Ali al-Sarraj (wafat 378/988), kitab Thabaqat al-Shufiyah karangan Abdurrahman Muhammad bin al-Husein al-Sulami (wafat 412 H/1021), kitab Hilyatul Aulia karangan Abu Na'im al-Asfihani (wafat 430 H/1038), kitab al-Risalah karangan Abul Qasim al-Qusyairi (wafat 465 H/1072), kitab Kasyf al-Mahjub karangan al-Hujwiri (wafat 467 H/1075) dan kitab-kitab tasawuf lainnya. Sebagaimana sufi-sufi lainnya, ia juga banyak mengadakan perjalanan dan salah satu di antaranya perjalanannya menuju Mekkah menunaikan ibadah haji. Disamping itu ia banyak bergaul dengan kaum sufi di masanya, hidup bersama mereka dan memimpin mereka.
Al-Attar bergelar di kalangan sufi dengan Saitu al-Salikin (Cemeti orang-orang sufi), karena ia mampu memimpin mereka berada dalam petunjuk suci dan dapat membakar cinta mereka dalam menuangkan kasih rindu mereka ke dalam karya-karya puisi dan prosa ketuhanan yang indah.
Karya-karya Fariduddin al-Attar berjumlah 114 judul, berbentuk puisi dan prosa dan seluruhnya berkaitan erat dengan ajaran-ajaran tasawuf dan kehidupan para sufi yang jatuh cinta kepada Tuhan. Diantara karya-karya al-Attar antara lain :

• Manthiq al-Thair

• Asrar Nameh

• Tazkiratul Aulia

Dalam Manthiq al-Thair , secara simbolis diceritakan perjalanan manusia menuju tuhan atas dasar keikhlasan dan kecintaan yang murni. Para burung yang melakukan perjalanan abadi itu harus melalui tujuh lembah yang luas dan amat berat, dimulai dengan lembah keraguan, lembah cinta, lembah pemahaman, lembah kebebasan, lembah keesaan murni, lembah ketakjuban dan terakhir adalah lembah kefanaan dan kefakiran. Menurut Attar, perjalanan sufi menuju Tuhan bukan didasarkan kepada pengetahuan akal tetapi didasarkan kepada pengetahuan batin melalui pintu hati yang terdalam. Dalam perjalanan menuju Tuhan, banyak orang yang berhenti dalam argumentasi rasional baik fiqih maupun Ilmu kalam atu lainnya yang sebenarnya masih dalam perjalanan permulaan. Maka perjalanan ini harus dilanjutkan dalam ilmu-ilmu kerohanian hingga mampu melaksanakan mujahadah dan riyadhah. Dalam pandangan attar, pengetahuan rasional itu dapat membantu dalam perjalanan namun bukan merupakan ilmu pamungkas. Dalam Asrar Nameh , Attar menganjurkan kepada kita agar beroleh keselamatan diperlukan menempuh jalan syariat, tarikat dan hakikat secara harmonis dan sempurna atau dengan kata lain, dimulai dengan pencarian dengan akal dan kemudian diikuti dengan kematapan keyakinan dalam hati.
Menurut Attar, dalam memasuki dunia tasawuf, orang tidak boleh tidak harus melaksanakan riyadhah dan mujahadah sebagaimana lazimnya dilaksanakan oleh para sufi. Sementara itu pelaksanaan berbagai pembersihan termasuk pembersihan jiwa, pemurnian niat, keteguhan hati dan kesiapan rohani selama dalam mujahadah dan riyadhah panjang menuju Tuhan. Dalam perjalanan akhir, orang akan sampai dalam maqam fana dan baqa, fana dengan dirinya dan baqa bersama Tuhannya. Dalam kedudukan seperti itu, Attar memperingatkan bahwa sampainya sufi kepada Tuhan itu bukan dalam bentuk ittihad atau hulul.
Dalam rangka memahami seluk-beluk tasawuf dan batas-batasnya serta bimbingan dan hikmah-hikmah para sufi yang dikaji, Attar menulis bukunya Tazkiratul Aulia . Konon, untuk menulis buku ini, Attar telah membaca kitab-kitab tasawuf tidak kurang dari 710 buah. Kitab itu ditulisnya, disamping karena dorongan dari sahabat-sahabatnya, juga karena dia beranggapan bahwa perkataan-perkataan para sufi itu ibarat bala tentara yang besar memperkuat dan membentengi hati orang-orang beriman yang sewaktu-waktu mendapat serangan atau cobaan-cobaan dalam perjalanan panjang dan dapat menumbuhkan dan menyuburkan bibit cinta abadi kepada Tuhan.
Sebagaimana telah diuraikan, perjalanan menuju Tuhan dijalankan melalui jalan hati degan segala kebersihan jasmani dan rohani sebagai pendukungnya. Agar perjalanan selalu dlam gelora dan penuh vitalitas, maka maqam mahabbah (cinta murni) adalah salah satu maqam yang amat penting dan menentukan. Dengan kata lain, perjalanan rohani yang jauh dan berat itu harus didorong dan dibakar terus dengan api cinta yang selalu bergejolak tanpa mengenal henti, ibarat binatang laron yang terbang malam menuju sinar api sampai terbakar karena dorongan cinta sejati.
Kupandang wajah-Mu dengan hati, Bersinar ibarat permukaan lautan, Adalah di sana laut semesta, Yang menyimpan seluruh mutiara? Karena al-Attar jatuh cinta, Hatinya berkobar terus berkobar, Tiap tarikan nafas terdalam, Berkilauan bara menyala.
Melalui riyadhah dan mujahadah, perjalanan menapak setingkat demi setingkat bergerak maju dan gerak maju itu lebih dari yang diperhitungkan karena jazabah yang datang daripada-Nya. Maka perjalanan itu tidak akan jauh bagi yang dikehendaki-Nya. Maka banyak isyarat dan tanda-tanda Ilahi yang ada di sekitar manusia, tetapi manusia banyak terlena atau alpa hingga isyarat dan tanda-tanda Ilahi menjadi asing bagi manusia. Keterlenaan dan kealpaan manusia itu karena pengaruh jasmani dan rohani yang tidak bersih, kelemahan jiwa karena himpitan materi dan kedurhakaan yang menjauhkan rahmat Ilahi. Maka riyadhah dan mujahadah diperlukan melebihi dari biasanya hingga terwujud kebersihan jasmani dan rohani dan jiwa menjadi sensitif dan tajam terhadap tanda dan isyarat ilahiyah itu.

Telah kau tunjukkan tanda untuk mengenal-Mu,

Kau adalah segala yang meliputi ciptaan ini,

Segala yang kulihat, tapi jiwa dalam tubuh,

Terhalang buat menatap-Mu,

Dan kau sembunyikan diri-Mu dalam jiwa suci,

O jiwa dalam jiwa! Rahasia dalam rahasia!

Segala yang ada ini ada dalam kau,

Namun, kau lebih dari segala ini.

Pada tahun 1862 ditemukan sebuah batu nisan di luar Nisyapur, yang didirikan antara tahun 1469 dan 1506 (Sekitar dua ratus lima puluh tahun sepeninggalan Attar). Di nisan itu terukir inskrpsi dalam bahasa Parsi yang berbunyi sebagai berikut :Allah kekal , Dengan nama Allah Yang Pengasih Yang Pengampun

Di sini di tanam Adn bawah, Attar menebarkan wangi pada jiwa orang-orang yang paling sederhana. Inilah makam seorang yang begitu mulia sehingga debu yang terusik kakinya akan merupakan kolirium di mata langit; maka syaikh Attar Farid yang terkenal, yang menjadi ikutan orang-orang suci; makam penebar wangi yang utama dengan nafasnya yang mengharumi dunia dari kaf ke kaf. Di kedainya, sarang para malaikat, langit bagai botol obat semerbak dengan wangi sitrun. Bumi Nisyapur akan terkenal hingga hari kiamat karena orang yang termasyur ini. Tambang emasnya terdapat di Nisyapur sebab ia dilahirkan di Zarwand di wilayah Gurgan. Ia tinggal di Nisyapur selama delapan puluh tahun, dan tiga puluh dua tahun dari waktu itu dilewatkannya dalam ketenangan. Dalam usia yang sudah amat lanjut ia dikejar-kejar pedang pasukan tentara yang menelan segalanya. Farid tewas di zaman Huluku Khan, terbunuh sebagai syahid dalam pembantaian besar-besaran yang terjadi ketika itu.... Semoga Tuhan Yang Maha Tinggi mempersegar jiwanya! Tinggkatkanlah, o Robbi, kebajikannya.
Makam orang yang mulia ini terletak di sini dalam wilayah pemerintahan Syah Alam, Seri Baginda Sultan Abu Igazi Hesein....
Selebihnya, inskripsi ini menyatakan pujian terhadap Sultan, bila, dan dimana ia meninggal dan dikuburkan. Maha Suci Engkau Ya Allah.... Muliakan lah dan Agungkan lah, serta abadikanlah harum wewangian semerbak hikmah yang tetap segar memasuki relung jiwa para penempuh spirit

Dalam perjalanan masa mereka kemudian mengembangkan doktrin kerohanian yang lebih tinggi yang disebut doktrin cinta ilahi. Menurut mereka hanya cinta (mahbbah wa `ishq) yang dapat membawa seseorang dekat kepada Tuhannya, sebab sifat Tuhan yang . Pada abad-abad itu kesusasteraan sufi bertambah subur perkembangannya dengan munculnya penulis-penulis sufi Parsi terkemuka seperti Sana`i, Abu Sa`id al-Khayr, Khwaja Abdullah Anshari, Baba Kuhi, Baba Tahir, Fariduddin `Attar,

MANTIQ AT TAYR

Salah satu karya terbesar ‘Attar adalah Mantiq at-Tayr, yaitu musyawarah para burung. Di dalamnya, ‘Attar menggambarkan secara simbolik mengenai penapakan jalan kerohanian atau tasawwuf yang dapat ditempuh melalui tujuh lembah, yaitu: lembah pencarian (talab), lembah cinta (`isyq), lembah kearifan (ma`rifah), lembah kebebasan atau kepuasan hati (istighna), lembah kesaksian kalbu mengenai ke-Esa-an Allah (tauhid), lembah ketakjuban (hayrat), serta lembah kefakiran (faqr) dan (fana`).

Namun, `Attar menganggap bahwasanya jalan-jalan tasawuf yang dimaksud sebenarnya adalah merupakan jalan cinta, sedangkan ke-tujuh lembah yang dimaksud, tidak lain adalah keadaan-keadaan yang berkaitan dengan cinta. Misalnya, ketika seseorang memasuki lembah pencarian. Cintalah yang pada dasarnya mendorong seseorang yang bersangkutan untuk melakukan pencarian. Sedangkan lembah-lembah lainnya adalah merupakan tahapan berikutnya yang sekiranya akan dicapai dalam jalan cinta tersebut.

Mantiq al-Tayr, adalah sebuah alegori sufi yang menceritakan tentang penerbangan para burung dalam proses pencariannya akan sosok seorang raja, yang berada di puncak gunung Qaf, yang mereka sebut sebagai Simurgh. Dalam pencarian tersebut para burung dipimpin oleh Burung Hud hud.

Lembah pertama yang dilalui oleh burung-burung tersebut, adalah lembah pencarian (talab). Di lembah ini, seseorang atau jiwa manusia yang dilambangkan dengan burung-burung, diharuskan untuk memiliki cinta dan harapan, karena dengan kedua hal tersebutlah, seseorang dapat bertindak lebih sabar dalam menghadapi rintangan serta godaan yang dijumpainya. Dalam lembah ini juga, ia harus melepaskan kecintaannya akan dunia dan jasmani. Dengan demikian, ketika ia berhasil melakukannya, ia akan merasakan kerinduan yang amat sangat terhadap-Nya, serta rela mengabdikan diri kepada-Nya. Setelah itu, dengan sendirinya, ia akan berada dalam naungan Cinta, serta diberikan anugerah dengan menyaksikan cahaya Keagungan Tuhan.

Lembah yang Kedua, yaitu lembah Cinta (isyq). Di sini, `Attar melambangkan cinta sebagai api yang terang, yaitu mata batin yang dapat menembus bentuk-bentuk jasmani dan menyikap rahasia yang terdapat dalam ciptaan. Sedangkan, ‘Attar melambangkan pikiran (akal) sebagai asap yang mengaburkannya. Sehingga, cinta yang sejati dapat menyingkap apa yang ada di balik asap tersebut.

Berkaitan dengan hubungan antara cinta dan pikiran (akal) ini, Syah Nikmatullah Wali memberikan sumbangsihnya dalam mengartikan bahwa cinta dan pikiran (akal), adalah ibarat dua sayap yang berasal dari satu burung yang sama, yaitu yang disebut dengan jiwa. Ia berkata:

Akal dipakai untuk memahami

Keadaan manusia selaku hamba-Nya

Cinta untuk mencapai kesaksian

Bahwa Tuhan itu Satu[1]

Di lembah Cinta ini, ada begitu banyak cobaan serta ujian, yang dapat menyesatkan seseorang. Hanya petunjuk Tuhan lah, yang dapat menyelamatkannya dari bahaya. Namun, petunjuk tersebut hanya akan datang berdasarkan ikhtiyar dan doa yang dipanjatkan, baik oleh dirinya sendiri, maupun oleh orang lain. Seperti halnya yang terdapat dalam kisah Syekh San’an dan gadis yunani yang beragama nasrani.

Lembah Ketiga, yaitu lembah kearifan (ma’rifah). Kearifan adalah sebuah pengetahuan yang berisi tentang Zat Yang Abadi, dengan demikian, ia akan selalu terjaga kesadarannya tentang Tuhan Yang Satu. Dengan adanya kearifan, seseorang akan dapat selalu terjaga dari adanya tipu muslihat, serta waspada terhadap kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya.

Seseorang yang telah berhasil mencapai makrifat, akan menerima cahaya sesuai dengan usaha yang telah dilakukannya, serta akan mengenal kebenaran Ilahi. Orang yang telah mengenal hakekat segala sesuatu, akan memandang dunia melalui penglihatan hatinya yang telah tercerahkan, serta tidak lagi terpaku pada sesuatu yang tidak berguna, karena perhatiannya telah tertuju sepenuhnya terhadap yang Hakiki.

Lembah Keempat, yaitu lembah kebebasan atau kepuasan hati (istighna). Di lembah ini, tidak ada lagi nafsu dan keinginan-keinginan pribadi maupun duniawi yang dapat memenuhi jiwa seseorang, karena pandangannya telah tercerahkan oleh kehadiran Ilahi. Di sini, seseorang telah merasa tercukupi dengan adanya rahmat yang telah dilimpahkan Tuhan kepadanya. Untuk mencapai tingkat ini, seseorang harus mengganti segala keraguan yang ada dengan keteguhan iman (haqq al-yaqin).

Lembah Kelima, yaitu lembah kesaksian kalbu mengenai ke-Esa-an Allah (Tauhid). Di lembah ini, seseorang menyadari bahwa sebenarnya hakekat wujud yang beraneka ragam itu sebenarnya satu, yaitu manifestasi Cinta Yang Satu, rahman dan rahim-Nya. Dan, segala sesuatu yang kelihatannya berbeda, terlihat bahwasanya semuanya berasal dari hakekat yang sama. Meskipun, pada awalnya ia melupakan segalanya, namun selanjutnya, ia akan menyadari bahwasanya ia selalu bersama dengan Tuhan Yang Esa.

Ralph Waldo Emerson, dalam The Celestial Love, menyatakan:

Hendaknya engkau meratapi cinta;

Di dalam bayangan, yang darinya semuanya terbentuk

Ke dalam satu bentuk, kemudian semuanya melebur……

Membimbing dunia dengan ikatan dan persyaratan;

Dimana hal-hal yang tidak sama menjadi serupa;

Di mana kebaikan dan keburukan,

Pekik kegembiraan dan rintih kesedihan,

Melebur menjadi satu.[2]

Lembah Keenam, yaitu lembah ketakjuban (Hayrat). Di lembah ini, kita akan tenggelam dalam sebuah ketakjuban yang amat sagat, yang karenanya, seolah-olah kita berada dalam suatu kebingungan. Siang seakan menjadi malam, dan malam seakan menjadi siang. Kesusahan dan kebahagiaan seakan sulit untuk dibedakan. Dan segala sesuatunya menjadi semakin tak jelas batasannya.

Lembah Ketujuh, yaitu lembah kefakiran (Faqir) dan (Fana). Faqir, adalah suatu kesadaran bahwasanya dia tidaklah memiliki sesuatu apapun kecuali cinta kepada-Nya. Namun demikian, hal ini tidaklah mengindikasikan bahwasanya seorang faqir sama sekali tidak memperdulikan segala seuatu selain-Nya, melainkan, ia menandang segala sesuatunya dengan tetap merujuk kepada-Nya. Dengan adanya kefakiran, seseorang mampu memaknai setiap kejadian yang terjadi dalam kehudupannya, dengan tidak hanya terpaku pada makna formal semata.

Dalam akhir kisah pencarian ini, ‘Attar menuliskannya sebagai berikut: “Tahukah kau apa yang kaumiliki? Masuklah ke dalam dirimu sendiri dan renungkan ini. Selama kau tak menyadari kehampaan dirimu, dan selama kau tak meninggalkan kebanggan diri yang palsu, serta kesombongan dan cinta diri yang berlebihan, kau tidak akan mencapai puncak keabadian. Di jalan tasawuf kau mula-mula akan dicampakkan ke dalam lembah kehinaan, kemudian baru kau akan diangkatnya ke puncak gunung kemuliaan”.

MAKNA DI BALIK MANTIQ AT-TAYR

Mantiq at-tayr, merupakan sebuah perumpamaan yang menggambarkan dan menceritakan keadaan rohani dan pengalaman mistik seorang sufi, yang juga adalah sebuah proses pencarian dalam menempuh jalan tasawuf. Burung-burung, yang melakukan perjalanannya dalam mantiq at-tayr tersebut, adalah menggambarkan jiwa manusia yang merindu akan Tuhannya serta akan hakikat dirinya yang hakiki. Yang pada dasarnya, jiwa yang bersangkutan itu mampu untuk terbang mengembara menuju alam lain di luar tubuh dan fikiran manusia itu sendiri, seperti halnya burung yang dapat terbang melalui kedua sayapnya.

Menurut para sufi, jiwa manusia adalah bagaikan seekor burung yang memiliki dua sayap, yaitu akal dan cinta (kalbu). Yang pada dasarnya, jika jiwa-jiwa itu merindukan Tuhan dan hakikat dirinya sendiri, dengan sendirinya, ia akan melakukan sebuah perjalanan penerbangan dengan akal dan cinta (kalbu) yang dimilikinya.

Sedangkan burung-burung lain yang juga melakukan perjalanan tersebut, yang pada dasarnya terdiri dari berbagai jenis burung yang berbeda-beda, juga mencerminkan hakikat-hakikat manusia yang memiliki kecenderungan yang berbeda-beda pula. Yang pada dasarnya, hal-hal tersebut seringkali mempengaruhi manusia itu sendiri dalam melakukan perjalanan menuju kebenaran yang hakiki.

Burung Hud hud, yang memimpin perjalanan kerohanian tersebut, adalah melambangkan atau menggambarkan sebuah jiwa manusia yang uncommon, yaitu seorang guru kerohanian atau sufi, yang pada dasarnya telah mencapai tingkatan makrifat yang tinggi.

Simurgh, yang menjadi obyek pencarian dalam perjalanan tersebut, adalah melambangkan hakikat diri manusia itu sendiri, yang juga melambangkan hakikat kebenaran tertinggi. Sebagaimana diceritakan dalam mantiq at tayr tersebut, Simurgh berada di puncak gunung yang tinggi, seperti halnya hakikat diri manusia itu sendiri, yang pada dasarnya memiliki posisi yang tertinggi. Dalam kisah Mantiq al-Tayr tersebut, jumlah burung yang berhasil menjumpai Simurgh berjumlah tiga puluh ekor. Si-murgh, dalam bahasa Persia berarti tiga puluh. Dengan demikian, kisah pencarian para burung ini adalah merupakan kisah penerbangan jiwa-jiwa manusia dalam mencari hakikat dirinya sendiri.

Bukit Qaf, adalah melambangkan suatu pengalaman atau pencapaian tingkat kerohanian yang tertinggi. Dalam sastra sufi, bukit digunakan untuk melambangkan pertemuan antara manusia dengan Tuhan, serta dengan hakikat dirinya sendiri.

Tujuh lembah, adalah melambangkan tahapan-tahapan perjalanan kerohanian jiwa manusia dalam mencapai Cinta Ilahi. Pada tiap lembah atau tahapan perjalanan yang ditempuh, ada banyak tantangan serta pengalaman-pengalaman mistik yang dialami oleh para jiwa yang melakukan perjalanan kerohanian tersebut. Dan, pada setiap lembahnya, jiwa-jiwa manusia itu akan mengalami pengalaman-pengalaman yang berbeda.

Berkaitan dengan lembah terakhir yang dilalui oleh jiwa manusia tersebut, `Attar menuliskan sebagai berikut.

Melalui kesukaran dan kehinaan jiwa burung-burung itu luluh

Dalam fana, sementara tubuh mereka menjadi debu

Setelah dimurnikan maka mereka menerima hidup baru

Dari Cahaya Hadirat Tuhan yang Baqa

Sekali lagi mereka menjadi hamba-hamba berjiwa segar

Perpuatan dan kebisuan mereka pada masa yang lampau

Telah lenyap dan hapus dari lubuk dada mereka

Matahari Kehampiran bersinar terang dari dalam diri mereka

Jiwa mereka diterangi oleh cahaya petunjuk-Nya

Dalam pantulan wajah tiga puluh burung (si-murgh) dunia

Mereka lantas menyaksikan wajah Simurgh

Apabila mereka memandang ke dalam diri mereka

Ya nampak, itulah Simurgh, bukan lain.

Tidak diragukan bahwa Simurgh ialah tiga puluh (si-murgh) burung

Semua bingung penuh ketakjuban, tidak tahu apa mereka ini atau itu

Mereka memandang diri mereka tiada lain ialah Simurgh[3]

Nasehat Baginda Rasulullah SAW kepada Fatimah Az Zahro

Suatu hari masuklah Rasulullah SAW menemui anakndanya Fatimah az-zahra rha. Didapatinya anakndanya sedang menggiling syair (sejenis bijirin) dengan menggunakan sebuah penggilingan tangan dari batu sambil menangis.

Rasulullah SAW bertanya pada anakndanya, “Apa yang menyebabkan engkau menangis wahai Fatimah? semoga Allah SWT tidak menyebabkan matamu menangis”. Fatimah rha. berkata, “ayahanda, penggilingan dan urusan-urusan rumahtangga lah yang menyebabkan anaknda menangis”.

Lalu duduklah Rasulullah SAW di sisi anakndanya. Fatimah rha melanjutkan perkataannya, “ayahanda sudikah kiranya ayahanda meminta ‘Ali (suaminya) mencarikan anaknda seorang jariah untuk menolong anaknda menggiling gandum dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah?”.

Mendengar perkataan anakndanya ini maka bangunlah Rasulullah SAW mendekati penggilingan itu. Beliau mengambil syair dengan tangannya yang diberkati lagi mulia dan diletakkannya di dalam penggilingan tangan itu seraya diucapkannya “Bismillaahirrahmaa nirrahi
im”.

Penggilingan tersebut berputar dengan sendirinya dengan izin Allah SWT. Rasulullah SAW meletakkan syair ke dalam penggilingan tangan itu untuk anakndanya dengan tangannya sedangkan penggilingan itu berputar dengan sendirinya seraya bertasbih kepada Allah SWT dalam berbagai bahasa sehingga habislah butir-butir syair itu digilingnya.

Rasulullah SAW berkata kepada gilingan tersebut, “berhentilah berputar dengan izin Allah SWT”, maka penggilingan itu berhenti berputar lalu penggilingan itu berkata-kata dengan izin Allah SWT yang berkuasa menjadikan segala sesuatu dapat bertutur kata. Maka katanya dalam bahasa Arab yang fasih, “ya Rasulullah SAW, demi Allah, Tuhan yang telah menjadikan engkau dengan kebenaran sebagai Nabi dan Rasul-Nya, kalaulah engkau menyuruh hamba menggiling syair dari Masyriq dan Maghrib pun niscaya hamba gilingkan semuanya. Sesungguhnya hamba telah mendengar dalam kitab Allah SWT suatu ayat yang berbunyi : (artinya)

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang dititahkan-Nya kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang dititahkan”.

Maka hamba takut, ya Rasulullah kelak hamba menjadi batu yang masuk ke dalam neraka. Rasulullah SAW kemudian bersabda kepada batu penggilingan itu, “bergembiralah karena engkau adalah salah satu dari batu mahligai Fatimah az-zahra di dalam syurga”. Maka bergembiralah penggilingan batu itu mendengar berita itu kemudian diamlah ia.

Rasulullah SAW bersabda kepada anakndanya, “Jika Allah SWT menghendaki wahai Fatimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah SWT menghendaki dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat.

Ya Fatimah, perempuan mana yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah SWT menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan mengangkatnya satu derajat.

Ya Fatimah, perempuan mana yang berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya maka Allah SWT menjadikan antara dirinya dan neraka tujuh buah parit.

Ya Fatimah, perempuan mana yang meminyaki rambut anak-anaknya dan menyisir rambut mereka dan mencuci pakaian mereka maka Allah SWT akan mencatatkan baginya ganjaran pahala orang yang memberi makan kepada seribu orang yang lapar dan memberi pakaian kepada seribu orang yang bertelanjang.

Ya Fatimah, perempuan mana yang menghalangi hajat tetangga-tetanggany a maka Allah SWT akan menghalanginya dari meminum air telaga Kautshar pada hari kiamat.

Ya Fatimah, yang lebih utama dari itu semua adalah keredhaan suami terhadap isterinya. Jikalau suamimu tidak redha denganmu tidaklah akan aku do’akan kamu. Tidaklah engkau ketahui wahai Fathimah bahwa redha suami itu daripada Allah SWT dan kemarahannya itu dari kemarahan Allah SWT?.

Ya Fatimah, apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya maka beristighfarlah para malaikat untuknya dan Allah SWT akan mencatatkan baginya tiap-tiap hari seribu kebaikan dan menghapuskan darinya seribu kejahatan. Apabila ia mulai sakit hendak melahirkan maka Allah SWT mencatatkan untuknya pahala orang-orang yang berjihad pada jalan Allah yakni berperang sabil.

Apabila ia melahirkan anak maka keluarlah ia dari dosa-dosanya seperti keadaannya pada hari ibunya melahirkannya dan apabila ia meninggal tiadalah ia meninggalkan dunia ini dalam keadaan berdosa sedikitpun, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman syurga, dan Allah SWT akan mengkurniakannya pahala seribu haji dan seribu umrah serta beristighfarlah untuknya seribu malaikat hingga hari kiamat.

Ya Fatimah, perempuan mana yang melayani suaminya dalam sehari semalam dengan baik hati dan ikhlas serta niat yang benar maka Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya semua dan Allah SWT akan memakaikannya satu persalinan pakaian yang hijau dan dicatatkan untuknya dari setiap helai bulu dan rambut yang ada pada tubuhnya seribu kebaikan dan dikurniakan Allah untuknya seribu pahala haji dan umrah.

Ya Fatimah, perempuan mana yang tersenyum dihadapan suaminya maka Allah SWT akan memandangnya dengan pandangan rahmat.

Ya Fatimah, perempuan mana yang menghamparkan hamparan atau tempat untuk berbaring atau menghias rumah untuk suaminya dengan baik hati maka berserulah untuknya penyeru dari langit(malaikat) , “teruskanlah ‘amalmu maka Allah SWT telah mengampunimu akan sesuatu yang telah lalu dari dosamu dan sesuatu yang akan datang”.

Ya Fatimah, perempuan mana yang meminyakkan rambut suaminya dan janggutnya dan memotongkan kumisnya sertakukunya maka Allah SWT akan memberinya minuman dari sungai-sungai syurga dan Allah SWT akan meringankan sakratulmautnya, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman syurga serta Allah SWT akan menyelamatkannya dari api neraka dan selamatlah ia melintas di atas titian Sirat”

Kamis, 24 Desember 2009

Maulana Jalaluddin Rumi


Jalaluddin RumiSiapa yang berperilaku sesuai dengan perkataannya, dialah yang tercerahkan, yang menolak hubungan-hubungan biasa dari dunia. (Dzun-Nun al-Mishri)

Maulana (secara harfiah bermakna “Guru Kita”) Jalaluddin Rumi, pendiri Tarekat Para Darwis Berputar, dalam karirnya menjadi bukti ungkapan Timur, “Para raksasa muncul dari Afghanistan dan mempengaruhi dunia.” Ia dilahirkan di Bactria, dari sebuah keluarga bangsawan pada awal abad ketiga belas. Ia tinggal dan mengajar di Iconum (Rum) di Asia Kecil, sebelum munculnya Kerajaan Utsmani, yang tahtanya menurut seruannya ia tolak. Karya-karyanya ditulis dalam bahasa Persia, dan dipandang tinggi oleh orang Persia karena kandungan puitis, kesusastraan dan mistiknya. Sehingga karya-karya ini disebut sebagai “al-Qur’an dalam bahasa Pehlevi (bahasa Persia)” — meskipun karya-karya ini bertentangan dengan kepercayaan bangsa Persia, sekte Syi’ah, yang dikritik atas eksklusivismenya.

Di kalangan orang Muslim Arab, India dan Pakistan, Rumi dipandang sebagai salah seorang dari guru mistik tingkat pertama — meskipun ia menyatakan bahwa ajaran-ajaran al-Qur’an bersifat alegoris,dan ia memiliki tujuh makna yang berbeda. Jangkauan pengaruh Rumi sulit untuk bisa diperkirakan, meskipun hal ini terkadang bisa dilihat secara sekilas, pada kesusastraan dan pemikiran dari berbagai madzhab. Bahkan Doktor Johnson, yang terkenal karena pernyataannya yang tidak menyenangkan, mengatakan tentang Rumi, “Ia menjelaskan kepada Peziarah akan rahasia-rahasia dari jalan Kesatuan, dan menyingkap Misteri-misteri dari jalan Kebenaran Abadi.”

Jalaluddin Rumi 4Karyanya telah cukup dikenal dalam kurun waktu kurang dari seratus tahun setelah kematiannya pada 1273, karena Chaucer menggunakannya sebagai rujukan sebagian karyanya, bersama-sama dengan bahan dari ajaran-ajaran guru spiritual Rumi, Aththar sang Kimiawan (1150-1229/30). Dan berbagai rujukan terhadap bahan bahasa Arab yang bisa ditemukan pada Chaucer, bahkan suatu pengujian secara cepat memperlihatkan suatu pengaruh Sufi dari Madzhab Rumi dalam literatur. Penggunaan Chaucer terhadap ungkapan seperti, “Singa mungkin bisa mengambil pelajaran ketika seekor anjing dihukum …,” merupakan adaptasi semata yang terkait pada kata-kata, idhtrib al-kalba wa ya’khud addaba al-fahdu (“Pukullah anjing dan singa akan mengambil pelajaran!”), sebagai suatu ungkapan rahasia yang digunakan oleh Para Darwis Berputar. Penafsirannya bergantung pada suatu permainan pada kata-kata “anjing” dan “singa”. Meskipun ditulis demikian rupa, pengucapan kata kunci tersebut dipergunakan secara homofone. Sebagai ganti mengucapkan “anjing” (kalb), Sufi mengatakan “hati” (qalb), dan sebagai ganti kata “singa” (fahdu) adalah kata fahid (“kelalaian”). Ungkapan tersebut sekarang menjadi, “Pukullah hati (dengan latihan-latilian Sufi) dan kelalaian (fakultas-fakultas [jiwa]) akan bersikap (dengan benar).”

Ini merupakan slogan yang memperkenalkan gerakan-gerakan “pemukulan hati” yang didorong oleh gerakan dan konsentrasi pada Mevlevi — “Para Darwis Berputar”.

Hubungan antara Canterbury Tales (Cerita-cerita Canterbury) sebagai sebuah alegori perkembangan batin dan Parliament of the Birds dari Aththar merupakan persoalan menarik lamnya. Profesor Skeat mengingatkan kita bahwa, seperti Aththar, Chaucer memiliki tiga puluh pengikut. Tiga puluh Peziarah tersebut mencari burung mistik, dan nama burung itu adalah Simurgh. Nama ini masuk akal dalam bahasa Persia, sebab Simurgh bermakna “tiga puluh burung”.

Akan tetapi dalam bahasa Inggris pengubahan (bentuk) semacam ini tidaklah mungkin. Jumlah peziarah tersebut, yang diperlukan dalam bahasa Persia sebab adanya persyaratan irama, dipertahankan Chaucer, menghilangkan makna ganda. The Pardoner’s Tale terdapat pada Aththar, cerita pohon pear ditemukan pada Kitab IV dari karya Sufinya Rumi, Matsnawi.

Jalaluddin Rumi 2Pengaruh Rumi, baik dalam gagasan maupun secara tekstual, cukup besar di Barat. Karena semua karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat pada tahun-tahun terakhir ini, maka dampaknya semakin besar. Tetapi jika ia, seperti ProfesorArberry menyebutnya, “benar-benar penyair mistis terbesar dalam sejarah manusia,” maka puisi-puisi sendiri yang di dalamnya begitu banyak memaparkan ajaran-ajarannya, hanya benar-benar bisa diapresiasi dalam bahasa Persia aslinya. Meskipun demikian, ajaran-ajaran dan metode-metode yang dipergunakan oleh Para Darwis Berputar dan madzhab-madzhab lainnya yang dipengaruhi Rumi, tidaklah terlalu sulit ditemukan, dengan syarat bahwa cara dalam meletakkan kebenaran-kebenaran esoterik tersebut bisa dipahami.

Ada tiga dokumen dimana melalui ini karya Rumi bisa dikaji oleh dunia luar. Kitab Matsnawi-i-Manawi (Sajak-sajak Spiritual) merupakan karya utama Jalaluddin — terdiri dari enam kitab (bagian) puisi dan metafora yang bentuk aslinya memiliki kekuatan sedemikian rupa, sehingga pembacaannya bisa menghasilkan suatu kebahagiaan (spiritual) kompleks secara aneh bagi kesadaran pendengarnya.

Karya ini diselesaikan dalam waktu empat puluh tiga tahun. Sebenarnya ia tidak bisa dikritik sebagai karya puisi, sebab mengandung gagasan, bentuk dan penyajian yang pelik dan khas. Mereka yang mencari bait konvensional semata di dalamnya, seperti dinyatakan Profesor Nicholson, harus membolak-balik karya tersebut secara cepat. Dan kemudian mereka akan kehilangan pengaruh dari apa yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk seni khusus, yang diciptakan Rumi untuk menyampaikan makna-makna, yang oleh Rumi sendiri diakui tidak memiliki padanan sesungguhnya dalam pengalaman manusia biasa. Mengabaikan pencapaian luar biasa ini sama halnya dengan memilih-milih rasa (makanan) tanpa selai strawberry.

Karena terlalu menekankan peranan puisi besar dalam lautan Matsnawi, terkadang Nicholson memperlihatkan suatu kesukaan terhadap syair formal.

Jalaluddin Rumi 3Matsnawi,” katanya (Introduction, Selection from the Diwan of Shams of Tabriz, hlm. xxxix), “mengandung suatu kekayaan puisi yang mencerahkan. Tetapi para pembacanya harus menempuh jalan melalui apologi, dialog dan penafsiran-penafslran nash-nash Qur’ani, kepelikan-kepelikan metafisis dan petuah-petuah moral secara bersamaan sebelum mereka memiliki kesempatan menikmati suatu bagian dari kidung murni dan tinggi.”

Bagi Sufi, jika bukan bagi siapa saja, kitab ini berbicara dari suatu dimensi yang berbeda, bahkan suatu dimensi yang bagaimanapun berada di dalam dirinya yang terdalam.

Seperti semua karya Sufi, Matsnawi akan beragam pengaruhnya terhadap pendengarnya sesuai dengan kondisi-kondisi dimana karya ini dikaji. Kitab ini memuat lelucon, fabel, pembicaraan, rujukan kepada para mantan guru dan metode-metode yang bisa mengantarkan pada ekstase (ecstatogenic) — suatu contoh fenomenal dari metode pencerai-beraian, dimana sebuah gambar disusun dengan multi-dampak untuk memasukkan pesan ke dalam pikiran Sufi.

Pesan ini, Rumi maupun semua guru Sufi lainnya, secara parsial disusun sebagai jawaban terhadap lingkungan di mana ia bekerja. Ia menciptakan tarian dan gerakan-gerakan memutar di kalangan para muridnya. Menurut riwayat, hal ini disebabkan temperamen lamban dan malas dari orang yang diajarinya. Apa yang disebut sebagai variasi doktrin atau tindakan yang ditetapkan oleh berbagai guru Sufi sebenarnya tidak lain merupakan penerapan dari aturan ini.

Dalam sistem pengajarannya, Rumi mempergunakan penjelasan dan latihan mental, pemikiran dan meditasi, kerja dan bermain, tindakan dan diam. Gerakan-gerakan “tubuh-pikiran” dari Para Darwis Berputar dibarengi dengan musik tiup untuk mengiringi gerakan-gerakan tersebut, merupakan hasil dari metode khusus yang dirancang untuk membawa seorang Salik mencapai afinitas dengan arus mistis, untuk ditransformasikan melalui cara ini. Segala sesuatu yang dipahami oleh orang yang belum tercerahkan (orang biasa) memiliki kegunaan dan makna dalam konteks khusus Sufisme yang mungkin tidak terlihat sampai hal itu dialami. “Doa,” ucap Rumi, “memiliki bentuk, suara dan realitas fisiknya. Segala sesuatu yang memiliki kata (nama), memiliki padanan fisiknya. Dan setiap pemikiran memiliki suatu (bentuk) tindakan.”

Salah satu karakteristik yang benar-benar Sufistik dari Rumi adalah bahwa, sekalipun tentu ia akan memberikan pernyataan tegas yang paling tidak populer — bahwa orang biasa, apa pun pencapaian formalnya, tidak dewasa dalam mistisisme — ia juga memberikan kesempatan bagi hampir semua orang untuk mencapai kemajuan menuju penyempurnaan nasib manusia.

Jalaluddin Rumi 5Seperti para Sufi yang berada di dalam suatu atmosfir teologis, pertama kali Rumi menunjukkan para pendengar terhadap persoalan agama. Ia menekankan bahwa bentuk dimana didalamnya merupakan kebiasaan dalam beragama dan bersifat emosional yang dipahami oleh badan-badan (lembaga) terorganisir, tidaklah benar. Tabir Cahaya, yang merupakan penghalang yang diakibatkan oleh sikap pembenaran diri, adalah lebih berbahaya dibanding Tabir Kegelapan, yang dihasilkan didalam pikiran oleh kejahatan. Pemahaman hanya bisa dihasilkan dengan cinta, bukan dengan pelatihan melalui cara-cara terorganisir.

Baginya (Rumi), para guru tertua dari agama-agama adalah benar. Para penerusnya, kecuali sebagian kecil, mengelola persoalan-persoalan itu sedemikian rupa sehingga secara menyeluruh menutup kemungkinan pencerahan. Sikap ini menuntut suatu pendekatan baru terhadap persoalan-persoalan agama. Rumi memahami seluruh persoalan tersebut di luar saluran normal. Ia tidak dipersiapkan untuk menyerahkan dogma pada studi dan dalil (argumen). “Agama sejati,” tuturnya, “adalah berbeda dari yang diduga orang. Oleh sebab itu, tidak ada nilainya untuk mengkaji dan menguji dogma.” “Di dunia ini,” ucapnya, “tidak ada padanan dari hal-hal yang disebut sebagai Arasy (Tuhan), Kitab, Malaikat, Hari Hisab. Perumpamaan digunakan, dan semua itu secara pasti sekadar suatu gagasan kasar tentang sesuatu yang lain.”

Dalam kumpulan ucapan dan ajarannya yang berjudul Fihi Ma Fihi (Di Dalamnya adalah Apa yang Ada di Dalamnya), yang digunakan sebagai buku-buku rujukan para Sufi, ia bahkan melangkah lebih jauh. “Manusia,” tuturnya, “melewati tiga jenjang. Pada jenjang pertama, ia menyembah apa saja –manusia, perempuan, uang, anak-anak, bumi/tanah dan batu. Kemudian, ketika sedikit lebih maju, ia menyembah Tuhan. Pada akhirnya, ia tidak berkata, ‘Aku menyembah Tuhan,’ maupun, ‘Aku tidak menyembah Tuhan.’ Ia telah melewati tahapan ketiga.”

Untuk mendekati jalan Sufi, sang Salik harus menyadari bahwa dirinya, sebagian besar merupakan serangkaian dari apa yang saat ini disebut pengkondisian — gagasan-gagasan kaku dan prasangka, kadang-kadang respon otomatis yang telah terjadi melalui pelatihan orang lain. Manusia tidaklah sebebas yang diduga. Tahapan pertama bagi seseorang adalah untuk melepaskan diri dari pemikiran bahwa dirinya mengerti dan benar-benar mengerti. Tetapi manusia telah diajar, bahwa dirinya bisa memahami melalui proses yang sama, yaitu proses logika. Ajaran ini telah melemahkannya.

“Jika engkau mengikuti cara-cara yang telah diajarkan kepadamu, yang mungkin telah engkau warisi, karena hanya ada alasan lain selain ini, maka engkau tidak logis.”

Pemahaman agama, dan hal-hal yang telah diajarkan oleh para tokoh agama besar, merupakan bagian dari Sufisme. Sufisme menggunakan terminologi dari agama biasa, tetapi dengan cara khas yang selalu menyulut kemarahan dari penganut nominalnya. Secara umum, bagi Sufi, masing-masing guru keagamaan menyimbolkan, dalam ibadahnya dan terutama dalam kehidupannya, suatu aspek dari jalan yang totalitasnya adalah Sufisme. “Yesus ada dalam dirimu,” ucap Rumi; “carilah pertolongannya. Dan kemudian, jangan mencari dari dalam dirimu sendiri, dari Musamu, kebutuhan bagi seorang Fir’aun.”

Jalan-jalan keagamaan yang dirintis Sufi itu dinyatakan oleh Rumi ketika ia mengatakan bahwa jalan Yesus adalah perjuangan dengan kesunyian dan mengatasi nafsu. Jalan Muhammad adalah hidup di dalam masyarakat sebagai manusia biasa. “Pergilah dengan jalan Muhammad!” tuturnya, “tetapi jika engkau tidak mampu, maka pergilah dengan jalan Kristiani!” Di sini Rumi bukan berarti menyeru pendengarnya untuk memeluk salah satu dari agama ini. Ia sesungguhnya menunjukkan jalan-jalan di mana di dalamnya sang Salik bisa menemukan pencerahan melalui pemahaman. Sufi menghargai terhadap jalan-jalan yang dikandung, pada Yesus dan Muhammad.

Demikian juga, ketika Sufi berbicara tentang Tuhan, ia tidak memaksudkan ketuhanan dalam pengertian sebagaimana dipahami oleh seorang yang telah dilatih oleh teolog. Tuhan (dalam pengertian teologis) ini diterima oleh sebagian orang, yakni orang yang saleh; ditolak oleh yang lain, yakni para atheis. Bahkan ia merupakan suatu penolakan, atau penerimaan terhadap sesuatu yang telah diberikan oleh kalangan skolastik dan kependetaan. Tuhan para Sufi tidak dilihat dalam kontroversi ini; sebab bagi Sufi, Tuhan merupakan persoalan pengalaman pribadi.

Semua ini tidak berarti bahwa seorang Sufi berusaha membuang pelatihan fakultas penalaran. Rumi menjelaskan bahwa akal adalah esensial, tetapi ia memiliki tempatnya tersendiri. “jika engkau ingin membuat baju, kunjungilah penjahit, maka akal akan mengatakan kepadamu penjahit mana yang dipilih. Akan tetapi, setelah itu akal harus menahan diri. Engkau harus memberikan kepercayaan penuh kepada penjahit bahwa akan menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan benar.” “Logika,” kata Rumi, “membawa seorang pasien ke dokter. Setelah itu, secara utuh ia berada di tangan sang dokter.”

Tetapi seorang materialis yang terlatih baik, meskipun ia mengaku bahwa dirinya ingin mendengar apa yang bisa dikatakan seorang mistikus kepadanya, tidak bisa diberitahu semua kebenaran. Ia tidak akan mempercayainya. Kebenaran tidak didasarkan materialisime lebih daripada logika. Disinilah mistiskus bekerja dengan serangkaian ranah yang berbeda, sementara seorang materialis hanya pada satu ranah. Akibat dari hubungan mereka pastilah bahwa Sufi bahkan akan tampak tidak konsisten dalam pandangan materialis. Jika pada hari ini ia mengatakan sesuatu yang dikatakannya secara berbeda dengan hari kemarin, ia akan tampak sebagai pembohong. Paling tidak, situasi yang berada pada tujuan-tujuan yang berseberangan akan merusak setiap kesempatan untuk maju dengan sikap saling memahami.

“Mereka yang tidak memahami suatu hal,” ucap Rumi, “akan mengatakan bahwa hal itu tidak berguna. Tangan dan alat adalah bagaikan batu dan baja. Pukullah batu dengan tanah. Apakah percikan api akan terjadi?” Salah satu alasan mengapa Sufi tidak mengajar secara umum adalah karena agamawan yang telah terkondisikan, atau seorang materialis, tidak akan memahaminya:

Seekor burung rajawali raja bertengger di sebuah reruntuhan bangunan yang dihuni oleh burung-burung hantu. Mereka berpendapat bahwa rajawali itu datang untuk mengusir mereka dari rumahnya dan untuk ditempatinya sendiri. “Reruntuhan ini tampak mewah bagi kalian. Bagiku, tempat yang lebih baik adalah di tangan Raja,” tutur si rajawali. Sebagian burung hantu tersebut berteriak, “Jangan mempercayainya. Ia menggunakan tipuan untuk mengambil rumah kita!”

Penggunaan dongeng dan ilustrasi seperti fabel di atas sangat luas di kalangan para Sufi, dan Rumi dikenal sebagai pakarnya.

Pemikirannya yang sama seringkali disampaikan oleh Rumi dalam banyak bentuk, agar bisa dipahami pikiran. Para Sufi mengatakan bahwa suatu idea akan memasuki pikiran yang terkondisikan (tertabiri) hanya jika ia disusun begitu baik sehingga mampu melewati dinding kondisional. Kenyataan bahwa non-Sufi sangat sedikit memiliki kesamaan dengan Sufi itu berdasar pada yang ada dalam setiap diri manusia, dan yang tidak seluruhnya bisa dimatikan oleh bentuk pengondislan apa pun. Unsur-unsur inilah yang mendasari perkembangan Sufi. Salah satu unsur dasar dan permanen adalah unsur cinta. Cinta merupakan faktor yang akan membawa seseorang dan semua orang, pada pencerahan:

“Panasnya ruang pembakaran mungkin terlalu berat bagimu untuk bisa mengambil manfaat dari pengaruh panasnya; sementara nyala api yang lebih lemah dari sebuah lampu bisa memberikan tingkatan panas yang engkau butuhkan.”

Setiap orang, ketika mencapai jenjang tertentu karena kemampuan yang semata-mata bersifat personal, mengira bahwa ia bisa menemukan jalan menuju pencerahan melalui dirinya sendiri. Anggapan ini ditolak oleh para Sufi, sebab mereka mempertanyakan bagaimana seseorang bisa menemukan sesuatu sementara ia tidak tahu apa sebenarnya sesuatu tersebut. “Setiap orang menjadi pencari emas,” ucap Rumi, “tetapi orang awam tidak mengetahuinya ketika ia melihatnya. Jika Anda tidak bisa mengenalinya, bergabunglah dengan orang bijak.”

Orang awam, karena mengira ia berada di jalan pencerahan, seringkali hanya melihat pantulannya. Sinar mungkin bisa dipantulkan ke dinding; dinding tersebut merupakan tempat bagi sinar. “Jangan tempelkan dirimu ke batu-bata dari dinding itu, tetapi carilah (cahaya) asli yang abadi!”

“Air membutuhkan suatu perantara, sebuah tungku, antara tungku dan api itulah air dipanaskan dengan benar.”

Bagaimana cara seorang Salik menemukan tugasnya dalam mencari jalan yang benar? Pertama, ia tidak boleh mengabaikan kerja dan harus tetap “hidup” di dunia. “Jangan menyerah dan berhenti kerja!” perintah Rumi. Sungguh, “Khazanah yang engkau cari berasal darinya.” Ini merupakan satu alasan mengapa semua Sufi harus memiliki sebuah kegiatan konstruktif Meskipun demikian, kerja bukan saja kerja biasa atau bahkan kreativitas yang bisa diterima secara sosial. Ia meliputi kerja-diri; alkimia menjadikan seseorang berkepribadian sempurna: “Wool di tangan seorang yang berpengetahuan, menjadi permadani. Tanah menjadi istana. Kehadiran manusia spiritual menciptakan perubahan serupa.”

Pada awalnya seorang yang bijak merupakan pembimbing seorang murid. Segera setelah memungkinkan, guru ini melepaskan si murid, sebagai orang yang memperoleh hikmahnya sendiri, dan kemudian ia melanjutkan kerja-dirinya. Para guru palsu dalam Sufisme, sebagaimana di mana saja, tidaklah sedikit. Maka para Sufi dihadapkan pada situasi aneh, sebab sementara guru palsu bisa jadi tampak seperti asli (karena ia berusaha keras untuk berpenampilan seperti yang diinginkan muridnya), sedangkan Sufi sejati seringkali tidak seperti apa yang dikira oleh Salik yang belum terlatih dan belum bisa membedakan.

Rumi mengingatkan, “Jangan menilai seorang Sufi sebagai seseorang yang bisa dilihat, sobat. Berapa lama, seperti seorang anak kecil, engkau hanya lebih menyukai kacang dan roti?”

Guru palsu sangat memperhatikan penampilan, dan mengetahui bagaimana membuat seorang murid mengira bahwa ia adalah orang besar, bahwa ia memahaminya, bahwa dirinya memiliki rahasia-rahasia besar yang akan diungkap. Seorang Sufi memiliki banyak rahasia, tetapi ia harus menjadikan rahasia-rahasia tersebut berkembang dalam diri murid. Sufisme merupakan sesuatu yang diberikan kepadanya. Guru palsu akan menjaga para pengikutnya agar tidak menjauh dari dirinya untuk selamanya, tidak mengatakan kepada mereka, bahwa mereka tengah diberikan latihan yang harus berakhir secepat mungkin, sehingga mereka bisa merasakan perkembangan mereka sendiri dan melanjutkan hidup sebagai orang-orang yang tercerahkan.

Rumi menyeru kepada para skolastik, teolog dan pengikut guru palsu, “Kapan kalian berhenti menyembah dan mencintai timbanya? Kapan kaki mulai mencari airnya?” Hal-hal lahiriah merupakan sesuatu yang biasanya dinilai oleh kebanyakan orang. “Ketahuilah perbedaan antara warna anggur dan warna gelasnya.”

Sufi harus mengikuti semua rutinitas pengembangan-diri; sebaliknya semata-mata konsentrasi terhadap salah satunya akan menyebabkan ketimpangan, yang bisa membawa pada kerugian. Laju pengembangan setiap orang berbeda-beda. “Sebagian,” ucap Rumi, “memahami semuanya hanya dengan membaca sebuah baris (ajaran). Yang lain, yang benar-benar telah hadir pada suatu peristiwa, mengetahui semua tentang hal itu. Kemampuan pemahaman berkembang bersama kemajuan spiritual seseorang.”

Meditasi-meditasi Rumi meliputi beberapa gagasan yang mencolok, yang dirancang untuk membawa Salik ke dalam suatu pemahaman tentang kenyataan bahwa secara temporer ia berada di luar hubungan dengan realitas utuh, meskipun kehidupan biasa tampak sebagai totalitas dari realitas itu sendiri. Apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan dan alami dalam kehidupan wajar dan belum tercerahkan, menurut pemikiran Sufistik, hanyalah sebagian dari keseluruhan yang besar. Ada dimensi-dimensi yang hanya bisa dicapai melalui upaya keras. Seperti bagian gunung es yang tampak di permukaan, keseluruhan badan gunung itu ada di sana, meskipun tidak terlihat di bawah kondisi-kondisi wajar. Jika seperti gunung es realitas tersebut jauh lebih besar dari yang biasa diduga oleh pengamatan superfisial.

Rumi mempergunakan berbagai analogi untuk menjelaskan hal ini. Salah satu paling mengejutkan adalah teorinya tentang tindakan. Katanya, ada sesuatu yang disebut sebagai tindakan komprehensif, dan juga ada tindakan individual. Kita terbiasa melihat, dalam indera dunia biasa, semata tindakan individu. Semisal, sejumlah orang sedang membuat sebuah tenda. Sebagian menjahit, yang lain mempersiapkan tali, sebagian lagi menenun. Mereka semua ikut ambil bagian dalam suatu tindakan komprehensif, meskipun masing-masing tampak sebagai tindakan individual. Jika kita berpikir tentang pembuatan tenda, hal itu adalah tindakan komprehensif dari keseluruhan kelompok, dimana itulah yang penting.

Dalam arah-arah tertentu, para Sufi menyatakan, kehidupan harus dipandang sebagai keseluruhan, demikian juga secara individual. Hal ini sesuai dengan keseluruhan rencana, tindakan komprehensif dalam kehidupan, sangatlah mendasar bagi pencerahan.

Sedikit demi sedikit, di saat pengalamannya meningkat, Sufi mulai membentuk kembali pemikirannya selaras dengan garis ini. Sebelum ia benar-benar memiliki pengalaman mistisisme, ia adalah seorang yang lugu, tidak terlibat, atau memiliki suatu idea yang secara menyeluruh khayali tentang sifat dasar pengalaman tersebut, terutama tentang Guru dan jalan (Tarekat). Rumi memberikan kepadanya meditasi-meditasi yang dirancang untuk mengatasi perkembangan berlebihan dari idea-idea tertentu yang mengalir deras di kalangan orang yang belum memperoleh pengajaran (Sufistik). Manusia mengharap diberi sebuah kunci emas. Tetapi sebagian lebih cepat berkembang dari yang lain. Seorang yang bepergian melewati kegelapan itu masih bisa disebut sedang bepergian. Sang murid akan belajar (sesuatu) ketika ia tidak mengetahui bahwa dirinya tengah belajar, dan sebagai hasilnya ia mungkin akan terlumuri (pengetahuan). Di musim dingin, Rumi mengingatkan, sebuah pohon tengah mengumpulkan makanan. Orang mungkin mengira bahwa pohon tersebut bermalas-malasan, sebab mereka tidak melihat sesuatu yang terjadi. Tetapi di musim semi mereka melihat untaian-untaian bunga. Sekarang, pikirnya, ia tengah bekerja. Ada waktunya untuk mengumpulkan dan ada waktunya untuk mengeluarkannya. Hal ini membawa subyek kembali pada ajaran: “Pencerahan harus datang sedikit demi sedikit — jika tidak, tak terbendung”.

Sarana-sarana skolastisisme, yang digunakan sebagai latihan bagi para Sufi, digantikan oleh pelatihan esoterik, dan hal ini harus dilakukan sesuai dengan kapasitas murid. Alat-alat pandai besi, ucap Rumi, “di tangan tukang tambal sepatu adalah seperti benih yang ditabur ke dalam pasir. Dan alat-alat tukang tambal sepatu di tangan petani adalah seperti jerami yang ditawarkan kepada anjing, atau tulang yang diberikan pada keledai.”

Sikap terhadap konvensi-konvensi biasa dalam kehidupan mengalami suatu pengujian. Persoalan jeritan batin manusia dipandang, bukan seperti sebuah kebutuhan Freudian, tetapi sebagai sesuatu instrumen alamiah yang melekat pada pikiran untuk memungkinkannya mencapai kebenaran. Rumi mengajarkan bahwa manusia sebenarnya tidak mengetahui apa yang mereka inginkan. Jeritan batinnya dinyatakan dalam ratusan keinginan yang mereka duga sebagai kebutuhan mereka. Namun hal ini bukanlah hasrat mereka sesungguhnya, sebagaimana pengalaman memperlihatkan. Karena ketika tujuan-tujuan ini tercapai, jeritan tersebut tidak berhenti. Rumi pastilah melihat Freud sebagai seorang yang terobsesi oleh salah satu perwujudan sekunder dari jeritan besar tersebut; bukan sebagai seorang yang telah menemukan dasar jeritan itu.

Demikian juga, orang-orang tampak jahat dalam pandangan seseorang — tetapi bagi lainnya mereka mungkin terlihat baik. Hal ini disebabkan dalam satu pikiran terdapat idea ketidakpuasan, sementara pada lainnya terdapat pandangan kebaikan. “Ikan dan kail kedua-duanya sama-sama hadir.”

Sufi mempelajari kekuatan pelepasan-diri, kemudian diikuti kekuatan mengalami apa yang ia pertimbangkan, tidak sekadar melihatnya. Untuk melakukan hal ini, ia diperintahkan gurunya untuk merenungkan peringatan Rumi, “Orang yang kenyang dan kelaparan tidak melihat hal yang sama ketika kedua-duanya melihat sepotong roti.”

Jika seseorang sangat tidak terlatih sehingga ia dipengaruhi oleh kebiasaannya sendiri, ia tidak bisa berharap untuk bisa mempunyai banyak kemampuan. Rumi memusatkan pada kontrol pengembangan; kontrol melalui pengalaman, bukan semata-mata melalui teori tentang yang baik dan buruk, benar atau salah. Teori ini masuk dalam kategori kata-kata, “Kata-kata, dalam dirinya sendiri, tidaklah penting. Anda memperlakukan seorang tamu dengan baik, dan berbicara beberapa patah kata yang lembut kepadanya, karenanya ia bahagia. Tetapi jika Anda memperlakukan orang lain dengan menggunakan beberapa patah kata dengan kasar, ia akan merasa sakit. Bisakah beberapa patah kata tersebut bermakna kebahagiaan atau kesedihan? Ini merupakan faktor-faktor sekunder, dan bukan faktor sesungguhnya. Kata-kata mempengaruhi orang yang lemah.”

Murid Sufi berkembang melalui berbagai latihan dalam melihat segala hal dengan cara pandang baru. Ia juga berbuat, bertindak dengan cara berbeda dalam suatu situasi tertentu daripada yang seharusnya ia lakukan. Ia memahami makna yang lebih mendalam karena anjuran-anjuran sebagai berikut, “Ambillah mutiaranya, bukan kulitnya! Engkau tidak akan menemukan sebuah mutiara di setiap kulit. Sesosok gunung jauh lebih besar dari sesosok batu mirah.” Apa yang tampak lazim bagi orang pada umumnya, mungkin berlalu di atas dasar sebuah kebijakan dan dipandang sebagai biasa, secara mendalam menjadi penuh makna bagi Sufi yang dalam intensitasnya menemukan hubungan dengan sesuatu yang disebutnya sebagai “yang lain” — faktor dasar yang sedang dicarinya. “Apa yang tampak sebuah batu bagi orang biasa,” lanjut Jalaluddin Rumi, “adalah mutiara bagi sang Alim.”

Kini kehalusan pengalaman spiritual tampak sekilas bagi sang Salik. Jika ia seorang pekerja kreatif, ia memasuki jenjang itu ketika inspirasi kadangkala masuk ke dalam dirinya, tetapi tidak pada waktu yang lain. Jika ia rentan terhadap pengalaman ekstatik, akan menemukan bahwa perasaan penuh makna yang membahagiakan dalam keutuhan itu datang secara singkat sehingga ia tidak mampu mengendalikannya. Rahasia melindungi dirinya sendiri. “Pusatkan perhatian pada spiritualitas seperti yang engkau inginkan –ia akan membutakan dirimu jika engkau tidakmampu melihatnya. Tulislah hal ini, bicarakan dan ulaslah — ia akan gagal untuk memberikan manfaat kepadamu: ia akan terbang. Namun, jika rahasia itu menyentuh pusat pikiranmu, ia mungkin datang ke tanganmu, seperti seekor burung yang jinak. Layaknya burung merak, ia tidak akan hinggap di tempat yang tidak layak.”

Hanya ketika telah melampaui jenjang perkembangan inilah, seorang Sufi bisa menyampaikan sesuatu tentang jalan itu kepada orang lain. Jika ia mencobanya sebelum melampaui jenjang tersebut, “Ia akan lenyap”.

Di sini juga letak arti penting suatu keseimbangan halus antara (keadaan-keadaan) ekstrim yang sangat mendasar itu, atau keseluruhan upaya itu akan sia-sia. “Pikiran Anda sebagai jaring itu begitu halus,” tutur Rumi. Ia harus disesuaikan dengan tepat agar bisa menangkap sasarannya. Jika ada kesedihan, jaring itu terkoyak. Jika terkoyak, ia tidak berguna. Karena cinta yang terlalu besar, begitu pula karena penentangan yang terlalu besar, jaring itu terkoyak. “Jangan lakukan keduanya!”

Lima indera batin mulai berfungsi jika kehidupan batin individu dibangkitkan. Makanan batiniah yang dibicarakan oleh Rumi itu mulai mempengaruhinya. Indera-indera batin bagaimanapun menyerupai indera-indera lahiriah, tetapi “perbandingan indera batin dengan indera lahiriah seperti emas dan tembaga”.

Karena setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda, para Sufi pada jenjang ini mengembangkan dengan cara-cara tertentu. Adalah biasa bagi sejumlah fakultas batin dan berbagai kemampuan khusus untuk berkembang secara bersamaan dan harmonis. Berbagai perubahan kepekaan batin itu mungkin terjadi, tetapi perubahan itu sama sekali berbeda dengan perubahan batin dari orang-orang yang belum berkembang menuju kepribadian sejati. Kekasaran batin orang-orang awam ini digantikan oleh perubahan dan interaksi dari cita rasa yang lebih tinggi, dimana cita rasa yang lebih rendah dipandang sebagai refleksi semata.

Konsepsi Sufi tentang hikmah dan kebodohan mengalami suatu perubahan. Rumi memahaminya sebagai berikut, “Jika seseorang benar-benar bijaksana dan tidak memiliki kebodohan, ia akan dihancurkan oleh kebijaksanaannya sendiri. Oleh karena itu, kebodohan bisa dihargai, sebab ia berarti bagi kelangsungan eksistensi. Kebodohan dalam perubahan ini merupakan kolaborator hikmah, sebagaimana malam dan siang saling melengkapi.”

Bekerjanya hal-hal yang bertentangan secara bersamaan merupakan tema penting lain dalam Sufisme. Ketika pertentangan nyata bisa didamaikan, individualitas bukan saja utuh, ia juga bisa melampaui ikatan-ikatan manusia awam sebagaimana kita memahaminya. Individu itu, selama kita bisa menyatakannya sedekat mungkin, sangatlah kuat. Apa makna pernyataan ini dan bagaimana terjadinya adalah persoalan-persoalan dari pengalaman pribadi, di luar dunia penulisan semata. Rumi mengingatkan kita pada lain tempat, dalam ucapannya yang tertulis dengan kata-kata: “Kitab sang Sufi bukanlah huruf-huruf yang kelam, kitabnya seputih kalbu.”

Sekarang sang Sufi mempunyai pandangan batin tertentu yang terkait dengan perkembangan suatu intuisi yang selalu benar. Perasaannya terhadap pengetahuan sedemikian rupa, sehingga dengan membaca sebuah kitab, ia bisa membedakan fakta dan fiksi, tujuan sejati penulisnya dari unsur-unsur lainnya. Kalangan yang secara khusus terancam oleh kemampuan ini adalah para peniru yang mengaku sebagai Sufi. Sementara orang yang mempunyai intuisi itu akan mempunyai kemampuan tembus pandang. Bahkan pengertiannya tentang keseimbangan memperlihatkan kepadanya betapa jauh si peniru itu dari tujuan Sufisme. Rumi mengulas fungsi ini dalam Matsnawi. Ajaran ini secara setia disampaikan pula oleh para guru Sufi ketika mereka menemukan bahwa murid telah mencapai jenjang ini: “Peniru itu seperti penyalur. Ia sendiri tidak minum, tetapi ia mungkin bisa memindahkan air kepada orang yang kehausan.”

Karena telah mengalami kemajuan di jalan itu, Sufi menyadari betapa rumit dan berbahayanya jalan itu jika tidak dijalankan sesuai dengan metode yang telah dikembangkan selama berabad-abad. Dengan menggunakan fabel, Matsnawi mencatat jenjang dari pengalaman ini. Seekor singa memasuki sebuah kandang, memangsa seekor sapi yang tinggal di dalam kandang itu, lalu ia duduk ditempat si sapi. Kandang itu gelap, si pemilik sapi masuk dan mencari-cari sapinya. Tangannya meraba-raba tubuh singa itu. Si singa berkata dalam hati, “Jika ada cahaya, pastilah ia akan mati ketakutan. Ia menyentuhku hanya karena menduga bahwa aku adalah sapinya.” Jika fabel ini dibaca sebagai cerita biasa, penggambarannya yang singkat dan menarik ini mungkin dipahami sebagai sejenis orang bodoh yang terburu-buru masuk ke tempat di mana para malaikat sendiri takut merambahnya.

Pemahaman terhadap makna sejati di balik berbagai peristiwa duniawi yang tidak bisa dijelaskan secara nalar itu merupakan konsekuensi lain dari perkembangan Sufi. Sebagai contoh, mengapa tahapan tertentu dalam studi mistis menuntut seseorang lebih lama dari lainnya, meskipun ia sebenarnya melaksanakan rutinitas yang sama? Rumi menggambarkan pengalaman dan satu dimensi khusus dalam kehidupan yang menutupi fungsi aktualitas secara utuh dan memberikan suatu pandangan yang tidak memuaskan kita dari keseluruhan itu. “Dua pengemis,” katanya, “mendatangi sebuah rumah. Salah satunya segera merasa puas setelah diberi sepotong roti. Ia pun pergi. Sementara pengemis kedua tetap menunggu bagiannya. Mengapa? Pengemis pertama itu tidak disukai, ia diberi roti basi dan hambar. Pengemis kedua diminta menunggu sampai sepotong roti segar selesai dimasak untuknya.” Cerita ini menggambarkan suatu tema yang terjadi berulangkali dalam ajaran Sufi, bahwa seringkali ada satu unsur dalam sebuah peristiwa yang tidak bisa diketahui. Akibatnya kita mendasarkan pendapat kita pada bahan yang tidak utuh. Adalah keajaiban kecil jika orang yang belum tercerahkan mengembangkan dan memberikan suatu “pandangan kilas” yang berlangsung dengan sendirinya.

“Engkau dikuasai oleh dunia dimensi,” senandung Rumi dalam sebuah syairnya, “tetapi engkau berasal dari dunia non-dimensi. Tutuplah yang pertama dan bukalah yang kedua!”

Seluruh kehidupan dan setiap ciptaan dipandang dalam suatu bentuk baru dan komprehensif Dengan menggunakan metafor Matsnawi, pekerja “tersembunyi di dalam ruang kerjanya”, bersembunyi dalam kerjanya untuk merenda jaring-jaring dirinya. Ruang kerjanya adalah tempat pandangannya. Di luar tempat ini adalah kegelapan.

Posisi Sufi sebagai orang yang mempunyai pandangan batin lebih dalam tentang persoalan-persoalan dunia dan keseluruhan serta saling bertentangan, merupakan potensi kekuatan diri yang sangat besar. Tetapi ia hanya bisa melakukan hal ini dalam hubungannya dengan seluruh makhluk — pertama dengan sesama Sufi, kemudian dengan manusia secara umum dan akhirnya dengan semua makhluk. Kekuatan dan keberadaannya berkaitan dengan serangkaian hubungan baru. Orang-orang datang kepadanya dan ia menyadari bahwa bahkan mereka yang ingin mencemoohkan dirinya sangat mungkin datang untuk belajar sesuatu daripada sekadar menilai dirinya. Ia memandang sejumlah besar peristiwa sebagai suatu jenis pertanyaan dan jawaban. Suatu kunjungan kepada seorang yang Tercerahkan dipandangnya sebagai pendekatan, “Ajarilah aku!” Betapapun laparnya suatu pertanyaan, tetap saja sebuah pertanyaan. “Kirimkan makanan!” Mencegah diri untuk tidak makan merupakan jawaban, suatu jawaban negatif. Sebagaimana Rumi menyimpulkan bagian ini, jawaban untuk seseorang yang bodoh adalah diam.

Ia mampu memberikan sebagian pengalaman mistiknya kepada orang-orang tertentu, sebagian muridnya dan orang yang dituntun oleh pengalaman masa lalu mereka untuk perkembangan semacam itu. Hal ini terkadang dilakukan melalui latihan-latihan konsentrasi dan prakteknya mungkin berkembang ke dalam pengalaman mistik yang sesungguhnya. Rumi berkata kepada para muridnya, “Pada mulanya pencerahan datang kepadamu dari orang-orang yang Tercerahkan. Ini adalah suatu tiruan. Namun ketika hal itu datang berulang kali, ini adalah pengalaman tentang kebenaran.” Selama tahap pencariannya, seorang Sufi mungkin sering terlihat tidak memperdulikan perasaan orang lain, atau berada di luar aktivitas masyarakat. Jika demikian, hal ini karena ia telah melihat karakter sejati dari suatu situasi, di balik situasi lahiriah yang hanya terlihat secara parsial bagi orang lain. Ia berbuat dengan cara sebaik mungkin, meskipun tidak selalu mengetahui mengapa ia mengatakan atau melakukan sesuatu.

Dalam Fihi Ma Fihi, Rumi memberikan ilustrasi tentang situasi itu. Seorang pemabuk melihat seorang Raja lewat dengan menunggang kuda yang sangat mahal harganya. Ia mencemooh kuda itu. Sang Raja marah dan memanggilnya untuk menghadap kepadanya. Orang itu menjelaskan, “Saat itu seorang pemabuk sedang berdiri di atas atap. Aku sekarang bukan dia, sebab dia telah pergi.” Sang Raja puas dengan jawaban ini dan memberikan hadiah kepadanya. Pemabuk itu adalah sang Sufi dan orang yang sadar itu juga adalah dirinya. Dalam hubungannya dengan realitas sejati, sang Sufi telah bertindak dengan cara tertentu. Akibatnya ia diberi hadiah. Ia juga melaksanakan suatu fungsi ketika menjelaskan kepada Raja bahwa orang tidak selalu bertanggung jawab atas berbagai tindakannya. Ia juga telah memberikan kesempatan kepada Raja untuk melakukan perbuatan baik.

Tidak ada anggur yang matang menjadi mentah kembali. Evolusi manusia tidak dapat dihentikan. Meskipun demikian evolusi ini bisa diarahkan dan dicampuradukkan oleh mereka yang tidak mengetahui apa sesungguhnya intuisi itu. Dengan demikian ajaran-ajaran Sufisme bisa diselewengkan dan seorang yang telah Tercerahkan juga bisa dihubungi jika ia membiarkan dirinya terlalu sering terlihat secara terbuka oleh orang kebanyakan. Sebab untuk mengajarkan masalah Sufistik kepada orang luar, seperti guru Sufi lainnya, Rumi selalu menyerukan:

Ketika lentera batin permata masih menyala,
Potonglah segera sumbu atasnya dan berilah minyak.

Namun ia sepakat dengan para guru lainnya yang menolak untuk membicarakan mistik kepada setiap orang, “Panggillah kuda-kuda ke tempat yang tidak berumput, mereka pun akan mempertanyakannya.” — tidak menjadi soal apa pertanyaannya itu.

Para Sufi menentang kalangan intelektual murni dan para pemikir skolastik, karena mereka percaya bahwa pelatihan pikiran dengan cara obsesif dan satu jalur pemikiran semacam itu justru membahayakan pikiran. Demikian pula, mereka sangat menentang orang-orang yang mengira bahwa semua persoalan itu bersifat intuitif dan asketis. Padahal Rumi menekankan keseimbangan dari semua kemampuan itu.

Kesatuan pikiran dan intuisi yang akan melahirkan pencerahan dan perkembangan yang dicari oleh para Sufi itu didasarkan pada Cinta — tema yang ditekankan oleh Rumi ini tidak bisa dipaparkan secara lebih baik kecuali melalui berbagai tulisannya sendiri, kecuali jika ia berada di dalam dinding-dinding aktual dari sebuah madzhab Sufi. Seperti intelektualisme yang bekerja dengan bahan-bahan yang nyata, Sufisme bekerja dengan bahan-bahan yang terlihat dan tidak. Jika ilmu dan skolastisisme selalu mempersempit cakupannya ke dalam bidang kajian yang semakin sempit, maka Sufisme tetap menggunakan setiap bukti kebenaran yang melandasinya, di mana pun hal itu bisa ditemukan.

Kekuatan asimilasi dan kemampuan untuk membangkitkan simbolisme, cerita dan pemikiran dari dasar arus Sufistik ini telah menyebabkan para komentator (bahkan di Timur) merasa sangat kagum dan menjadikan masa lalu sebagai sesuatu yang baru. Mereka menelusuri asal-usul sebuah cerita di India, sebuah pemikiran di Yunani dan sebuah latihan spiritual di kalangan Shaman. Unsur-unsur ini dengan senang hati mereka himpun di meja, pada akhirnya untuk menyediakan amunisi dalam perjuangan dimana para lawannya adalah di antara mereka sendiri. Atmosfir unik dari madzhab-madzhab Sufi ditemukan dalam Matsnawi dan Fihi Ma Fihi. Tetapi dua karya ini oleh para eksternalis dianggap membingungkan, kacau dan ditulis secara longgar.

Adalah benar bahwa kedua kitab ini sebagian merupakan pembimbing yang harus digunakan dalam hubungannya dengan ajaran dan praktek Sufi yang sesungguhnya — kerja, pemikiran, kehidupan dan seni. Namun bahkan seorang komentator yang menerima kenyataan atmosfir ini sebagai sengaja diciptakan dan yang mengulang penilaian Sufi dalam buku, memperlihatkan dirinya sendiri dalam hubungan personal menjadi agak kebingungan terhadap semua hal itu. Selain itu harus dikatakan bahwa ia memandang dirinya sebagai seorang Sufi, meskipun tidak diakui oleh metode Sufi mana pun. Di bawah pengaruh orang-orang semacam ini, studi Barat tentang Sufisme dan sekarang dalam periode kebangkitan yang luar biasa, telah menjadi sedikit lebih Sufistik, meskipun ia masih harus menempuh jalan panjang. “Sufi intelektual” merupakan kegemaran mutakhir di Barat.

Sufisme tentu saja mempunyai terminologi teknis yang khas, dan puisi-puisi Rumi kaya akan jenis-jenis umum dan khusus dari istilah-istilah dasar itu. Sebagai contoh, ia menggambarkan dalam kitab ketiganya, Diwan asy-Syams at-Tabriz, beberapa konsep pikiran dan aktivitas yang diproyeksikan dalam suatu pertemuan rahasia para darwis. Diramu dengan puisi rapsodik (penuh semangat), ajaran-ajaran Sufi “dalam pemikiran dan tindakan” disampaikan melalui metode yang secara khusus dirancang proyeksinya:

Bergabunglah dengan komunitas Sufi, jadilah seperti mereka, maka lihatlah kebahagiaan dari kehidupan sejati. Pergilah sepanjang jalan yang runtuh dan lihatlah orang-orangyang merana (para pemilik rumah yang runtuh). Minumlah anggur, agar engkau tidak mempunyai rasa malu. Tutuplah kedua mata lahirmu, sehingga engkau bisa melihat dengan mata batin. Bukalah kedua tanganmu, jika engkau mengharap pelukan. Hancurkan berhala bumi untuk melihat wajah banyak berhala. Mengapa seorang perempuan tua begitu senang menerima sebuah mahar — dan karena tiga potong roti, mengapa engkau menerima kewajiban militer?

Sahabat kembali di malam hari; malam ini jangan minum — tutuplah mulutmu dari makanan, hingga engkau memperoleh makanan mulut. Di Majelis sang Pembawa Cawan yang ramah, berputarlah — masuklah ke dalam lingkaran. Berapa lama engkau mengitarinya? Inilah tawarannya — tinggalkan satu kehidupan, raihlah keramahan Pengembala… Hentikan pikiran kecuali bagi pencipta pikiran — berpikir tentang “kehidupan” lebih baik dibandingkan berpikir tentang roti. Di keluasan bumi Tuhan, mengapa engkau tertidur di sebuah penjara? Abaikan pemikiran-pemikiran rumit — untuk melihat jawaban jawaban yang tersembunyi. Diamlah untuk meraih kalam abadi. Tinggalkan “kehidupan” dan “dunia” untuk menyaksikan “Kehidupan Dunia”.

Meskipun aktualitas Sufi tidak bisa diuji kemurniannya oleh kriteria yang lebih terbatas dari pemikiran diskursif, puisi ini bisa dilihat sebagai suatu perakitan faktor-faktor utama dalam metode Rumi. Ia mendeskripsikan arti penting komunitas yang dicurahkan untuk memahami realitas, dimana realitas hanyalah sebagai suatu pengganti. Pengetahuan ini hadir melalui hubungan dengan orang lain, dengan terlibat dalam kegiatan kelompok, begitu pula dalam pemikiran dan kegiatan personal. Suatu yang mendasar hanya hadir jika pola-pola pemikiran tertentu telah direduksi dengan perspektif yang tepat. Sang Salik harus “membuka tangannya” untuk menerima sebuah pelukan, bukan mengharap sebuah pemberian sementara ia berdiri pasif menunggunya. “Perempuan tua yang lemah” adalah semua bentuk pengalaman duniawi sebagai pantulan dari suatu realitas terakhir yang hampir tidak mungkin dibandingkan dengan apa yang tampak sebagai kebenaran. Untuk “tiga potong roti” dalam kehidupan biasa, orang rela menjual potensialitasnya.

Sahabat datang di malam hari — datang, yaitu ketika segala sesuatu masih tinggal dan ketika seseorang tidak tenggelam oleh pemikiran otomatis. Makanan khas Sufi tidaklah sama dengan makanan biasa; tetapi ia merupakan bagian esensial dari kemanusiaan. Kemanusiaan berputar-putar di sekitar realitas dalam sebuah sistem yang tidak sejati. Ia harus memasuki lingkaran dan bukannya sekadar mengikuti garisnya. Hubungan kesadaran sejati dengan apa yang kita pandang sebagai kesadaran itu bagaikan hubungan dari seratus kehidupan dengan satu kehidupan. Beberapa karakteristik kehidupan sebagaimana kita ketahui — karakter pemangsa dan egoisme serta banyak lagi lainnya sebagai penghalang bagi kemajuan — harus dilenyapkan oleh faktor-faktor halus.

Pemikiran non-diskursif adalah metode. Pemikiran harus diarahkan untuk seluruh kehidupan, bukan terhadap aspek-aspeknya semata. Manusia laksana seseorang yang mempunyai pilihan untuk menjelajahi bumi, tetapi ia tertidur di sebuah penjara. Berbagai kepelikan intelektualisme yang keliru itu menutupi kebenaran. Sikap diam merupakan awal pembicaraan sejati. Kehidupan batin di dunia dicapai dengan cara mengabaikan pemilahan “kehidupan” dan “dunia”.

Ketika Rumi meninggal dunia pada tahun 1273, ia meninggalkan putranya, Bahauddin, untuk melanjutkan kepemimpinan Tarekat Mevlevi. Pada masa hidupnya ia dikelilingi oleh orang-orang dari setiap agama, dan pada waktu pemakamannya dihadiri oleh orang-orang dari segala jenis (kepercayaan).

Seorang Kristen ditanya, mengapa ia menangis begitu pilu atas kematian seorang guru Muslim. Jawabannya memperlihatkan pandangan Sufi tentang pengulangan ajaran dan penyampaian aktivitas spiritual:

“Kami menghargainya seperti Musa, Dawud, Yesus zaman ini. Kami semua adalah para pengikut dan muridnya.”

Kehidupan Rumi memperlihatkan campuran dari ajaran warisan dan pencerahan pribadi yang menjadi pusat Sufisme. Keluarganya berasal dari keturunan Abu Bakar, sahabat Nabi saw., dan ayahnya masih ada hubungan dengan keluarga dengan Raja Khawarizmi Syah. Jalaluddin dilahirkan di Balkh, sebuah pusat ajaran kuno pada tahun 1207 dan dalam legenda Sufi dinyatakan bahwa, telah diramalkan oleh para mistikus Sufi, ia akan meraih masa depan gemilang. Raja Balkh di bawah pengaruh orang-orang skolastik, berbalik menentang para Sufi, terutama menentang kerabat ayah Rumi. Seorang guru Sufi ditenggelamkan di Sungai Oxus atas perintah Syah. Hukuman ini membayangi invasi orang-orang Mongol dimana Najmuddin al-Kubra, seorang pemimpin Sufi terbunuh di medan tempur. Najmuddin inilah pendiri Tarekat Kubrawiyah yang berkaitan erat dengan perkembangan Rumi.

Penghancuran Asia Tengah oleh tentara-tentara Jengis Khan telah menyebabkan tercerai-berainya para Sufi Turkistan. Ayah Rumi mengungsi bersama putranya ke Nisyapur di mana mereka bertemu dengan guru besar lainnya dari aliran Sufi yang sama, sang penyair Aththar, yang secara “spiritual” menganugerahi putranya dengan barakah Sufi. Ia menghadiahi Rumi sebuah salinan kitabnya, Asrar-Namah (Book of Secrets). Kitab ini ditulis dalam bentuk puisi.

Tradisi Sufi mengatakan bahwa karena potensi spiritual Jalaluddin muda telah dikenali oleh para guru di zamannya, maka perhatian mereka untuk melindungi dan mendidiknya menjadi motif bagi perjalanan kelompok pengungsi itu. Mereka meninggalkan Nisyapur dengan kata-kata kewalian Aththar yang terngiang dalam telinga mereka, “Anak ini akan memercikkan api kemuliaan dan keagungan suci bagi dunia. ” Kota itu tidak aman. Seperti Najmuddin, Aththar menunggu gilirannya menuju ke-syahid-an yang diterimanya dari tangan orang-orang Mongol tidak lama setelah itu.

Kelompok Sufi dengan pemimpin mudanya itu sampai ke Baghdad di mana mereka mendengar penghancuran Balkh dan pembantaian penduduknya. Selama beberapa tahun mereka mengembara, menunaikan ibadah Haji ke Mekkah, kembali menuju utara ke Syria dan Asia Kecil, mengunjungi pusat-pusat Sufi.

Asia Tengah terpecah-belah karena serangan orang-orang Mongol yang tiada henti-hentinya, dan setelah tegak kurang dari enam abad, peradaban Islam tampaknya menjelang keruntuhannya.

Pada akhirnya ayah Rumi mendirikan pusat kegiatannya tak jauh dari Konia, yang terkait dengan nama St. Paul. Pada saat itu, kota itu berada di tangan penguasa Seljuk dan Raja Seljuk mengundang Jalaluddin untuk tinggal di sana. Ia menerima sebuah jabatan profesional dan melanjutkan mengajar putranya tentang rahasia-rahasia Sufi.

Jalaluddin juga berhubungan dengan Guru Terbesar (asy-Syekh al Akbar), penyair dan seorang guru dari Spanyol, yaitu Ibnu Arabi yang pada waktu itu berada di Baghdad. Hubungan itu terjadi melalui Burhanuddin, salah seorang guru Rumi yang melakukan perjalanan ke kawasan Seljuk untuk menemui ayah Rumi yang baru saja meninggal. Karena menggantikannya sebagai pembimbing Rumi, ia membawanya ke Aleppo dan Damaskus.

Ketika usianya mencapai empat puluh tahun, Rumi memulai pengajaran mistiknya secara semi-publik.1 Seorang darwis misterius, “Syamsuddin at-Tabrizi” mengilhaminya untuk menghasilkan sejumlah besar puisinya yang terbaik dan untuk meramu ajaran-ajarannya dengan cara dan bentuk yang dirancang untuk mempertahankan keseluruhan Tarekat Mevlevi. Karyanya telah diselesaikan dan darwis misterius itu lenyap setelah masa sekitar tiga tahun dan tidak ada lagi jejak tentang dirinya yang bisa dilaporkan.

“Utusan dari dunia tak dikenal” ini oleh putra Rumi disepadankan dengan Khidr yang misterius, pembimbing dan pelindung para Sufi yang muncul kemudian berlalu dari kognisi normal setelah menyampaikan pesannya.

Selama masa inilah Rumi menjadi seorang penyair. Baginya, meskipun ia diakui sebagai salah satu penyair terbesar Persia, puisi hanya suatu produk sekunder. Ia memandangnya tidak lebih dari suatu refleksi realitas batin yang besar dan merupakan kebenaran serta disebutnya sebagai refleksi dari Cinta. Cinta terbesar, tuturnya, adalah keheningan dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Meskipun puisinya mempengaruhi pikiran manusia sedemikian kuat, sehingga hanya bisa disebut sebagai kekuatan magis, ia tidak pernah terbawa olehnya sampai pada tingkatan mengidentifikasikan puisi itu dengan wujud yang jauh lebih besar, dimana puisi hanyalah ekspresi yang lebih kecil. Pada saat yang sama, ia mengakuinya sebagai sesuatu yang bisa membangun jembatan antara apa “yang benar-benar ia rasakan” dengan apa yang bisa ia lakukan untuk orang lain.

Dengan memakai metode Sufistik untuk mendapatkan perspektif tentang sesuatu, bahkan dengan resiko menghancurkan gagasan-gagasan yang paling mendasar, ia sendiri mengambil peranan kritik sastra. Orang-orang datang kepadanya dan ia mencintai mereka. Dalam rangka memberikan sesuatu kepada mereka agar bisa memahami, ia memberikan puisi kepada mereka. Tetapi puisi itu untuk mereka, bukan untuk dirinya, betapapun ia sebagai penyair besar — “Di atas segalanya, apakah peduliku dengan puisi?” Untuk menekankan pesan itu, dimana hanya seorang penyair dengan reputasi kontemporer terbesar yang berani melakukannya, ia menyatakan secara kategoris bahwa jika dibandingkan dengan realitas sejati, maka dirinya tidak punya waktu untuk menulis puisi. “Ini hanyalah nutrisi,” katanya, “yang bisa diterima pengunjungnya,” maka seperti tuan rumah yang baik, ia menyuguhkannya.

Tarian Darwis Jalaluddin Rumi - 1Seorang Sufi tidak akan pernah membiarkan sesuatu berdiri sebagai penghalang antara apa yang ia ajarkan dengan mereka yang sedang mempelajarinya. Di sinilah penekanan Rumi terhadap peranan subsider puisi dalam hubungannya dengan pencarian sejati. Sebenarnya apa yang ingin disampaikannya berada di luar jangkauan puisi. Bagi orang yang pikirannya telah terkondisikan oleh kepercayaan bahwa tidak ada sesuatu pun yang lebih sublim dari ungkapan puitis, maka perasaan semacam ini mungkin bisa mengakibatkan keterkejutan hebat. Hanya aplikasi dampak inilah yang perlu bagi tujuan Sufi dalam membebaskan pikiran dari ikatan fenomena sekunder, “berhala-berhala”.

Sebagai pewaris ayahandanya, Rumi sekarang memproyeksikan ajaran-ajaran mistisnya melalui kesenian. Musik, tarian dan puisi digunakan dalam berbagai pertemuan darwis. Pengubahan melalui berbagai latihan mental dan fisik ini dirancang untuk membuka pikiran menuju pengakuan potensialitasnya yang lebih besar, melalui tema harmoni. Pengembangan harmonis melalui sarana harmonis mungkin merupakan paparan dari apa yang dipraktekkan Rumi.

Mempelajari ajaran-ajaran Rumi semacam ini dari luar, telah membingungkan banyak pengamat asing. Salah satu di antara mereka merujuk pada “pandangannya yang tidak Timur bahwa perempuan bukan sekadar barang mainan, tetapi suatu pancaran Ilahi.”

Tarian Darwis Jalaluddin Rumi - 2Salah satu puisi Rumi yang diterbitkan dalam Diwan asy-Syams at-Tabriz, telah menyebabkan sejumlah kebingungan bagi kalangan literalis. Karya ini merupakan kajian Rumi terhadap semua bentuk agama yang berlaku, baik agama lama maupun baru. Kesimpulannya bahwa kebenaran esensial terletak pada kesadaran batin manusia itu sendiri, bukan pada organisasi-organisasi eksternal. Hal ini benar jika kita menyadari bahwa menurut kepercayaan Sufi, “pengujian” kepercayaan dilakukan dengan cara khusus. Seorang Sufi tidak perlu berkelana dari satu negeri ke negeri lainnya, mencari agama-agama untuk dipelajari dan mengambil apa yang bisa dibawa dari agama-agama itu. Ia juga tidak harus membaca kitab-kitab teologi dan tafsir untuk membandingkan satu ajaran dengan ajaran lainnya. “Perjalanannya” dan “pengujiannya” terhadap gagasan-gagasan lain terjadi dalam dirinya. Hal ini karena Sufi percaya bahwa seperti setiap orang mengalami sesuatu yang lain, ia memiliki pandangan batin yang mampu mengukur realitas dari sistem-sistem keagamaan yang ada. Tegasnya, akan sangat berat dan tidak berguna untuk mendekati suatu persoalan metafisis dengan menggunakan metode penelitian biasa. Seseorang yang bertanya, “Apakah Anda telah membaca buku tentang ini dan itu, karangan si Anu dan si Fulan?” niscaya akan menggunakan pendekatan keliru. Bukanlah buku atau pengarangnya, tetapi realitas buku dan penulis yang ingin disampaikan itulah yang penting bagi Sufi. Untuk memperoleh pemahaman tentang seseorang atau ajarannya, seorang Sufi hanya membutuhkan sebuah contoh. Tetapi contoh ini harus akurat. Dengan kata lain, ia harus ditempatkan dalam hubungan erat dengan faktor esensial dalam pengajaran yang terkait. Sebagai contoh, seorang murid yang tidak memahami secara menyeluruh sistem yang diikutiny, tidak bisa menyampaikan secara memadai sistem itu kepada Sufi guna memungkinkannya membuat pengenalan yang diperlukan.

Berikut ini adalah puisi dimana Rumi berbicara tentang pencapaian hubungan erat dengan berbagai agama dan reaksinya terhadap agama-agama itu:

Salib orang-orang Kristiani, dari ujung ke ujung
telah aku kaji. Dia tidak ada di salib itu.
Aku telah pergi ke kuil Hindu, ke pagoda tua.
Di tempat-tempat itu tidak ada tanda-tandanya.
Aku pergi ke dataran tinggi Herat dan Kandahar.
Aku melihat.
Dia tidak ada di dataran tinggi maupun rendah.
Dengan hati yang mantap, aku pergi ke puncak gunung Kaf.
Di sana hanya ada sarang burung ‘Anqa.
Aku pergi ke Ka’bah. Dia tidak ada di sana.
Aku bertanya kepada Ibnu Sina tentangnya:
Dia di luar jangkauan filosuf ini …
Aku melihat ke dalam kalbuku sendiri.
Di situlah tempatnya, Aku melihatnya.
Dia tidak di tempat lain …

Kata ganti “dia” di sini maksudnya adalah realitas sejati. Sufi adalah abadi. Penggunaan kata-kata seperti “kemabukan” atau “anggur” maupun “hati” adalah penting, namun paling jauh hanya untuk mendekati realitas sejati itu dengan menggunakan suatu parodi. Sebagaimana Rumi menyatakannya:

Sebelum kebun, tanaman dan buah anggur tercipta di dunia ini,
Jiwa kami telah mabuk dengan anggur abadi.

Sufi mungkin terpaksa mempergunakan perumpamaan dari dunia yang dikenal pada jenjang awal penyampaian, tetapi Rumi mengikuti standar rumusan Sufi dengan sangat ketat. Tongkat penyangga harus dibuang jika si pasien sudah mampu berjalan sendiri. Nilai dari cara ekspresi Rumi bagi murid adalah fakta bahwa ia menjadikan hal ini jauh lebih jelas dari semua bahan yang tersedia di luar sekolah-sekolah Sufi. Jika Tarekat eksternal tertentu telah terbiasa mengondisikan para pengikutnya secara literal dengan menggunakan perangsang secara berulang-ulang, menandai waktu pada jenjang perkembangan tertentu, mempertahankan kebutuhan murid kepada “tongkat penyangga”, tentu saja ini bukan kesalahan Rumi.

Catatan kaki:

1 Nama samarannya, Rumi, dipilih karena jumlah keseluruhan huruf ini adalah 256, yang kemudian diubah kembali ke dalam tiga huruf NUR. Nur adalah kata Arab dan Persia untuk “cahaya”.

Diambil dari:

Buku Mahkota SufiBuku Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi oleh Idries Shah
Judul asli: The Sufis, Penterjemah M. Hidayatullah dan Roudlon, S.Ag.
Penerbit Risalah Gusti, Cetakan Pertama Shafar 1421H, Juni 2000