Rabu, 16 September 2009

Sistem Alam Semesta dan Tingkatan-tingkatan Kemunculannya

Sistem Alam Semesta dan Tingkatan-tingkatan Kemunculannya

Kehadiran-kehadiran dan Tingkatan-tingkatan

Para pengikut Ibn ‘Arabi berkeyakinan bahwa kemunculan napas Rahmani—yang muncul dari keesaan al-Haqq—menyebabkan manifestasi tingkatan-tingkatan kemunculan dan sistem kemunculan alam semesta.[48] Istilah “lima kehadiran (al-hadharât al-khamsah)” digunakan pada beberapa tingkatan entifikasi Eksistensi Mutlak. Penegasannya (yaitu entifikasi ketunggalan dan keesaan lâhût yang telah dibahas sebelum ini) berkaitan dengan alam Rububiyyah, sedangkan kehadiran-kehadiran (tingkatan-tingkatan) yang lain berkaitan dengan alam “yang lain” dan lokus-lokus manifestasi. Semua itu adalah sebagai berikut:

1. Al-Jabarût, yaitu kemunculan segala hakikat Ilahi dan nama-nama penyucian dalam bentuk hal-hal immateri, dan yang dinamakan dengan ‘uqûl (dalam bahasa hikmah dan filsafat). Kehadiran atau tingkatan ini (dalam ‘irfan) meliputi jiwa-jiwa yang berpikir dan jiwa-jiwa falak (dalam istilah hukama).[49]

2. Al-Malakût, yaitu kemunculan nama-nama dan hakikat-hakikat Ilahi dalam bentuk hal-hal immateri yang lembut disertai beberapa pengaruh dan sifat-sifat materi seperti bentuk, misalnya. Akan tetapi, ia tidak bisa diuraikan atau dibagi. Mereka juga menyebutnya dengan mitsâl dan imajinasi terpisah (dalam istilah hukama).

3. Al-Nasût, yaitu tingkatan alam fisik, yang merupakan tingkat kemunculan yang paling rendah dan berkaitan dengan segala sesuatu yang tersusun, yang memiliki dimensi-dimensi dan bisa diuraikan atau dibagi.[50]

Kehadiran-kehadiran dan tingkatan-tingkatan tersebut masing-masing tersusun secara rapi dan teratur. Artinya, segala sesuatu yang ada dalam kehadiran atau tingkatan merupakan bentuk-bentuk atau misal-misal dari segala sesuatu yang ada dalam Kehadiran Tertinggi. Setiap sesuatu yang ada di alam nyata merupakan misal dari segala sesuatu yang ada di alam mitsâl, dan setiap sesuatu yang ada di alam akal merupakan kilasan yang memantulkan suatu keadaan kehadiran nama-nama dan sifat-sifat Ilahi (lahût). Adapun melewati tingkatan mana pun dan berusaha melihat martabat-martabat tertinggi, menuntut penyingkapan batin. Dari hal ini semua kita menyimpulkan bahwa dapat diasumsikan adanya empat ruang atau tingkatan, sekurang-kurangnya, dalam sistem hierarki alam manifestasi. Ruang-ruang atau tingkatan-tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tuhan tanpa kemunculan, yakni maqam Zat Ilahi tak terhingga yang berada di luar batas-batas pemahaman kita.[51] Ini merupakan tema Ilâhiyyât negatif (ahadiyyah).

2. Tuhan yang tampak, yakni mengisyaratkan pada aspek-aspek dari maqam Ulûhiyyah yang dapat kita pahami dengan pikiran kita dan merupakan tema Ilâhiyyât positif[52] (wâhidiyyah).

3. Aspek-aspek dari manifestasi-manifestasi tak terindera (bagi manusia), yakni ruang-ruang selain Allah, atau alam ciptaan yang tidak terindera dengan alat-alat indera lahiriah (alam-alam gaib). Seperti alam akal dan alam nafs.

4. Aspek-aspek terindera dari manifestasi-manifestasi (bagi manusia), yakni alam fisik dan aspek-aspek dari alam selain Allah yang terindera oleh alat-alat indera lahiriah manusia (alam nyata [syahâdah]), seperti alam semesta dan karakteristik-karakteristiknya.

Butir lain adalah bahwa urafa, di samping Ibn ‘Arabi, dalam pembahasan mereka tentang sistem manifestasi, menunjukkan banyak alam dan berbagai fase, seperti awan, debu, pena tertinggi, ‘Arsy, Ummul Kitab, Lauh Mahfuzh, barzakh, unsur tertinggi, dan sebagainya, yang sebagiannya dapat diaplikasikan pada fase-fase tersebut. Sementara itu, sebagian yang lain merupakan hasil dari pengamatan yang bertahap terhadap satu bagian dari alam-alam itu atau cakupannya pengamatan salah satunya terhadap yang lain.[53] Sebagian lain menunjukkan alam khusus yang berkaitan dengan penyingkapan batin atau penyaksian. Di sini, kami tidak akan menyebutkan semua yang disebutkan oleh mazhab Ibn ‘Arabi.

“Emanasi suci”—yang berhak diperoleh oleh makhluk, akal, pena tertinggi, dan lain-lain—dipandang sebagai manifestasi-manifestasi napas Rahmani dan manifestasi pertama yang bersumber dari al-Haqq di alam perbuatan (‘âlam fi‘l).[54] Yang lainnya—karena di dalamnya ada kesatuan, yaitu al-wahdah al-haqqah (al-wahdah al-zhilliyyah al-haqqah), sebagaimana tidak ada yang kedua dalam keawalannya, adalah apa yang kita lihat berkaitan dengan al-Haqq. Dalam hal ini, eksistensi yang tersebar dianggap sebagai lembaran yang pada setiap fase memungkinkan pencabutan entifikasi-entifikasi dan esensi-esensi darinya, dimana lima kehadiran ini dan fase-fase lain yang menunjukkannya dianggap sebagai hasil dari pandangan takatstsuriyyah (perbanyakan) terhadap satu eksistensi yang tersebar ini.

Urafa membagi sistem manifestasi ini menjadi dua bagian, yaitu gaib dan nyata atau batin dan lahir. Artinya, setiap fase merupakan suatu manifestasi dan kemunculan bagi fase sebelumnya dan sumber kemunculan fase berikutnya, dan ketersembunyiannya. Namun, dalam buku lain, kami melihat bahwa dua kehadiran, yakni ahadiyyah dan wâhidiyyah, berkaitan dengan alam gaib dan alam Rububiyyah. Sementara itu, alam-alam yang lain berkaitan dengan alam nyata dengan adanya sekat di antara keduanya, yaitu insan kamil, yang akan kami kemukakan pada pasal berikutnya. Ibn ‘Arabi yakin bahwa eksistensi (wujûd) itu satu (yaitu al-Haqq Swt.). Dia memiliki kemunculan “alam” dan ketersembunyian “nama-nama”, dan barzakh (sekat) penghimpun yang merupakan penengah di antara keduanya (yaitu insan kamil).[55]

Sistem kemunculan alam semesta terbagi ke dalam dua busur, yaitu busur naik dan busur turun. Salah satunya meliputi perjalanan dari kesatuan (wahdah) menuju kemajemukan (katsrah), dan demikian pula lima kehadiran itu. Di sana, al-Haqq turun dari huwiyyah-Nya yang mutlak dan tidak bisa dipahami ke alam-alam dunia (tanpa kekurangan). Atas dasar ini, tingkatan-tingkatan dan alam-alam tersebut tidak menyempurnakan manifestasi-manifestasi yang tidak sempurna dan kenaikannya, dan perjalanan dari kemajemukan ke kesatuan tanpa busur turun. Oleh karena itu, dikatakan bahwa akhir merupakan kembali ke permulaan.

Sistem manifestasi ini dapat kami gambarkan melalui bentuk berikut:
1. Menurut kejauhan dari alam kesatuan:

Makna dari bagian-bagian:
Emanasi (manifestasi) terkudus:
Emanasi (manifestasi) yang dikuduskan:
Napas Rahmani:

2. Menurut busur naik dan busur turun:
Huwiyyah
Gaib dari segala gaib 1. kesatuan mutlak:
(a) ahadiyyah:
Gaib 2. wâhidiyyah: entifikasi awal
entifikasi kedua
(b)
3. jabarût
Penyaksian 4. malakût
5. nâsût
Jâmi‘ (gaib dan nyata) insan kamil

Busur turun: dua busur (a) dan (b) meliputi fase-fase dari 2 hingga 5.
Busur naik: satu busur (c) ebalikan dari fse-fase tersebut.

Ma‘âd dan Raj‘ah Alam Semesta

Esensi alam semesta diwujudkan dalam (dari dan ke) kembali ke permulaan (mabda’). Proses penciptaan dan kiamat dalam ‘irfan nazhari menunjukkan busur naik dan busur turun. Keduanya seperti lâzim dan malzûm, dimana butir hubungan akhir busur naik dengan permulaan busur turun merupakan penyempurna lingkaran eksistensi.[56] Poros ma‘âd dalam ‘irfan dipandang sebagai alam semesta seluruhnya, bukan manusia semata.

Sayid Haidar Al-Amuli berkata, “Ma‘âd ahli syariat adalah kembalinya ruh ke jasad mayat yang fana setelah bagian-bagiannya menyatu. Ma‘âd ahli tarekat adalah kembalinya manifestasi sebagian nama ke manifestsi nama-nama yang lain. Sementara itu, ma‘âd ahli hakikat adalah kefaan dalam penyatuan perbuatan, sifat dan Zat, kekekalan dengan al-Haqq, dan kembali kepadanya dalam semua aspek.”[57]

Tentu saja, perbedaan yang tampak dari proses kembali ini dalam diri manusia terjadi pada kemunculan perbuatan-perbuatan manusia semuanya di pentas hari kiamat. Yakni, batin manusia tersingkap sebagai akibat dari penyingkapan alam semesta sendiri.

Jadi, penafsiran yang diketengahkan oleh sang arif tentang perjalanan alam semesta dan manusia menuju hari kiamat dan sesudahnya tidak mengandung arti ketiadaan dan penciptaan, tetapi penampakan dan penyembunyian. Mengenai hal ini, Ibn ‘Arabi berkata, “Yang mengatur alam semesta adalah penghilangan, bukan peniadaan atau kefanaan. Maka kematian adalah penghilangan, bukan peniadaan, karena ia berpindah dari dunia ke akhirat yang awalnya merupakan barzakh (sekat). Penghilangan itu merupakan bagian dari sifat-sifat al-Haqq, bukan peniadaan, sebagaimana Dia berfirman, Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan (hilangkan) kamu, wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain.[58] Dia tidak menyebut “peniadakan kamu”. Oleh karena itu, Dia tidak menjadikan lapar puasa sebagai lapar yang merusak diri, walaupun hal itu merupakan penghilangan, bukan peniadaan. Hal itu karena tidak ada peniadaan terhadap maujud ini, karena sesuatu yang disebut eksistensi hanyalah al-Haqq yang muncul dalam entitas-entitas manifestasi. Dengan demikian, ketiadaan tidak menyentuh-Nya sama sekali.”[59]

Pada dasarnya, kiamat bukan berarti keterputusan manifestasi-manifestsi al-Haqq sama sekali. Akan tetapi, kiamat sendiri adalah manifestsi lain al-Haqq tetapi dengan bentuk lain dan bersama nama-nama yang lain. Artinya, manifestasi al-Haqq di akhirat terjadi dengan nama Yang Mahabatin, Yang Mahaperkasa, dan Yang Maha Mengembalikan. Adapun di dunia, manifeestasi Allah Swt. terjadi dengan nama Yang Mahalahir, Yang Maha memulai, dan Yang Maha Pencipta.[60] Namun, sesuai kaidah “nama-nama seluruhnya dalam keseluruhan” dan bahwa setiap sesuatu dapat dianggap sebagai kemunculan semua nama-nama keindahan dan keagungan (meskipun salah satu kemunculan itu terjadi pada manifestasi khusus dan umum), kiamat tidak berarti terjadinya suatu perkara yang tidak ada sebelumnya. Akan tetapi, pada kenyataannya, alam akhirat merupakan batin alam ini (dunia). Dunia dan akhirat memiliki eksistensi yang sama dalam manifestasi Ilahi dan sesuai dengan busur naik dan busur turun. Atas dasar ini, terjadinya kiamat merupakan sesuatu yang relatif, yakni suatu perkara yang belum terjadi pada sebagian besar orang. Namun, berkatian dengan Allah Swt. dan mereka yang memiliki pandangan Ilahiah,[61] kiamat sama dengan dunia. Hal itu karena penampakan akhir al-Haqq dan manifestasi-Nya dengan nama Yang Mahaperkasa terjadi secara terus-menerus, dan karena mulk dan malakût hanyalah milik-Nya untuk selamanya. Adapun, orang-orang yang tertabir, yang tidak melewati lahiriah alam semensta dan tidak pula mengenal batinnya, mereka tidak mampu memahami hal tersebut. Tentang mereka, Allah Swt. berfirman, Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap kehidupan akhirat, mereka lalai—(QS Al-Rûm: 7)

Tentu saja, penampakan al-Haqq kepada semuanya pada hari kiamat lebih jelas dan daripada penampakan-Nya di dunia ini. Al-Quran menyebut hari itu dengan hari al-Haqq dan sebagainya. Pada hari itu, akan tampak jelas bagi orang yang beriman dan juga orang kafir kerajaan Tuhan, keterputusan segala sebab, dan penyingkapan kebatilan segala sesuatu.[62]

Butir lain, sesuai teori penciptaan baru, adalah sebagaimana suatu kemunculan keluar ke alam nyata (penciptaan) dari ketersembunyian al-Haqq selama proses penciptaan, maka penciptaan apa pun tersembunyi lagi dalam kegaiban dan batin (yaitu raj‘ah). Makna huwiyyah (dari dan kepadanya) bagi alam semesta adalah kemunculan dan kefanaan ini, dan bahwa setiap individu memiliki kemunculan pada setiap momen dan ketersembunyian pada momen berikutnya. Demikian pula dalam hal kemunculan dan ketersembunyian yang terus-menerus.[63]

Adapun butir terakhir, sebagaimana permulaan alam semesta terjadi melalui cinta dan gerakan cinta, maka kembalinya pun dengan cara yang sama. Hal itu terjadi dari dua sisi. Pertama, terjadi pada cinta al-Haqq terhadap manifestasi-manifestasi-Nya dan kembalinya manifestasi-manifestasi tersebut kepada-Nya. Kedua, cinta manifestasi-manifestasi terhadap kesempurnaan mutlak dan tujuan segala sesuatu (Zat al-Haqq). Hal itu karena alam semesta seluruhnya selalu mencari Allah Swt. agar sampai ke maqam yang abadi dan tempat yang kekal. Karena sifat pencarian ini tidak terhingga dan karena pertolongan Ilahi tidak ada hentinya, maka akhirat dan perjalanan di sana juga abadi.

Pembagian Kiamat

Urafa memberikan pembagian terhadap jenis-jenis kembali ke asal yang dihasilkan di alam eksistensi yang didasrkan pada penyaksian batin (syuhûd) dan beberapa ayat al-Quran dan hadis-hadis yang berbicara tentang tingkatan-tingkatan, martabat-martabat, dan fase-fase ma‘âd. Di sini, akan kami tunjukkan pembagian yang komprehensif yang diberikan oleh Sayid Haidar al-Amuli terhadap ma‘âd, dalam risalahnya yang berjudul: Asrâr al-Syarî‘ah wa Athwâr al-Tharîqah wa Anwâr al-Haqîqah. Terlebih dahulu, ia membaginya ke adalam dua bagian, yaitu formalitas (shûriyyah) dan spiritualitas (ma‘nawiyyah). Yang pertama menunjukkan perubahan umum yang terjadi di alam lahiriah dan alam-alam nyata. Sementara itu, yang kedua menunjukkan perubahan yang terjadi di alam gaib dan yang disebut al-qiyâmah al-ma‘nawiyyah al-âfâqiyyah atau “perubahan yang bersumber dari kenaikan jiwa pesuluk dan terjadi di dalam batinnya” yang disebut al-qiyâmah al-ma‘nawiyyah al-nafsiyyah.

Selanjutnya, bagian kedua ini terbagi menjadi dua bagian.

1. Al-Qiyâmah al-anfusiyyah bagi ahli tarekat, yaitu yang menunjukkan lipatan fase-fase dan maqam-maqam jiwa manusia, dimulai dari bangun dan diakhiri dengan kefanaan dan kematian, dari maqam dan kehidupan mana pun ke maqam yang lebih tinggi.

2. Al-Qiyâmah al-anfusiyyah bagi ahli hakikat, yaitu yang menunjukkan perubahan pemilik wilayah (walî) dalam perbuatan, sifat dan zat, dan kesampaian ke tiga fase keabadian setelah kefanaan, dan yang disebut al-jannah al-af‘âliyyah, al-jannah al-shifâtiyyah, dan al-jannah al-dzâtiyyah. Selanjutnya, kesampaian ke penyaksian penyatuan khusus dari khusus—yakni kesatuan eksistensi (wahdah al-wujûd), dan bahwa tidak ada eksistensi di rumah eksistensi kecuali milik al-Haqq serta nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya.

Inilah penyingkapan batin universal yang oleh urafa disebut al-qiyâmah al-kubrâ. Adapun dua fase sebelum fase ini, mereka menyebutnya al-qiyâmah al-shughrâ dan al-qiyâmah al-wusthâ secara bergantian. Kami dapat menggambarkan hal itu dalam skema berikut:

menurut ahli tarekat
anfusiyyah
ma‘nawiyyah menurut ahli hakikat[64]
Al-Qiyâmah âfâqiyyah
shûriyyah

Catatan kaki:

1. Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 3, hal. 442.
2. “Jika al-Haqq adalah huwiyyah alam semesta, maka hukum-hukum seluruhnya hanya muncul dri-Nya dan pada-Nya” (Fushûsh al-Hikam, hal. 172).
3. “Sesungguhnya al-Haqq sendiri adalah bukti terhadap diri-Nya dan terhadap Uluhiyyah-Nya, dan sesungguhnya alam semesta tiada lain adalah manifestasi-Nya dalam bentuk-bentuk entifikasi-entifikasi sekunder mereka … dan bahwa ia menjadi beberapa jenis dan bentuk berdasarkan hakikat-hakikat entitas-entitas ini dan keadaan-keadaannya” (Fushûsh al-Hikam, hal. 81).
4. Dîwân Matsnawî, jil. 6, bait no. 3171-3173 dan no. 3182.
5. Fushûsh al-Hikam, hal. 159.
6. Di sini, perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud khayal oleh Ibn ‘Arabi bukan khayal lemah yang tidak berdasar, bukan pula khazanah hiss musytarak dalam istilah filsafat, dan bukan khayal terpisah dari misal yang nisbahkan pada lima kehadiran. Akan tetapi, yang dimaksud adalah khayal dalam istilahnya yang merupakan alam yang luas yang mencakup semua tingkatan alam dan semua keadaan yang di dalamnya muncul hakikat-hakikat eksistensial dalam bentuk simbol. Silakan lihat Ibn ‘Arabi Cahreh-i bar Jasteh-i ‘Irfân Islâmî karya Muhsin Jihanghiri, hal. 317. Ibn ‘Arabi menjelaskan maksudnya. Ia berkata, “Alam adalah khayalan yang tidak memiliki eksistensi hakiki, dan ini artinya khayal, yakni dikhayalkan padamu bahwa ia merupakan perkara tambahan yang brdiri sendiri di luar al-Haqq, tetapi tidak begitu dalam perkara yang sama.” Dengan kalimat yang hampir sama, ia juga menyerupakan alam semesta dengan sihir dalam bukunya al-Futûhât al-Makkiyyah. Di situ, ia berkata, “Alam seluruhnya adalah sihir yang dikhayalkan kepadamu bahwa ia adalah benar, padahal ia tidak benar, dan dikhayalkan kepadamu bahwa ia adalah makhluk, padahal ia bukan makhluk.” (jil. 4, hal. 151).
7. Al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 313; Fushûsh al-Hikam, hal. 103-104.
8. Ghulsyân Râz, bait no. 468 dan 710.
9. Hal. 104.
10. Fushûsh al-Hikam, hal. 99.
11. Al-Shûfiyyah al-Thâwiyah, pasa 1, hal. 29-30.
12. Syarh Fushûsh al-Hikam karya al-Qaishari, hal. 421-423. Silakan lihat juga al-Futûhât al-Makkiyyah, jil., 4 (cetakan baru), hal. 408-409.
13. Fushûsh al-Hikam, hal. 101.
14. Fushûsh al-Hikam, hal. 102. Perhatikan bahwa tempat (mahall) dan bayangan (zhill) tampak sekaligus dalam pembahasan kami ini.
15. Syarh Fushûsh al-Hikam karya ‘Abdul Razzaq al-Kasyani, hal 138.
16. Surah al-Nûr: 35.
17. Kasyf al-Ghithâ: 14 Risalah ‘Irfân, hal. 91.
18. Al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 216. Dalam hal ini, Ibn ‘Arabi beranggapan bahwa masalah yang lebih samar dalam pengetahuan Ilahi adalah bahwa mumkinât—menurut pendapat mereka—tidak berasal dari Allah Swt. kecuali eksistensi. Sementara itu, ahli kasyf dan urafa yang mengetahui makna hakiki dari ucapan ini mengetahui bahwa tidak ada eksistensi yang sebenarnya kecuali Allah, sedangkan mumkinât akan sirna. Untuk menjelaskan perkataan ini secara logis, Ibn ‘Arabi mengetengahkan beberapa masalah yang dipandang batil dalam kacamata akal. Pada akhirnya, ia memandang bahwa jalan penyingkapan batin dan wahyu adalah solusinya. Dalam menjelaskan hal ini, ia mengetengahkan topik aliran al-Haqq dalam maujud. Ia berkata, “Sekiranya tidak ada aliran al-Haqq pada mujud dalam bentuk tertentu, niscaya alam ini tidak memiliki eksistensi. Selain itu, sekiranya tidak ada hakikat-hakikat logis itu dan universal itu, tidak akan muncul hukum dalam maujud entifikasi.” (Fushûsh al-Hikam, hal. 55).
19. Ibn ‘Arabi menjelaskan faktor kesatuan dan keberlainan itu dengan mengatakan, “Apa yang kita persepsi adalah eksistensi al-Haqq dalam entitas-entitas mumkinât, dimana huwiyyah al-Haqq adalah eksistensi-nya dan perbedaan bentuk di dalamnya adalah entitas-entitas mumkinât.” (Fushûsh al-Hikam, hal. 3). Di tempat lain, ia berkata, “Ketahuilah, al-Haqq bermanifestasi dengan sifat-sifat ciptaan. Ketahuilah, makhluk bermanifestasi dengan sifat-sifat al-Haqq dari awal hingga akhir.” (Fushûsh al-Hikam, hal. 80).
20. Sebagian muhaqqiq menjelaskan bahwa salah satu karakteristik yang menghiasi pemikiran dan pandangan Ibn ‘Arabi dalam ta‘addudiyyah (keberbilangan) dimana pengalaman-pengalamannya yang dalam dan kaya yang kita saksikan dalam pemikiran dan pandangan-pandangannya yang berkaitan dengan suatu masalah tertentu, membantu kemampuannya untuk berimajinasi. Konsekuensinya, pemikiran-pemikirannya dapat menyentuh berbagai aspek dan dan bentuk-bentuk yang kontrakdiktif sehingga memberinya perkembangan yang konstan yang tampak dengan jelas dalam pemilikan kosa kata dan ungkapan yang digunakannya. (Silakan lihat al-Shûfiyyah al-Thâwiyah, hal. 212).
21. Inilah teks hadis itu: “Aku adalah pusaka terpendam yang tidak dikenal. Lalu, Aku ingin dikenal. Maka Aku menciptakan makhluk agar Aku dikenal.” (al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 112; Lathâ’if al-A‘lâm, hal. 395).
22. Syarh Fushûsh al-Hikam karya al-Qaishari, hal. 203.
23. Silakan lihat al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 325 dan jil. 3, hal. 449.
24. Fushûsh al-Hikam, hal. 143.
25. Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa penciptaan bukan perkara unilateral. Ia berkata, “Maujud-maujud seluruhnya adalah kalam-kalam Allah yang tidak akan habis, karena ia dari kun, dan kun adalah kalan Allah.”
26. Fushûsh al-Hikam, hal. 115-116.
27. Dalam risalahnya, al-Shifât al-Ilâhiyyah, Ibn ‘Arabi berkata, “Kata kun tidak berarti menentuan apa yang dimaksud (yang berkaitan dengan kehendak) dengan perantaraan kehendak yang dikhususkan semata. Akan tetapi, hal itu menurut apa yang disebutkan dalam Surah al-Nahl: 40: Sesunguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, “Kun (jadilah)!” maka jadilah ia. Ini adalah ucapan yang bersumber dari kehendak dan pengetahuan, dan kekuasaan yang bersumber darinya. Betapa sering pemikiran sampai pada tiga pemahaman terakhir tanpa sampai ke batas “ucapan” itu karena mereka menyaksikan pengaruh dari sifat-sifat itu tanpa sampai ke pengaruh “ucapan” tersebut. Hanya dalil naqli (wahyu) dan penyingkapan batin yang mampu sampai ke sana, karena ahli kasyf mendengarkan ucapan Ilahi dengan telinga hati sehingga mereka sulit mengingkarinya.” (al-Rasâ’il al-‘Irfâniyyah al-Arba‘ah ‘Asyrah, hal. 23-25).
28. Fushûsh al-Hikam, hal. 115.
29. Fushûsh al-Hikam, hal. 115.
30. Perlu ditunjukkan bahwa tidak adanya pengulangan dalam manifestasi dalam pembahasan yang berkaitan dengan manifestasi adalah karena adanya kaidah yang tersebar di kalangan ahli ‘irfan—baik dalam ‘irfan nazhari maupun dalam ‘irfan ‘amali—dan kaidah tersebut—dalam ‘irfan nazhari—dikenal engan nama “kaidah penciptaan baru”, dan yang menunjukkan pembaruan misal-misal dan kemunculan emanasi-emanasi yang serupa pada setiap manifestasi.
31. Fushûsh al-Hikam, hal. 641-643.
32. Ghulsyân Râz, bait no. 641-643.
33. Surah Qâf: 15.
34. Dîwân Matsnawî, jil. 1, bait no. 1146-1147.
35. Fushûsh al-Hikam, hal. 124-125.
36. Fushûsh al-Hikam, hal. 124.
37. Syarh Fushûsh al-Hikam, hal. 152.
38. Silakan lihat al-Shûfiyyah al-Thâwiyyah, hal. 220.
39. Dîwân Matsnawî, jil. 1, bait no. 1144-1145.
40. Rasyhât al-Bihâr karya Muhammad ‘Ali Syah Abadi, hal. 208.
41. Syarh Fushûsh al-Hikam karya al-Qasihari, mukadimah, hal. 28.
42. Syarh Fushûsh al-Hikam karya al-Qasihari, mukadimah, hal. 25.
43. Surah al-Rahmân: 29.
44. Ibn ‘Arabi berkata, “Dapat dikatakan bahwa Mukmin pertama adalah dari nama-nama al-Haqq dan Mukmin kedua adalah manusia. Demikian pula sebaliknya.” Pada hal. 62 Fashsh Hikmah Nafatsiyyah fî Kalimah Syîtsiyyah dalam Fushûsh al-Hikam, ia berkata, “Dia adalah cerminmu dalam pandanganmu terhadap dirimu, dan kamu adakan cermin-Nya dalam pandangan-Nya terhadap nama-nama-Nya.” Untuk lebih jelas, silakan lihat al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 1, hal. 176 dan 739, dan jil. 3, hal. 131.
45. Fushûsh al-Hikam, hal. 172.
46. Al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 3 (cetakan baru), hal. 345.
47. Fushûsh al-Hikam, hal. 84.
48. Napas Rahmani terbentuk dari sisi ketersembunyiannya dan melalui emanasi tersuci (al-faidh al-aqdas), sehingga terbentuk makna-makna dan entitas-entitas sekunder al-Haqq. Adapun dari sisi kemunculannya dan melalui emanasi tersucikan (al-faidh al-muqaddas), maka hal itu menyebabkan penciptaan entitas-entitas eksternal di alam luar.
49. Sesuai dengan apa yang diucapkan oleh al-Qaishari, bahwa esensi akal dan jiwa menurut urafa adalah sama, dan perbedaan di antara keduanya hanyalah dalam ada atau tidak adanya kaitan dengan badan. Ia adalah perkara aksidental murni. (Silakan lihat Rasâ’il al-Qaisharî, hal. 16).
50. Silakan lihat Syarh Fushûsh al-Hikam karya al-Qaishari, mukadimah, hal. 27 dan 36; Ishthilâhât al-Shûfiyyah karya ‘Abdul Razzaq al-Kasyani, hal. 82; dan Naqd al-Nushûsh, hal. 30-32.
51. Kami melihat dalam banyak gubahan syair ‘irfan isyarat-isyarat yang menunjukkan maqam ini dan keterpisahannya dari maqam kedua. Dalam ‘irfan, hal itu disebut “barhâmâi nîrghûnâ”, yakni barhamai yang sulit dijelaskan, dan dalam mistisisme Kristen disebut Ilwhiyyah, sebagaimana disebut “ikhârat”, atau kegaiban misterius menurut Jacob Buhimah.
52. Kalimat ini dikutip dari Mushthafâ Mulkiyân (kata pengantar buku Ghuhar va Shadf ‘Irfân Islâmî, hal. 19).
53. Alam-alam dan tingkatan-tingkatan ini ibarat penjelasan umum atau terperinci dari sebagian terhadap sebagian yang lain. (Silakan lihat, Naqd al-Nushûsh, hal. 63-64).
54. Makna emanasi yang dikuduskan adalah entitas-entitas tak berubah yang diciptakan bersama emanasi terkudus dan keluar dari kondisi sesuatu yang masuk akal dan muncul di alam nyata, dan membawa alam ini pada aktivitas.
55. Tanbîhât ‘alâ ‘Uluww al-Haqîqah al-Muhammadiyyah, hal. 38 dan 39.
56. Mungkin ditunjukkan aspek kesesuain kiamat dengan insan kamil (atau al-bunyah al-muhammadiyyah) yang ditunjukkan oleh urafa dalam karya-karya mereka, sehingga insan kamil adalah penerima dua busur eksistensi.
57. Asrâr al-Syarî‘ah, hal. 104-110.
58. Surah al-Nisâ’: 133.
59. Al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 10, hal. 490.
60. Asrâr al-Syarî‘ah, hal. 106-107.
61. Urafa beranggapan bahwa substansi kematian (maut) yang disebutkan dalam hadis: “Barangsiapa mati, kiamatnya telah terjadi,” adalah kematian ikhtiari dan kefanaan, di samping kematian alami. Oleh karena itu, arif yang fana dalam Allah menyaksikan kebatilan segala sesuatu, keterputusan segala sebab, dan sebagainya di dunia ini. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai hal ini dan mengenai pembagian kematian ikhtiari menjadi empat bagian, silakan lihat Asrâr al-Syarî‘ah, hal. 113-120.
62. Silakan lihat Rasâ’il Tauhidyyah karya Allamah Muhammad Husain al-Thabathba’i, hal. 232-235; Tafsîr al-Mîzân: surah al-Mu’min: 16, al-Infithâr: 19, dan al-Baqarah: 164.
63. Sayid Haidar al-Amuli mendefinisikan kiamat dan ma‘âd buku Asrâr al-Syarî‘ah dalam bentuk berikut: “Ia adalah perubahan dan kembalinya alam lahir yang terus-menerus menuju alam batin. Dunia juga begitu, yang kemunculan alam batin yang terus-menerus dalam bentuk alam lahir. Artinya, penciptaan dan kemunculan merupakan pusaka al-Haqq yang terpendam.”
64. Karena setiap bagian kiamat yang disebutkan oleh Sayid Haidar al-Amuli terbagi lagi menjadi tiga bagi, yaitu shughrâ, wusthâ dan kubrâ, maka ia dalam risalahnya tersebut menunjukkan dua belas bagian. Silakan lihat Asrâr al-Syarî‘ah, hal. 112-130.
65. (Translated by Irwan Kurniawan, Bandung, Januari 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar