Sabtu, 12 September 2009

MUTIARA-MUTIARA CINTA AL-HIKAM

kenapa kau tuntut tuhanmu?

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Janganlah kau tuntut Tuhanmu karena tertundanya keinginanmu, tetapi tuntutlah dirimu sendiri karena engkau telah menunda adabmu kepada Allah.”
Betapa banyak orang menuntut Allah, karena selama ini ia merasa telah berbuat banyak, telah melakukan ibadah, telah berdoa dan berjuang habis-habisan. Tuntutan demikian karena seseorang merasa telah berbuat, dan merasa perlu ganti rugi dari Allah Ta’ala. Padahal meminta ganti rugi atas amal perbuatan kita, adalah wujud ketidak ikhlasan kita dalam melakukan perbuatan itu. Manusia yang ikhlas pasti tidak ingin ganti rugi, upah, pahala dan sebagainya. Manusia yang ikhlas hanya menginginkan Allah yang dicinta. Pada saat yang sama jika masih menuntut keinginan agar disegerakan, itu pertanda seseorang tidak memiliki adab dengan Allah Ta’ala. Sudah sewajarnya jika kita menuntut diri kita sendiri, karena Allah tidak pernah mengkhianati janjiNya, tidak pernah mendzalimi hambaNya, dan semua janjinya tidak pernah meleset. Kita sendiri yang tidak tahu diri sehingga, kita mulai intervensi soal waktu, tempat dan wujud yang kita inginkan. Padahal itu semua adalah Pekerjaan Allah dan urusanNya. Orang yang terus menerus menuntut dirinya sendiri untuk Tuhannya, apalagi menuntut adab dirinya agar serasi dengan Allah Ta’ala, adalah kelaziman dan keniscayaan. Disamping seseorang telah menjalankan ubudiyah atau kehambaan, maka si hamba menuruti perilaku adab di hadapanNya, bahwa salah satu adabn prinsipalnya adalah dirinya semata untuk Allah Ta’ala. Karena itu Ibnu Athaillah melanjutkan: “ Ketika Allah menjadikanmu sangat sibuk dengan upaya menjalankan perintah-perintahNya dan Dia memberikan rezeki, rasa pasrah total atas Karsa-paksaNya, maka sesungguhnya saat itulah betapa agung anugerahNya kepadamu.” Anugerah paling agung adalah rezeki rasa pasrah total atas takdirNya yang pedih, sementara anda terus menerus menjalankan perintah-perintahNya dengan konsisten, tanpa tergoyahkan. Wahb ra, mengatakan, “Aku pernah membaca di sebagian Kitab-kitab Allah terdahulu, dimana Allah Ta’ala berfirman: “Hai hambaKu, taatlah kepadaKu atas apa yang Aku perintahkan kepadamu, dan jangan ajari Aku bagaimana Aku berbuat baik kepadamu. Aku senantiasa memuliakan orang yang memuliakan Aku, dan menghina orang yang menghina perintahKu. Aku tak pernah memandang hak hamba, sehingga hamba memandang (memperhatikan) hakKu.” Syeikh Abu Muhammad bin Abdul Aziz al-Mahdawi ra, mengatakan, “Siapa pun yang dalam doanya tidak menyerahkan dan merelakan pilihannya kepada Allah Ta’ala, maka si hamba tadi terkena Istidroj dan tertipu. Berarti ia tergolong orang yang disebut dengan kata-kata, “Laksanakan hajatnya, karena Aku sangat tidak suka mendengarkan suaranya.”. Namun jika ia menyerahkan pilihannya pada Allah Ta’ala, hakikatnya ia telah diijabahi walau pun belum diberi. Amal kebaikan itu dinilai di akhirnya…”

Gara-Gara Nafsu


“Tidak dikhawatirkan padamu manakala Jalan yang ada padamu begitu membingungkan. Tetapi yang dikawatirkan manakala hawa nafsu mengalahkan dirimu”.
Kenapa demikian? Menurut Syeikh Ahmad al-Hadhrawih ra, “Kebenaran itu sudah jelas, Jalan juga sudah lempang, dan pendakwah telah memperdengarkan, apalagi yang masih membuat bingung, kecuali orang yang buta matahatinya? Bahkan Abu Utsman menegaskan, “Semua makhluk Allah sesungguhnya berada di maqom syukur, namun mereka menduga bahwa dirinya ada di maqom sabar.” Mengapa? Sebenarnya cobaan itu merupakan nikmat dariNya, karena dengan cobaan itu sang hamba kembali pada aturan kehambaannya, hingga ia mengenal siapa dirinya, dan dengan demikian ia mengenal Tuhannya. Betapa banyak orang yang memanipulasi kebenaran, agama, dan bahkan dunia hakikat untuk kepentingan hawa nafsunya, atau bahkan ketika seseorang meraih derajat luhur malah terjebak dalam ghurur (tipudaya) nafsunya. Nafsu ingin selalu dipandang publik, dipuji orang, disanjung, dianut, diikuti, ditakuti, dan dikagumi. Dan hasrat demikian semakin menjauhkan dirinya dari Allah, karena terdegradasi dari derajat taqarrub kepada Allah Ta’ala. Maha Suci Allah yang menutupi rahasia keistemewaan (hambaNya) dengan tampilnya sifat-sifat manusiawi. Dan Dia Jelas dengan agungnya sifat RububiyahNya di dalam manifestasi sifat-sifat ‘Ubudiyahnya (hamba). Rahasia keistimewaan adalah ma’rifat dan kewalian. Sedangkan sifat-sifat manusiawi itu adalah wujud kehambaannya, berupa sifat fakir, hina, lemah, dan tak berdaya di hadapan Allah Ta’ala, sebagai wujud atas pandangannya terhadap Sifat Maha CukupNya, Maha MuliaNya, Maha KuatNya dan Maha KuasaNya, yang tersembunyi dalam batin hamba. Maka dengan munculnya sifat manusiawi itulah tertututp rahasia keistemewaannya, sehingga sifat ma’rifat dan kewaliannya tidak bisa terlihat, karena yang ada hanyalah Sifat Keagungan Rububiyah yang memancar pada sifat-sifat kehambaan itu. Karena itu, perwujudan keistimewaanya maujud dalam sifat Ubudiyah, dan perwujudan hakikat ubudiyah adalah meninggalkan segala hal selain Allah Ta’ala.

Kiat Meringankan Beban Takdir

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Pedihnya bencana menjadi ringan, manakala anda mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala adalah yang memberi cobaan bagimu. Dzat Yang memnghadapkan takdir-takdir padamu adalah Dia yang mengembalikan padamu agar ada kebaikan ikhtiar darimu.”.
Allah Ta’ala Maha Indah sifatNya, Mulia tindakanNya, sama sekali tidak bertujuan mencederai hambaNya, kecuali demi kemashlahatan si hamba itu sendiri, untuk meraih anugerah dan keutamaan dariNya. Bukan untuk menyiksa mereka. Allah Ta’ala telah berfirman kepada NabiNya, “Bersabarlah pada hukum Tuhanmu, karena sesungguhnya kamu ada dalam penglihatan Kami.” (Ath-Thuur 48), sebagaimana Allah Ta’ala mengambalikan padamu apa yang engkau suka, maka bersabarlah terhadap apa yang ditakdirkan padamu. Mayoritas orang merasa pedih dengan takdir yang menderanya, semata karena belum faham, bahwa semua itu adalah caraNya menguji mereka. Ujian itu dari Allah jua. Ujian tentu demi peningkatan derajat, dan sekaligus kesiapan ikhtiar yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga anugerah dan keutamaan dari Allah Ta’ala diterima dengan jiwa yang benar. Inilah perlunya ridlo, sabar dan pasrah jiwa kepadaNya dalam situai dan kondisi apa pun. Imam Al-Junayd al-Baghdady pernah mengisahkan: “Pada suatu malam aku tidur di dekat Sary as-Saqathy ra (paman dan sekaligus gurunya), lalu sary membangunkan aku. “Hai Junaid, aku sepertinya sedang berada di hadapan Allah, dan Allah berfirman padaku, “Hai Sary, aku telah menciptakan makhluk dan semua makhluk itu mengaku telah mencintaiKu. Lantas Aku ciptakan dunia, tiba-tiba 90% dari semua itu lari dariKu dan tersisa 10% saja, Kemudian aku ciptakan syurga, ternyata (yang 10%) itu pun lari dariKu (menuju syurga), hingga tersisa 1% saja. Lantas pada yang tersisa itu Aku berikan sedikit saja cobaan, rupanya mereka pun lari dariKu, tinggal 0,99%. Aku katakan kepada yang tersisa yang masih bersamaKu itu: “Dunia bukan kalian kehendaki. Syurga juga bukan yang kalian inginkan. Neraka juga bukan membuatmu lari. Lalu apa mau kalian ini?” “Engkau Maha Tahu apa yang kami mau…” kata mereka. “Bila Aku memberikan cobaan sejumlah nafas kalian yang tidak bisa dipikul oleh bukit-bukit dan lembah jurang, apakah kalian bersabar?” tanyaKu. “Bila Engkau adalah Yang Memberikan cobaan, lakukanlah sekehendakMu….” Kata mereka yang tersisa. “Sungguh mereka kitu adalah benar-benar hamba-hambaKu …” Karena itu Ibnu Thaillah as-Sakandary melanjutkan: “Siapa yang menyangka lepasnya KeMaha LembutanNya dari takdirNya (yang keras), sesungguhnya karena sangkaan itu muncul dari piciknya pandangan.” Seringkali ketika cobaan tiba, orang mengeluhkan, “Wah, Allah tidak sayang lagi padaku…Allah tidak lagi berlemah lembut kepadaku…mungkin karena dosaku, sehingga siksaNya menimpaku, hingga aku kehilangan Maha LembutNya…dsb…” Kalimat dan keluhan demikian karena melihat pada kerasnya dan wujudnya takdir. Padahal pedih dan keras itu hanya bungkus atas Kelembutan Ilahi, demi Cinta dan KasihNya pada sang hamba. Sebab, tanpa cekaman keras itu sang hamba tidak sadar, tidak bangkit kepadaNya dan tidak tergugah untuk terus bersamaNya. Di sinilah perlunya Husnudzon kepadaNya, karena justru dengan Husnudzon kepada Allah itu segela derita terbebaskan, segala kegembiraan tumpah padanya, dan segala kemerdekaan jiwa tumbuh berkembang bagai ranum bunga. Secara psikhologis, bagi yang mengalami cobaan terasa berat untuk memahami kelembutan Ilahi dibalik cobaan itu. Tidak jarang yang justru protes kepada Allah, protes pada kenyataan-kenyataan, protes pada diri sendiri. Inilah yang membuat mereka sulit untuk menghayati makna cobaan. Namun jika mereka bisa membuka pintu sabar dan gerbang ridlo, pemahaman akan KeMaha Lembutan Ilahi dibalik semua itu, pasti muncul, bahkan akan tumbuh rasa syukur dibalik semua itu.

Sang Arif tak menghilangkan rasa faqirnya


“Sang arif itu tidak pernah hilang dari rasa terdesaknya, dan tidak pernah lari kepada selain Allah Swt ”. Mengapa demikian? Karena para arifun tidak pernah hilang rasa faqirnya kepada Allah Ta’ala, rasa butuh akan ‘inayah dan taufiqNya. Dia senantiasa ingin terus bergembira dan mesra bersamaNya, terus menerus berdzikir kepadaNya karena tidak ingin kehilangan Dia. Karena itu ia merasa jiwanya terdesak, agar terus bersamaNya, dekat denganNya, memandangNya. Dari berbagai arah, disanalah Allah, disanalah WajahNya. Karena Allah swt, adalah: “Allah yang menerangi aspek alam lahiriyah dengan cahaya ciptaanNya dan menerangi rahasia batin dengan Cahaya sifat-sifatNya. Karena itulah cahaya alam lahiriyah sirna dan cahaya-cahaya qalbu dan rahasia jiwa tak pernah sirna. Maka dikatakan dalam syair: Sesungguhnya matahari di siang hari surup dengan datangnya malam/ dan matahari hati tak pernah sirna.”Banyak orang terjebak oleh gambaran cahaya makhluk memancar yang tercetak dalam otak, lalu dianggapnya itu adalah cahaya Allah dalam jiwa. Sehingga diklaim cahaya itu sebagai pancaran Ilahi bahkan dianggapnya sebagai Allah. Jelas hal demikian merupakan ketersesatan. Jelasnya cahaya Allah dalam jiwa kita merupakan sesuatu pancaran yang tak pernah dibayangkan dan tak pernah dibatasi oleh warna dan bentuk. Seseorang hanya menjadi pantulan cermin CahayaNya, manakala kesiapan-kesiapan jiwanya bening dan jernih. Pantulan cahayanya juga jernih, sehingga itulah disebut sebagai Cahaya di atas cahaya. Cahaya Allah yang melimpah pada cermin kesiapan hamba, lalu memantulkan cahaya ubudiyah, karena disemai RububiyahNya atas kehambaanNya. Rabb tetap Rabb, dan hamba tetaplah hamba. Syeikh Abul Abbab al-Mursy mengatakan, “Seandainya cahaya wali itu dibuka oleh Allah, niscaya banyak orang menyembahnya, karena sifat-sifatnya adalah pancaran dari Cahaya SifatNya dan karakternya merupakan Cahaya karakterNya.”

Jalan kemesraan


“Manakala makhluk Allah membuatmu merasa gentar maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah hendak membukakan pintu kemesraan denganNya kepadamu”. Kemesraan Ilahiyah terkadang muncul ketika seseorang menghadapi kegentaran dengan sesama makhluk yang membuatnya lari kepada Allah, dengan menggantungkan masalahnya kepada Allah Ta’ala dan pada saat rasa butuhnya begitu menguat maka ia dapatkan kemesraan kepada Allah secara total. Al-Qadhy Abdurrahim al-Qusyairy ra, mengatakan: “Kemesraan adalah kegembiraan rahasia jiwa, tanpa terlibatnya hati dalam urusan makhluk. Kemesraan adalah kehidupan hati dengan kemuliaan qurb (kedekatan). Kemesraan adalah sejuknya kehidupan dengan keleburan kedekatan padaNya. Kemesraaan adalah ekstase pada Sang Kekasih dengan tanpa mengintaiNya. Kemesraan di bawah wushul dan di atas angan.” Diantara Jalan Kemesraan adalah rasa mencekam yang muncul akibat interaksi dengan sesama makhluk yang menimbulkan berbagai masalah dalam hidupnya, sehingga hamba lari dari makhluk menuju Allah Ta’ala. Wujud pelariannya bukannya ia anti terhadap makhluk, tetapi hatinya sama sekali tidak berkait dengan mereka, hanya kepada Allah Azza wa-Jalla. Terkadang manusia enggan melepaskan bebannya dalam jiwanya, dengan berbagai alasan keluhan, rasa jengkel, rasa dendam, rasa gelisah, yang sengaja dipeliharanya, padahal Allah menunggu para hambaNya untuk segera datang kepadaNya. Beliau melanjutkan: “Sepanjang (manakala) dirimu mengucapkan keinginan (melalui doa) sesungguhnya Allah hendak memberimu anugerah.” Namun ungkapan itu sebagai wujud dari ubudiyah, berdoa dalam rangka meraih rasa butuh kepada Allah Ta’ala. Doa sebagai pertanda, bahwa anugerah Allah bakal tiba, dimana kehendak anda didahului oleh KehendakNya. Dalam sebuah riwayat dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah saw, bersabda: “Siapa yang di izinkan dirinya untuk berdoa kepadaNya, maka pintu-pintu rahmat dibukakan padanya, dan tak ada yang lebih dicintai oleh Allah dari pada memohon kepada Allah ampunan dan kesejahteraan.” Karena itu sebagai hamba harus berdoa, karena berdoa itu pertanda turunnya anugerah. Sekaligus menjaga rasa butuh kita kepada Allah, bukannya memaksa Allah mengikuti selera kita, karena hakikatnya kehendak Allah menurunkan anugerah itu lebih dahulu ketimbang doa kita.

Manusia Sungguh Sangat Butuh Kepada Allah


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary :
"Sifat butuhmu itu, bagimu merupakan kelaziman yang pasti. Sedangkan sebab-sebab yang datang merupakan pengingat bagimu terhadap apa yang tersembunyi dari sifat aslimu. Sifat butuh yang substansial itu tidak pernah dihilangkan oleh faktor-faktor baru yang menghadang."Manusia memiliki sifat asli yang lazim, yaitu sifat butuh yang amat sangat. Sifat ini tidak bisa dihilangkan sama sekali selamanya. Namun manusia seringkali alpa dengan sifat aslinya yang sesungguhnya amatlah tak berdaya itu.Kemudian Allah mengingatkannya dengan faktor-faktor penyebab, agar ia menyadari, semisal adanya kecukupan, kefakiran, kemuliaan, kehinaan, kekuatan dan kelemahan, serta seluruh sifat yang yang menyadarkan akan sifat butuhnya pada Allah Ta’ala. Jadi faktor penyebab itulah yang mestinya diharapkan justru mendukungnya, sehingga ketika mendapat ni’mat ia bersyukur, ketika mendapat cobaan ia bersabar dan ridlo, lalu terjadi interaksi rasa butuh dan fakirnya. Selanjutnya beliau menegaskan : "Baik-baik waktumu adalah waktu dimana kamu menyaksikan di dalamnya adanya wujud butuhmu kepada Allah, dan mengembalikan pada dirimu bahwa engkau penuh dengan kesalahan." Nafsu manusia lebih senang mengaku-aku bahwa dirinya adalah yang mampu, bisa berbuat, kuat dan merasa cukup. Padahal semua itu justru rekayasa dan spontanitas nafsu yang menghalangi kebajikan dan taqarrub. Fir’aun sampai menegaskan dirinya, "Akulah Tuhanmu yang luhur…", semata karena Fir’aun memanjakan nafsunya sampai ia mengklaim seluruh usahanya, kekuatannya, kekuasaannya sebagai upaya murni dirinya. Ini semua gara-gara Fir’aun sepanjang usianya tak pernah sakit kepala atau demam, hingga ia mengaku sebagai Tuhan.

Nikmat Maujud dan Nikmat Anugerah

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
"Dua nikmat dimana segala yang maujud muncul dari kedua nikmat itu, dan segala yang terjadi muncul dari keduanya: Nikmat diwujudkan, dan nikmat anugerah. Pertama, Allah memberi nikmat padamu melalui perwujudan dirimu, kedua memberi nikmat dengan limpahan anugerah padamu." Sesuatu keharusan dari yang ada dan sekaligus anugerah. Jika tidak, maka mahluk tak pernah ada sejak awal, dan kembali dalam ketiadaan di akhirnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:"Dan benar-benar Aku ciptakan kamu sebelumnya dan engkau bukan apa-apa." (Qs. Maryam: 9) Itulah disebut maujud. Karena itu pula Allah berfirman: "Kalau bukan karena nikmat Tuhanku jelas aku tergolong orang yang diseret ke neraka" (Ash-Shoffaat : 58)Nikmat tersebut salah satu ni’mat anugerah. Abu Madyan al-Ghauts berkata, "Allah Ta’ala yang mengawali dan segala yang ada bergantung padaNya. Materi ini muncul dari kenyataan kemurahanNya. Jika seandainya materi ini putus, robohlah wujud ini." Dua nikmat tersebut merupakan simpul dari seluruh nikmat Allah Ta’ala yang tiada terhingga. Karena itu syukur yang utama harus kita ungkapkan adalah rasa syukur karena kita dijadikan dan dihidupkan di dunia ini. Sebab tanpa mensyukuri wujud diri kita yang ada ini, manusia akan terus protes pada fakta dan kenyataan takdir. Belum lagi nikmat anugerah yang melimpah setelah diwujudkan berupa keimanan dan kema’rifatan kita kepada Allah swt, rizki lahir dan rizki batin, rizki taat dan rizki batin berupa rasa cukup bersama Allah Ta’ala. Apalagi yang harus kita sombongkan? Manalagi yang harus kita andalkan? Apakah amal-amal anda menjamin anda masuk syurga? Apakah kebajikan dan taat anda adalah kartu visa bebas dari neraka? Mengapa masih ada sikap-sikap arogan dan egois? Bukankah seluruh sikap tersebut menghijab pandangan mata anda untuk melihat ni’mat Allah yang tiada hingga itu? "Sungguh sedikit sekali kalian bersyukur", demikian peringatan Allah kepada kita.

Maksiat Lebih Baik Ketimbang Taat, Kalau

“Maksiat yang melahirkan sikap hina dina di hadapan Allah itu lebih baik ketimbang ketaatan keapada Allah yang melahirkan sikap merasa mulia dan sombong.”
Sebesar apa pun kemaksiatan dan dosa seseorang, jika memasuki pintu taubat, Allah tetap menyambutnya dengan Pintu Ampunan yang agung, bahkan dengan kegembiraanNya yang Maha dahsyat kepadamu. Karena sebesar langit dan bumi ini, jika anda penuhi dengan dosa-dosa anda, dikalikan lagi dengan lipatan jumlah penghuni planet ini, kelipatan dosa itu, sesungguhnya ampunan Allah masih lebih besar dan lebih agung lagi. Oleh sebab itu Ibnu Athaillah membesarkan hati orang yang telah berbuat dosa agar tidak putus asa terhadap ampunan Allah, bahkan orang yang berdosa namun bertobat dengan penuh rasa hina dina dihadapan Allah itu dinilai lebih baik, dibanding orang yang ahli ibadah yang merasa hebat, merasa suci, merasa paling mulia dan merasa sombong dengan ibadahnya. Mengapa ? Karena ada dosa yang lebih tinggi lagi disbanding maksiat, yaitu dosanya orang takjub atau kagum pada diri sendiri. Bahkan Rasulullah saw. Bersabda : “Jikalau kalian tak pernah berbuat dosa, niscaya yang paling saya takutkan pada kalian adalah yang lebih dahsyat lagi, yaitu ‘ujub (kagum pada diri sendiri).” Bahkan betapa banyak orang yang dulunya ahli maksiat lalu diangkat derajatnya menjadi manusia mulia di hadapan Allah Ta’ala. Begitu juga banyak ahli ibadah tetapi berakhir hina di hadapanNya gara-gara ia sombong dan merasa lebih dibanding yang lainnya. Orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar, apakah ia aktivis muslim, da’I, ustadz, kyai, ulama’, muballigh, ketika mereka menyerukan amar ma’ruf nahi mungkar, lantas dirinya merasa lebih baik dari yang lain, adalah wujud kesombongan yang hina pada dirinya. Dibanding seorang preman yang bertobat, pelacur yang bertobat, maling yang bertobat dengan kerendahan jiwa di hadapan Allah, mereka yang merasa paling Islami itu justru menjadi paling hina, jika ia tidak segera bertobat. Nabi Adam as, mendapatkan kemuliaan luar biasa sebagai Nabi, Rasul, Khalifah, Abul Basyar, justru ketika sudah turun di muka bumi, karena tindak dosanya di syurga. Namun Nabi Adam bertobat dalam remuk redam jiwanya dan hina dina hatinya di depan Allah, justru Allah mengangkat dan menyempurnakan ma’rifatnya ketika di dunia, bukan ketika di syurga dulu. Nabi Adam as, menjadi Insan Kamil ketika di dunia, bukan ketika di syurga. Oleh sebab itu terkadang Allah mentakdirkan maksiat pada seorang hamba dalam rangka agar si hamba lebih luhur dan dekat kepada Allah. Wacana ini dilontarkan agar manusia tidak putus asa atas masa lalu dan nodanya di masa lampau, siapa tahu, malah membuat dirinya naik derajat. Wacana ini pula tidak bias dipandang dengan mata hati, nafsu dan hasrat hawa. Misalnya, “Kalau begitu maksiat saja, siapa tahu, kita malah naik derajat…” Kalimat ini adalah kalimat yang muncul dari hawa nafsu! Wacana mengenai naiknya derajat paska maksiat, hanya untuk orang yang sudah terlanjur maksiat, agar tidak putus asa dan tetap menjaga rasa baik sangka kepada Allah Ta’ala (husnudzon). Apalagi di akhir zaman ini, jika disurvey, membuktikan bahwa orang yang kembali kepada Allah dengan taubatnya, biasanya didahului oleh kehidupan yang hancur-hancuran, maksiat yang bernoda. Akhir zaman ini juga banyak dibuktikan, khususnya di wilayah kota, betapa banyak orang yang merasa bangga diri dengan ahli ibadahnya, ketekunan dan taatnya, diam-diam ia ujub dan sombong, merasa lebih dibanding lainnya. Sifat hina dina adalah wujud kehambaan kita. Manusia akan sulit mengakui kehambaannya manakala ia merasa mulia, merasa sombong, ujub, apalagi merasa hebat dibanding yang lainnya. Karena itu rasa hina dina, apakah karena diakibatkan oleh kemaksiatan atau seseorang mampu menjaga rasa hina dina di hadapan Allah, adalah kunci terbukanya Pintu-pintu Allah Ta’ala, karena kesadaran seperti itu, membuat seseorang lebih mudah fana’ di hadapanNya.

Memahami Indahnya Kegagalan

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Sesungguhnya kegagalan terasa menyakitkan, semata karena anda tidak faham sesuatu dari Allah di dalam kegagalan itu.”

Jika anda faham, anda akan melihat adanya kelembutan Ilahi, karena semuanya adalah rahmat dan kemurahan dariNya. Jadi seperti dikatakan juga oleh Ibnu Athaillah, “Siapa yang menyangka terlepasnya kelembutan Ilahi atas takdirnya (yang keras) semata karena piciknya pandangan orang itu.” Di atas juga disebutkan, “Jika Allah membukakan pintu kefahaman, maka kegagalan adalah hakikat pemberian.” Dan kelak dibelakang akan kita jumpai kata-kata beliau yang indah, “Hendaknya bisa memperingan beban atas derita cobaan pada dirimu, manakala engkau mengenatui bahwa Allahlah yang memberi cobaan itu padamu.” Jadi bila kita mengenal Allah Maha Kasih, Maha Lembut, Maka Mulia dan Maha Murah, maka segala bentuk keterhalangan kehendak kita, sesungguhnya sama sekali tidak akan merubah pendirian kita akan Sifat-sifat LembutNya dan KasihNya kepada kita. Karena itu beliau melanjutkan hikmahnya yang agung: “Terkadang Allah membukakan pintu Taat pada Allah bagimu, dan tidak membukakan pintu suksesnya keinginanmu. Bahkan Allah pun menentukan suatu tindakan dosa padamu, dan tindakan itu malah membuatmu sampai ke hadiratNya.” Taat itu sendiri adalah anugerah yang luar biasa, bukan sekadar suksesnya keinginan anda. Karena kegagalan atas cita-cita anda sesungguhnya teriringi oleh anugerah Allah dibalik semua itu. Jadi hakikatnya bukan gagal, namun anugerah pemberian. Pintu-pintu sukses yang sesungguhnya ada tiga, menurut Syeikh Zarruq: Pertama: Taqwa, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah menerima (memberikan Kabul) dari orang-orang yang bertaqwa.” (Al-Maidah 27). Setiap amaliyah yang tidak disetrtai ketaqwaan hanyalah kepayahan dan kerja keras tanpa guna. Menjadi berguna manakala seseorang melakukannya dengan penuh sukacita bersama Allah Ta’ala. Kedua: Ikhlas. Segala sesuatu kalau bukan karena demi Wajah Allah tidak diterima oleh Allah. Hadits Qudsy menegaskan, “Aku Maha tidak butuh pendamping yang lain (syirik). Siapa yang beramal dimana ada unsur lain di dalamnya selain diriKu, maka Aku tinggalkan amal hamba itu dan unsur lain tersebut.” Ketiga: rasa yakin mengikuti jejak Sunnah dan Kebenaran. Karena Allah tidak menerima amal hamba yang melakukan amaliyah kecuali dengan sikap benar dan mengikuti kebenaran. Siapa pun yang melakukan amaliyah dengan tiga kategori di atas, maka dia akan mendapatkan kemudahan atas amaliahnya karena ketiganya sebagai pertanda diterimanya amal. Jika tidak, maka hanya mendapatkan kepayahan dan kelelahan belaka. Sedangkan orang yang ditakdirkan dosa, menjadi sebab orang tersebut wushul kepada Allah, dimana hidayah justru terbuka paska tindakan dosa, karena tiga hal pula:

  1. Rasa remuk redam atas tindakan dosanya, seperti dalam hadits Qudsi: “ Aku bersama orang yang remuk redam hatinya demi menuju kepadaKu.”
  2. Ditambah dengan taubat orang tersebut, “Sesungguhnya Allah mencintai orangt-orang yang taubat.” (Al-Baqarah : 222).
  3. Semangat yang disertai kewaspada-an dalam menempuh keikhlasan, dan penyucian dosa-dosanya.

Dalam hadits disebutkan, “Betapa banyaknya dosa, malah membuat si empunya malah masuk syurga.” Syeikh Abul Abbas al-Mursi menafsirkan firman Allah swt : “Allah memasukkan malam di dalam siang dan memasukkan siang di dalam malam. “ (Al-Hajj: 61) Maknanya adalah Allah memasukkan taat dalam maksiat, dan memasukkan maksiat di dalam taat. Seorang hamba yang penuh taat, lalu dia kagum atas prestasi taatnya, dan merasa dengan taatnya kepada Allah membuatnya hebat, lalu minta ganti rugi pahala dari Allah atas amal ibadahnya. Sikap demikian adalah kebaikan yang dihapus oleh keburukan. Rasa kagum atas prestasi ibadahnya adalah kejahatan di dalam dirinya. Itulah yang disebut masuknya taat dalam maksiat. Begitu juga ketika pendosa berbuat dosa, kemudian ia bertobat kembali kepada Allah Ta’ala dengan remuk redam hatinya, merasa hina dan memohon ampunan padaNya, bahkan dia merasa lebih berdosa dari siapa pun jua, karena belum pernah ada dosa yang lebih hebat ketimbang dia. Kesadaran ini berarti maksiat yang masuk dalam taat. Kemudian mana yang disebut maksiat dan mana yang disebut ibadah taat?

1 komentar: