Rabu, 16 September 2009

MUTIARA-MUTIARA CINTA ALHIKAM (3)

Menyikapi Qabdl dan Basth

Allah Menggenggam anda agar engkau tidak terus menerus dalam hamparan keleluasaanNya, dan Allah menghamparkan keleluasaanNya padamu agar Dia tidak membiarkanmu dalam GenggamanNya, dan Allah mengeluarkan dari kondisi keduanya agar dirimu tidak ada arah tujuan selain kepadaNya.

Qobdl (ketergenggaman Ilahi) dan Basth (keleluasaan Ilahi) adalah dua kondisi yang ada dalam hati. Kadang kita dalam situasi Qabdl dan kadang dalam situasi Basth. Kadang malah berimbang diantara kedua kondisi itu. Semua itu dijadikan sandaran agar si hamba menyadari bahwa dalam situasi yang tercekam dalam GenggamanNya, si hamba sadar bahwa itu pun dari Allah Ta'ala, hal demikian juga sebaliknya ketika hamba dalam kebahagiaan dan kegembiraan, agar si hamba menyadari itu semua dari Allah, sehingga bukan Qabdl dan Basth itu tujuannya, tetapi Allah lah tujuan kita semua.

Imam Al-Junaid al-Baghdady menjelaskan, "Ketakutan telah mencengkamku dalam GenggamNya dan harapan telah meleluasakan diriku dalam KeleluasaanNya, sedangkan hakikat telah menyatukan diriku denganNya, Kebenaran telah memisahkan diriku. Manakala Dia menggenggamku dengan ketakutan, Dia telah menfana’kan diriku dari diriku. Jika telah membuka harapanNya padaku, Dia melepaskannya dan mengembalikan padaku.

Manakala Dia menyatukan dengan hakikat, Dia menghadirkan diriku bersamaNya. Manakala Dia memisahkan diriku dengan dengan kebenaran, Dia mempersaksikan padaku selain DiriNya, lalu Dia menutupiku dariNya. Semua itu, Dialah yang menggerakkan diriku pada rasa tentramku, dan Dialah yang memperingatkan ketakutan padaku, bukan pada rasa sukariaku. Hadirku untuk merasakan makanan (ruhani) dan kemurahanku. Siapa tahu Dia menfana’kan diriku dari diriku, lalu memberikan kesenangan atau menghapuskan diriku, lalu Dia memberikan anugerah rasa ringanku."

Faris ra, mengatakan, "Pertama-tama adalah ketergenggaman Ilahi, kemudian keleluasaanNya, lalu tiada Genggaman dan Keleluasaan, karena keduanya naik turun dalam wujud, sedangkan fana' dan Baqa', tidak…"

Sebenarnya Allah memberikan ancaman dalam ketakutan pada para penempuh, adalah sebagai awal perjalanan agar si hamba benar-benar kembali murni hanya kepada Allah Ta'ala, fana' dari hawa nafsunya, lalu Allah mengarahkan pada al-Basth (keleluasaan) agar si hamba terus menerus dalam kemesraan denganNya. Dalam pergantian ketergenggaman dan keleluasaan, si hamba diselaraskan dengan persepsi hakikat yang ada pada diri mereka masing-masing, sesuai dengan derajat dan karakternya.

Apa yang Dicari Para 'Arifun?

Tujuan pencarian para 'Arifun dari Allah, adalah benar dalam 'Ubudiyah dan menegakkan Hak-hak Rububiyah.
Itulah tujuan utama kaum yang telah meraih ma'rifatullah, yakni agar kehambaannya berada di jalur yang benar serta upayanya adalah menegakkan Hak-hak Rububiyah dalam dirinya.
Tujuan kaum Arifun, bukan agar mendapatkan rahasia-rahasia Allah, bukan ingin meraih karomah demi karomah, bukan ingin punya kemampuan linuwih. Justru orang yang ingin mencari semuanya itu, malah terlempar dari hamparan ma'rifatullah, terjebak dalam lapisan-lapisan hijab. Sebagaimana disebutkan bahwa Ubudiyah atau kehambaan adalah mewujudkan rasa fakir kepada Allah, rasa hina di hadapanNya, rasa tak kuasa dan rasa lemah, dan aturan-aturan ubudiyah itu benar-benar bisa diwujudkan. Sebab puncak dari Ma'rifatullah adalah hamba. Dan kesadaran akan kehambaan adalah tugas menjadi hamba yang benar, lahir maupun bathin. Kelak di belakang akan kita jumpai mengenai proses perjalanan, dimana seorang hamba pada awalnya fana' lalu apa pun tidak tampak termasuk dirinya sirna, semakin sirna semakin terhanguskan. Tetapi ketika meraih tahap paripurna, justru semakin fana, malah semakin baqo', semakin baqo’ malah semakin fana', semakin sadar malah semakin terhanguskan, semakin tersirnakan semakin ada dalam baqo'Nya.

Orientasi pencapaian Ubudiyah dan penegakan hak Rububiyah (Ketuhanan) itu berkisar pada tiga hal:
1. Semangat bergegas menegakkan hak-hak tersebut,
2. Jiwanya berpaling dari segala hal selain Allah (makhluk)
3. Pasrah total di bawah berlakunya aturan-aturan takdir dan hukum-hukum Allah.
Dengan kata lain ia sangat keras perjuangannya meraih ta'at, dan jiwanya merasa cukup bersamaNya.
Hal demikian juga bisa kita lihat dalam peristiwa Isro' dan Mi'roj, yaitu ketika Rasulullah saw, bertemu Allah, justru harus turun ke dunia, untuk mewujudkan Hak-hak Rububiyahnya Allah di semesta raya, dengan membawa tugas Taklifiyah, dalam rangka menyempurnakan umatnya.

Beda Harapan Beda Khayalan

Harapan itu adalah suatu tindakan yang harus disertai amal. Jika tidak ada amaliyah, harapan berubah menjadi khayalan.

Banyak orang berharap mendapatkan anugerah Allah. Banyak pula yang berharap tetapi tidak disertai tindakan nyata dalam amliyah sehari-hari. Lalu harapan tinggal jadi khayalan, atau sekadar berharap-harap.
Tamanny atau khayalan semu hanyalah mimpi yang berlebihan dari keinginan hawa nafsu. Karena itu khayalan panjang ini sangat berbahaya bagi pertumbuhan kepribadian manusia. Apa pun alasannya, menyeret manusia pada ambisi dan mimpi, hanya akan membuat manusia menggerakkan hasratnya untuk melambung tinggi dan berakibat pada aktivitas yang emosional dan berbau ambisi nafsu. Termasuk dalam menjalankan dan mengharapkan kebajikan. Sesuatu kebaikan pun jika disertai oleh dorongan ambisi nafsu, akan kehilangan berkahnya, manakala ia berhasil mencapainya. Dikawatirkan seseorang setelah berhasil malah jauh dari Allah Ta'ala. Tetapi perjuangan yang dijalankan dengan ketulusan dan keikhlasan, walau pun tidak berhasil, sesungguhnya merupakan nilai agung di Mata Allah. Al-Hasan Ra menegaskan, "Wahai manusia takutlah kalian pada imajinasi khayalan ini, karena imajinasi itu adalah wadahnya syetan, dimana ia bersoleh di dalamnya. Maka demi Allah, tak seorang pun mendapatkan kebaikan dari Allah melalui khayalan imajinasi, baik dunia maupun akhirat." Al-Hasan juga menegaskan, "Banyak kaum yang mendapatkan inspirasi harapan ampunan dari Allah sampai ia mati, padahal ia tidak pernah berbuat kebajikan, sembari beralibi, "Aku berhusnudzon kepada Tuhanku…". Ia dusta. Karena jika ia berhusnudzon kepada Allah pasti ia berbuat kebajikan." Lalu beliau membacakan ayat: “Dan itulah sangkaanmu yang kau sangkakan pada Tuhanmu yang kau sangka membuatmu hancur, lalu kalian menjadi orang-orang yang merugi." (Fushilat 23). Ma'ruf al-Karkhy mengatakan, "Mencari syurga tanpa amal, adalah dosa. Dan berharap syafaat tanpa ragam dari aktivitas amaliyah adalah tipudaya. Mengharapkan rahmat Allah namun disertai maksiat adalah ketololan dan kebodohan."

Isyarat Bukan Tanda Ma’rifat

Bukan disebut orang yang ma'rifat, manakala ia berisyarat, ia mendapatkan Allah lebih dekat kepadanya, dari isyaratnya tadi. Tetapi orang yang Arif (ma'rifat) adalah orang yang tidak punya isyarat, karena fana'nya dalam WujudNya dan terliput dalam Musyahadah padaNya.

Bukanlah disebut orang yang ‘Arif (ma'rifatullah) yang sempurna dan hakiki adalah bukanlah orang yang apabila mendapatkan isyarat dalam hatinya tentang Asma dan sifatNya, lantas merasa telah bertemu Allah Swt, karena isyarat itu.
Berarti masih bukan tergolong orang yang 'Arifun, manakala masih:

  1. Mengandalkan dan bergantung pada isyarat-isyarat hakikat,
  2. Merasa sudah sampai kepadaNya, karena Isyarat Hakikat itu;
  3. Adanya sebab akibat yang menjadi perantara (berupa isyarat) antara dirinya dengan Allah;
  4. Berkutat dengan rahasia-rahasia Ilahi, dan lupa akan kelemahan dan kefanaan diri.
  5. Masih ada ketakutan dan kegelisahan dibalik Isyarat yang diterima
  6. Adanya isyarat menunjukkan adanya jarak jauh antara dia dan Dia.
  7. Adanya keasyikan tersendiri dibalik isyarat-isyarat yang diterima.
    Orang yang tergolong 'Arifun, adalah manakala:
  8. Tidak lagi punya isyarat, karena telah fana' dalam Ilahi, lebur dari segala isyarat maupun peringatan.
  9. Runtuhnya isyarat, karena karena menyaksikan KeparipurnaanNya. Bukan karena kekurangan dan keteledorannya dari interaksi dengan Jalal dan JamalNya.
  10. Telah fana dalam WujudNya dari wujudnya sendiri
  11. Telah fana dalam PenyaksianNya dari penyaksian dirinya sendiri.
  12. Kemana pun menghadap hanya Wajah Allah yang tampak di mata hatinya.
  13. Hanya Allah yang diharapkan, bukan limpahan manifestasi sifat-sifatNya, baik limpahan nikmat maupun penampakan kekuarangan atau dosanya.
  14. Tidak ada lagi ketakutan dan kegelisahan

Bangkit Dibalik Kegelisahan

Rasa susah atas hilangnya ketaatan kepada Allah dengan tidak disertai bangkit kembali kepada Allah, termasuk tanda-tanda tipudaya.

Rasa susah adalah tersempitnya hati karena kehilangan sesuatu yang kita cintai, atau rasa takut terhadap datangnya hal-hal yang kita benci yang menimbulkan rasa gelisah. Seluruh ketakutan dan kekawatiran bahkan kegelisahan itu jika menumbuhkan kebangkitan diri menuju Allah berarti memiliki efek postif dan baik. Sebaliknya jika tidak, bahkan menikmati kegelisahan dan romantisme atas keputusasaan, justru berubah buruk, karena terpedaya oleh tipudaya nafsunya itu sendiri. Banyak orang yang mengalami krisis kejiwaan membuat dirinya tertimpa kemalasan, kejenuhan beribadah, dengan sejumlah alasan yang diungkapkan oleh nafsunya sendiri. Dan kegelisahan itu bisa menimbulkan putus asa karena merasa apa yang muncul itu dari dirinya, manakala tidak dikembalikan kepada Allah. Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan, "Tangis itu bukanlah airmata yang meleleh, tetapi tangis sesungguhnya adalah meninggalkan dan melupakan perkara yang ditangisi."
Berarti seseorang harus tetap menjaga semangat dan stamina bangkit kepada Allah Ta'ala. Hal demikian juga mengandung pelajaran bagi orang yang kehilangan waktu-waktu taatnya, kehilangan perbuatan baiknya, jangan sampai terjerumus dalam penyesalan yang ekstrim yang mengarah pada kegelisahan, lalu ia kehilangan harapan kepada Allah. Jika itu terjadi berarti kita telah masuk ke lembah tipudaya (ghurur). Sebagaimana di awal hikmah Ibnu Athaillah disebutkan, "Tanda-tanda seseorang masih mengandalkan amalnya, adalah jika orang itu berbuat salah atau dosa, maka harapannya kepada Allah berkurang. Munculnya harapan yang minim bisa disebabkan karena perasaan bersalah yang berlebihan, menyalahkan diri sendiri berlebihan, lalu merasa tidak pantas lagi menghadap Allah. Rasa tidak pantas menimbulkan semangat turun, lalu lambat laun malah jauh dari Allah.

Tuntutan Terbaik

Tuntutan terbaikmu adalah apa yang Dituntut oleh Allah padamu

Banyak sekali permintaan, permohonan, dan tuntutan kita yang kita ajukan kepada Allah Ta'ala. Tetapi manusia sering lupa, tuntutan apakah yang terbaik dari sejuta tuntutan itu?
Manusia banyak diberi peluang untuk memohon apapun, yang bermanfaat bagi dunia akhirat. Lalu permohonan apakah yang terbaik bagi diri anda?
Manusia seringkali protes pada orang lain, pada diri sendiri, bahkan secara ekstrim protes kepada Allah. Apakah protes dan permintaan itu sudah selayaknya kita adukan?
Mari kita pilih, dan pilihan kita pasti lemah. Maka kita serahkan saja pilihan tuntutan kita kepada Allah swt. Dan pilihanNya, adalah apa yang dituntut oleh Allah kepada kita adalah tuntutan kita yang terbaik.


Ada tiga hal utama, dimana Allah menuntut kita:

  1. Takhalli: Yaitu menepiskan segala sesuatu, kecuali sesuatu itu dari Allah Ta'ala.
  2. Tahalli: Yaitu merias segala hal yang diridloiNya padamu, dan melaksanakan ridlo itu, kemudian mengembalikan semuanya kepada Allah Ta'ala.
  3. Tajalli: Musyahadah terus menerus terhadap apa pun, bahwa semuanya tidak ada kecuali hanya Allah, dari Allah, kepada Allah, dan menyaksikan Allah bersama Allah.


Takhalli juga berarti menepiskan segala kejahatan dan keburukan nafsu kita dari dalam diri kita. Takhalli juga bermakna menfanakan diri kita dalam kesunyian bersama Allah Ta'ala.
Tahalli yang berarti menghias, juga bermakna menghias diri dengan segala kebajikan dan akhlak mulia, kehambaan yang bersahaja di hadapanNya.
Tahalli berarti pula memandang segalanya sebagai manifestasi dari KemahaindahanNya.
Sedangkan Tajalli bisa berarti Musyahadah dan Ma'rifat terhadap Tampilnya Allah melalaui Af'al, Asma' dan SifatNya, dalam kesemestaan dunia dan akhirat ini.

Untuk mendukung tuntutan itu, dilaksanakan melalui tiga hal:
1. Thaat kepadaNya dan merasa cukup bersamaNya.
2. Benar dalam melaksanakan 'Ubudiyah (menuju kepadaNya)
3. Menegakkan Hak-hak RububiyahNya, dan melaksanakan perintahNya serta pasrah total pada Sifat PerkasaNya.

Rasulullah saw. Bersabda: "Allah tidak meminta pertanggungjawaban makhluk mengenai Dzat dan SifatNya, mengenai Qodlo dan QodarNya, tetapi meminta pertanggungjawaban mengenai perintah dan laranganNya."

Puncak Kenikmatan

“Sepanjang Allah melimpahi anda, rizki taat kepada Allah dan merasa cukup denganNya, ketahuilah sesunggunya Allah telah menyempurnakan nikmat lahir dan batin kepadamu.”

Setelah membincangkan posisi anda di depan Allah, maka Al-Fudhail bin Iyadl menegaskan, bahwa ketaatan hamba kepada Tuhannya menurut kadar derajat posisi si hamba itu, Dengan kata lain pula bahwa puncak dari kenikmatan itu sesungguhnya adalah ketaatan menjalankan perintahnya secara lahiriyah, dan merasa cukup jiwanya bersama Allah secara batin.
Maksudnya seseorang mengerjakan amaliyahnya semata karena perintah Allah, bukan karena motivasi tertentu. Sang hamba hanya bagiNya, bersamaNya, bukan karena sebab atau akibat tertentu. Seorang hamba ketika beribadah, akan senantiasa bermusyahadah RububiyahNya. Inilah yang dimaksudkan dengan menegakkan syariat disatu sisi dengan tetap berselaras dengan hakikat. Sebab dengan cara inilah seseorang bisa meraih keringanan, keselarasan, keparipurnaan dalam hakikat, yakni bebas dari merasa bisa berupaya dan berdaya serta beramal. Sang hamba akan meraih nikmat agung dan sariguna yang sempurna. Dikatakan bahwa nikmat terbesar adalah keluar dari diri. Ada pula yang mengatakan, nikmat itu adalah apa yang menghubungkan dengan Allah dan memuttuskan dengan makhluk. Bahkan ada yang mengatakan, segala yang tidak mendatangkan penyesalan dan tidak mengakibatkan siksaan, itulah nikmat besar. Dengan merasa cukup Allah sebagai satu-satunya harapan dan masa depan, maka dia pada saat yang sama akan merasa cukup denganNya. Oleh sebab itu mulailah dijadikan suatu perspektif yang luhur ke depan:

  1. Taat kepada Allah sebagai cita-cita dunia akhirat.
  2. Kedamaian hati bersamaNya, dan tidak menoleh selainNya, adalah keparipurnaan hakikat.
  3. Bisa beribadah adalah anugerah yang tiba, karena itu sebagai rasa syukur harus dimunculkan setiap ibadah. Ibadah sebagai wujud syukur, bukan beban dan kewajiban.
  4. Ibadah dan kepatuhan, adalah bentuk lain dari kehambaan. Dan tidak ada nikmat paling agung ketimbang menjadi hamba Allah.
  5. Segeralah kembali dan menuju, suatu kenyataan bahwa ketaatan secara syariat dan hakikat tidak bisa dipisahkan sebagai puncak nikmat.

Di Balik Sholat

"Sholat itu tempat munajat dan sumber pencerahan, di mana medan-medan rahasiaNya meluas di dalamnya, dan pencahayaan jiwa memancar di dalamnya."

Sholat itu adalah munajat para hamba kepada Allah swt. Dalam sholat itulah sifat-sifat IndahNya tampak bagi para hamba, dan bagaimana Allah swt menjaga dan memelihara alam semesta. Sang hamba meraih limpahan ma’rifat dan ilmu-ilmu Ilahiyah. Sholat itu pula menjadi tempat percintaan hamba pada Allah swt dengan menghadapkan dirinya kepadaNya secara total, lahir dan batin, hingga meraih limpahan pencerahan cahaya yang luar biasa. Menurut kadar penerimaan hamba kepada Tuhannya, maka sejauh itu pula Allah swt menerima kehadiran hambaNya. Dalam sholat pula, rahasia-rahasia meluas, berupa pengetahuan dan ma’rifat yang dahsyat, kemudian cahayanya memancar luas dari buah munajat sang hamba. Wacana hikmah inilah yang meneguhkan, bahwa yang dituntut oleh Allah swt, adalah menegakkan sholat, bukan wujudnya sholat.
Selanjutnya beliau berkata:
“Allah Maha Tahu akan lemahnya kekuatan anda, maka Allah swt menimimalisir jumlahnya sholat. Dan Allah swt, Maha Tahu betapa dirimu sangat butuh pada karuniaNya, maka Allah swt, memperbanyak anugerahNya (dibalik sholat).”

Jumlah sholat yang semula 50 kali, diminimalisir oleh Allah swt, hanya dengan lima kali, namun, karena seorang hamba berhasrat pada pahala dan anugerahNya, maka lima kali sholat itu sama dengan lima


Yang Tersembunyi Di balik Semesta

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary"Allah swt. Maha Mengetahui sesungguhnya dirimu tidak sabar untuk menyaksikanNya, maka Allah swt mempersaksikan padamu apa yang tampak dariNya."

Anda semua memang tidak sabar untuk segera memandang Allah Ta’ala, dan Allah swt, Maha Tahu itu semua, lalu Dia menampakkan ciptaanNya padamu. Anda bisa memandang yang tersembunyi di balik ciptaanNya, maka di sanalah ada aktivitas Illahi, Asma’ dan SifatNya, lalu anda bisa memandangNya dengan Mata Hati. Namun mata kepala terbatas pada ciptaanNya belaka. Itulah yang disebut dengan memandang dibalik hijab. Suatu karomah kemuliaan bagimu sekaligus sebagai pertolonganNya padamu, dimana anda tidak terhijab dariNya di dunia ini. Dalam hikmah-hikmah terdahulu Ibnu Athaillah As-Sakandary, bahkan mengurai panjang lebar mengenai tidak adanya alasan, seseorang untuk menegaskan bahwa Allah itu terhijab oleh segala sesuatu, karena Allah swt menyertai segala sesuatu, Ada sebelum segala sesuatu ada, bersama segala sesuatu, dan segala sesuatu menuju kepadaNya, kembali kepadaNya, hanya bagiNya. Dia adalah Satu-satunya, dan Dia adalah Yang Maha Dekat dibanding segalanya. Karena itu beliau juga melanjutkan:
"Ketika Allah swt, Mengetahui adanya kebosanan darimu, maka Allah swt, memberikan ragam warna taat kepadamu. Dan Allah swt, Maha Tahu adanya ambisi dalam dirimu, maka Allah swt membatasinya bagimu dalam sebagian waktu, agar hasratmu adalah menegakkan sholat, bukan wujudnya sholat. Karena tidak setiap orang yang sholat itu adalah penegak sholat." Manusia itu punya sifat pembosan, rasa berat, rasa sembrono, dan sekaligus punya ambisi. Namun semua itu merupakan tanda akan kelemahan manusia. Oleh sebab itu Allah swt, memberikan ragam dan macam ibadah, dengan waktu yang berbeda, bentuk ibadah yang berbeda pula, agar setiap perpindahan dari satu macam ibadah ke ragam lainnya, tetap bernilai ubudiyah kepada Allah swt.

Namun manusia punya ambisi berlebihan. Karena itu pula Allah memberikan batas-batas waktu agar nikmat Allah swt, terus berlangsung. Dua nikmat dalam peragaman ibadah dan pembatasan waktu ibadah, adalah wujud Kasih SayangNya kepadamu. Bosan dan ambisi adalah dua sifat yang berbahaya bagi hamba Allah Ta’ala, karena jika dibiarkan akan memanjakan hawa nafsu dan semakin menjauhkan dari Allah swt.Dengan demikian orientasi para hamba bukan pada wujud ibadahnya, wujud sholatnya, tetapi pada penegakan sholatnya. Tidak semua orang sholat benar-benar menjadi "penegak sholat". Muqimus-sholat berarti menegakkan melalui pemeliharaan lahir batin, hanya Lillahi Ta’ala. Tidak ada bayangan, gambaran, atau imajinasi, bahkan pikiran kemana-mana, selain hanya Allah Ta’ala saja. Itulah sang penegak sholat.

Kesiapan Menerima Pancaran Anugerah

“Orang yang alpa adalah orang yang memandang apa yang bakal dikerjakan nanti, dan orang yang berakal sehat adalah orang yang memandang apa yang bakal diberlakukan padanya oleh Allah swt.”

Orang yang senantiasa membuat angan-angan apa yang akan dikerjakan, apa yang akan dilakukan, sesungguhnya tergolong orang alpa. Kenapa demikian? Karena ia lupa bahwa Allah swt, lah yang sedang memberlakukan semua itu. Ketika anda sedang menunggu atau merenung apa yang bakal dilakukan, apakah itu soal dunia atau soal agama, pada saat yang sama, dimanakah peran Allah tiba-tiba hilang begitu saja? Kenapa dmeikian? Karena orang tersebut pasti sangat bergantung dan mengandalkan amal usahanya, maka ia senantiasa tidak akan meraih kesempurnaan selamanya. Sedangkan orang yang berakal sehat, akan meninggalkan semua itu, mengembalikan pada kepasrahan dan kerelaan dirinya kepada Allah atas apa yang dikehendakiNya. Ia tidak berbuat pada waktunya kecuali atas perintahNya. Abu Ayyub as-Sikhtiyani ra mengatakan, “Bila tak ada yang kau kehendaki maka kembalikan apa adanya.” Umar bin Abdul aziz ra, mengatakan, “Di pagi hari, tak ada kegembraan bagiku kecuali pada tempat-tempat takdirNya.” Syeikh abu Madyan ra mengatakan, “Berhasratlah untuk menjadi pasrah total, siapa tahu Allah melihatmu lalu Allah merahmatimu.” Abdul Wahid bin Zaid mengatakan, “Ridlo itu adalah Pintu Allah paling agung dan tempat istirahatnya ahli ibadah serta syurga dunia.” Guruku ra, manakala aku masuk di hadapannya selalu menyanyikan syair ini, dan syair ini dipeuntukkan kaum ‘arifin:
Ikutilah desau ketentuanNya
Ikutilah pusarannya kemana berputar.
Pasrahkan padanyadengan total
Berjalanlah kemana ia bergerak.

Jika mengikuti penekatan al-Hikam, betapa banyaknya orang yang alpa di abad ini. Semua mereka lakukan tanpa rasa yaqin kepada Allah Ta’ala, tetapi mereka melakukan aktivitas agama dan dunia semata karena kecemasan dirinya. Rasa cfemas adalah akibat dari ketergantungannya atas perbuatannya sendiri. Bukan pada Allah Rabbul ‘Izzah.
Oleh sebab itu Al-Hikam melanjutkan:
“Sesungguhnya para hamba dan kaum zuhud itu merasa cemas dan gentar dari segala hal, semata karena hilangnya mereka dari Allah Ta’ala dalam segala hal. Apabila mereka menyaksikan Allah dalam segala hal, sedikit pun mereka tak pernah gentar.” Kecemasan muncul akibat fenomena yang terjadi dan yang bakal terjadi. Namun dipandangnya semua itu dari segi wujudnya fenomena kehidupan, kenyataan, realitas, dan benda-benda serta makhluk yang dihadapi. Kecemasan akan sirna manakala seseorang bisa memandang Allah dibalik segala hal yang ada. Abul Abbas al-Hadhramy mengatakan, “Bukan disebut sebagai lelaki sejati, orang yang tidak berani memasuki kegelapan, juga bukan yang memasuki kegelapan dengan kegelapan. Tetapi lelaki sejati adalah yang memasuki kegelapan dengan cahaya.” Beliau juga mengatakan, “Bukan disebut lelaki sejati orang yang tahu bagaimana pisah dari dunia, lalu ia meninggalkan dunia. Tetapi lelaki sejati adalah orang yang mengetahui bagaimana menahan dunia, lalu ia sukses menahannya.”

Wirid Lebih Utama Ketimbang Pahalanya

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
Tidak ada yang meremehkan konsistensi wirid (ketaatan di setiap waktu) kecuali orang yang sangat bodoh, karena warid ( pahala wirid) itu akan di dapat di negeri akhirat, sedangkan taat atau wirid itu akan lenyap bersama lenyapnya dunia ini. Sedangkan yang lebih utama untuk diprioritaskan adalah yang wujudnya tidak bisa diabaikan. Wirid adalah HakNya yang harus anda laksanakan. Sedangkan warid adalah sesuatu yang anda cari dariNya. Mana yang lebih utama antara sesuatu yang dituntut oleh Allah padamu, dibanding apa yang anda tuntut dari Allah? Mayoritas ummat ini lebih banyak berburu pahala dan janjinya Allah swt. Dalam segala gerak gerik ibadahnya. Padahal yang lebih utama adalah ibadah dan kepatuhannya itu sendiri. Sebab kepatuhan dan ubudiyah yang dituntut oleh Allah swt, dan menjadi HakNya, itu lebih utama dibanding hak kita yang besok hanya akan bisa kita raih di akhirat. Sebab kesempatan melaksanakan HakNya saat ini dibatasi oleh waktu dunia, dan akan habis ketika usia seseorang itu selesai. Karena itu semampang di dunia, ibadah, amal, wirid harus diperbanyak sebanyak-banyaknya. Soal pahala dan balasan di akhirat itu bukan urusan kita. Manusia tidak berhak mengurus dan menentukan pahalanya. Semua itu adalah haknya Allah swt. Yang telah dijanjikan kepada kita, karena merasa menginginkannya.
Ibnu Athaillah lalu menegaskan, mana lebih utama tuntutan anda apa tuntutan Allah?
Disinilah lalu berlaku pandangan:
1. Taat itu lebih utama dibanding pahalanya.
2. Doa itu lebih utama dibanding ijabahnya.
3. Istiqomah itu lebih utama dibanding karomahnya.
4. Berjuang itu lebih utama dibanding suksesnya.
5. Sholat dua rekaat itu lebih utama ketimbang syurga seisinya.
6. Bertobat itu lebih utama ketimbang ampunan.
7. Berikhtiar itu lebih utama ketimbang hasilnya.
8. Bersabar itu lebih utama ketimbang hilangnya cobaan.
9. Dzikrullah itu lebih utama dibanding ketentraman hati.
10. Wirid itu lebih utama ketimbang warid.
11. dan seterusnya.

Para sufi sering mengingatkan kita, “Carilah Istiqomah dan jangan anda menjadi pemburu karomah. Sebab nafsumu menginginkan karomah sedangkan Tuhanmu menuntutmu istiqomah. Jelas bahwa Hak Tuhanmu lebih baik dibanding hak nafsumu.” Abu Syulaiman ad-Darany menegaskan, “Seandainya aku disuruh memilih antara sholat dua rekaat dan masuk syurga firdaus, sungguh aku memilih sholat dua rekaat. Karena dalam dua rekaat itu ada Hak Tuhanku, sedangkan dalam syurga firdaus hanya ada hak diriku.”

Karomah Bukan Derajat Luhur

“Tidak setiap orang yang memiliki keistemewaan itu sempurna kebersihan batin dan keikhlasannya.”

Saat ini publik ummat sering menilai derajat luhur seseorang dari kehebatan-kehebatan ilmu dan karomahnya. Syeikh Abu Yazid al-Bisthamy pernah didatangi muridnya, yang melaporkan karomah dan kehebatan seseorang.
“Dia bisa menyelam di lautan dalam waktu cukup lama…”
“Saya lebih kagum pada paus di lautan…”
“Dia bisa terbang…!” kata muridnya.
“Saya lebih heran, burung kecil terbang seharian…karena kondisinya memang demikian,” jawabnya.
“Lhah, dia ini bisa sekejap ke Mekkah…”
“Saya lebih heran pada Iblis sekejap bisa mengelilingi dunia…Namun dilaknat oleh Allah.”
Suatu ketika orang yang diceritakan itu datang ke masjid, tiba-tiba ia meludah ke arah kiblat.
“Bagaimana ia menjaga adab dengan Allah dalam hakikat, sedangkan adab syariatnya saja tidak dijaga..” kata beliau.
Banyak orang yang mendalami ilmu pentetahuan, mampu membaca dan mengenal dalil, kitab-kitab, bahkan memiliki keistemewaan, tetapi banyak pula diantara mereka tidak bersih hatinya, tidak ikhlas dalam ubudiyahnya.
Begitu pula ketika karomah dan tanda-tanda yang hebat itu disodorkan pada Sahl bin Abdullah at-Tustary, ra, beliau balik bertanya, “Apa itu tanda-tanda? Apa itu karomah? Itu semua akan sirna dengan waktunya. Bagiku orang yang diberi pertolongan Allah swt untuk merubah dari perilakunya yang tercela menjadi perilaku yang terpuji, lebih utama dibanding orang yang punya karomah seperti itu.”
Sebagian Sufi mengatakan, “Yang mengagumkan bukannya orang yang memasukkan tangan ke kantong sakunya, lalu menafkahkan apa saja dari kantong itu. Yang mengagumkan adalah orang yang memasukkan tangannya ke kantong sakunya karena merasa ada sesuatu yang disimpan di sana. Begitu ia masukkan tangannya ke sakunya, sesuatu itu tidak ada, namun dirinya tidak berubah (terkejut) sama sekali.”
Jadi karomah itu sesungguhnya hanyalah cara Allah memberikan pelajaran kepada yang diberi karomah agar perjalanan ruhaninya tidak berhenti, sehingga semakin menajak, semakin naik, bukan untuk menunjukkan keistemewaanya.
Yang istimewaan adalah Istiqomah. Karena itu para Sufi menegaskan, “Jangan mencari karomah, tetapi carilah Istiqomah.” Sebab istiqomah itu lebih hebat dibanding seribu karomah. Dan memang, hakikat kartomah adalah Istiqomah itu sendiri.
Bahkan Imam Al-Junayd
al-Baghdady pernah mengi-ngatkan, betapa banyak para Wali yang terpleset derajatnya hanya karena karomah.
Syeikh Abdul Jalil Mustaqim pernah mengatakan, ketika anda diludahi seseorang dan anda sama sekali tidak marah, itulah karomah, yang lebih hebat dibanding karomah yang lainnya.
Ketika dalam sebuah perkumpulan Thariqat Sufi, tiba-tiba ada seseorang datang, dan langsung membicarakan kehebatan ilmu ini dan itu, karomah si ini dan si itu. Lalu seseorang diantara mereka menegur,
“Mas, kalau di sini, ilmu-ilmu seperti yang anda sampaikan tadi hanya dinilai sampah. Jadi percuma sampean bicara sampah di sini…”

Ada seseorang disebut-sebut sebagai Wali:
“Wah dia itu wali, bisa baca pikiran orang, dan kejadian-kejadian yang pernah kita lakukan walau pun sudah bertahun-tahun lamanya…”
“Lhah, orang yang punya khadam Jin juga bisa diberi informasi oleh Jinnya tentang kejadian yang lalu maupun yang akan datang… Jadi hati-hati…”

“Beliau itu keturunan seorang Ulama besar..”
“Tidak ada jaminan nasab itu, nasibnya luhur di hadapan Allah…”
Dan panjang sekali kajian soal karomah dan kewalian ini, yang butuh ratusan halaman. Tetapi kesimpulannya, seseorang jangan sampai mengagumi kehebatan lalu mengklaim bahwa kehebatan itu menunjukkan derajat di depan Allah. Tidak tentu sama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar