Rabu, 16 September 2009

Sistem Alam Semesta dan Tingkatan-tingkatan Kemunculannya

Sistem Alam Semesta dan Tingkatan-tingkatan Kemunculannya

Kehadiran-kehadiran dan Tingkatan-tingkatan

Para pengikut Ibn ‘Arabi berkeyakinan bahwa kemunculan napas Rahmani—yang muncul dari keesaan al-Haqq—menyebabkan manifestasi tingkatan-tingkatan kemunculan dan sistem kemunculan alam semesta.[48] Istilah “lima kehadiran (al-hadharât al-khamsah)” digunakan pada beberapa tingkatan entifikasi Eksistensi Mutlak. Penegasannya (yaitu entifikasi ketunggalan dan keesaan lâhût yang telah dibahas sebelum ini) berkaitan dengan alam Rububiyyah, sedangkan kehadiran-kehadiran (tingkatan-tingkatan) yang lain berkaitan dengan alam “yang lain” dan lokus-lokus manifestasi. Semua itu adalah sebagai berikut:

1. Al-Jabarût, yaitu kemunculan segala hakikat Ilahi dan nama-nama penyucian dalam bentuk hal-hal immateri, dan yang dinamakan dengan ‘uqûl (dalam bahasa hikmah dan filsafat). Kehadiran atau tingkatan ini (dalam ‘irfan) meliputi jiwa-jiwa yang berpikir dan jiwa-jiwa falak (dalam istilah hukama).[49]

2. Al-Malakût, yaitu kemunculan nama-nama dan hakikat-hakikat Ilahi dalam bentuk hal-hal immateri yang lembut disertai beberapa pengaruh dan sifat-sifat materi seperti bentuk, misalnya. Akan tetapi, ia tidak bisa diuraikan atau dibagi. Mereka juga menyebutnya dengan mitsâl dan imajinasi terpisah (dalam istilah hukama).

3. Al-Nasût, yaitu tingkatan alam fisik, yang merupakan tingkat kemunculan yang paling rendah dan berkaitan dengan segala sesuatu yang tersusun, yang memiliki dimensi-dimensi dan bisa diuraikan atau dibagi.[50]

Kehadiran-kehadiran dan tingkatan-tingkatan tersebut masing-masing tersusun secara rapi dan teratur. Artinya, segala sesuatu yang ada dalam kehadiran atau tingkatan merupakan bentuk-bentuk atau misal-misal dari segala sesuatu yang ada dalam Kehadiran Tertinggi. Setiap sesuatu yang ada di alam nyata merupakan misal dari segala sesuatu yang ada di alam mitsâl, dan setiap sesuatu yang ada di alam akal merupakan kilasan yang memantulkan suatu keadaan kehadiran nama-nama dan sifat-sifat Ilahi (lahût). Adapun melewati tingkatan mana pun dan berusaha melihat martabat-martabat tertinggi, menuntut penyingkapan batin. Dari hal ini semua kita menyimpulkan bahwa dapat diasumsikan adanya empat ruang atau tingkatan, sekurang-kurangnya, dalam sistem hierarki alam manifestasi. Ruang-ruang atau tingkatan-tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tuhan tanpa kemunculan, yakni maqam Zat Ilahi tak terhingga yang berada di luar batas-batas pemahaman kita.[51] Ini merupakan tema Ilâhiyyât negatif (ahadiyyah).

2. Tuhan yang tampak, yakni mengisyaratkan pada aspek-aspek dari maqam Ulûhiyyah yang dapat kita pahami dengan pikiran kita dan merupakan tema Ilâhiyyât positif[52] (wâhidiyyah).

3. Aspek-aspek dari manifestasi-manifestasi tak terindera (bagi manusia), yakni ruang-ruang selain Allah, atau alam ciptaan yang tidak terindera dengan alat-alat indera lahiriah (alam-alam gaib). Seperti alam akal dan alam nafs.

4. Aspek-aspek terindera dari manifestasi-manifestasi (bagi manusia), yakni alam fisik dan aspek-aspek dari alam selain Allah yang terindera oleh alat-alat indera lahiriah manusia (alam nyata [syahâdah]), seperti alam semesta dan karakteristik-karakteristiknya.

Butir lain adalah bahwa urafa, di samping Ibn ‘Arabi, dalam pembahasan mereka tentang sistem manifestasi, menunjukkan banyak alam dan berbagai fase, seperti awan, debu, pena tertinggi, ‘Arsy, Ummul Kitab, Lauh Mahfuzh, barzakh, unsur tertinggi, dan sebagainya, yang sebagiannya dapat diaplikasikan pada fase-fase tersebut. Sementara itu, sebagian yang lain merupakan hasil dari pengamatan yang bertahap terhadap satu bagian dari alam-alam itu atau cakupannya pengamatan salah satunya terhadap yang lain.[53] Sebagian lain menunjukkan alam khusus yang berkaitan dengan penyingkapan batin atau penyaksian. Di sini, kami tidak akan menyebutkan semua yang disebutkan oleh mazhab Ibn ‘Arabi.

“Emanasi suci”—yang berhak diperoleh oleh makhluk, akal, pena tertinggi, dan lain-lain—dipandang sebagai manifestasi-manifestasi napas Rahmani dan manifestasi pertama yang bersumber dari al-Haqq di alam perbuatan (‘âlam fi‘l).[54] Yang lainnya—karena di dalamnya ada kesatuan, yaitu al-wahdah al-haqqah (al-wahdah al-zhilliyyah al-haqqah), sebagaimana tidak ada yang kedua dalam keawalannya, adalah apa yang kita lihat berkaitan dengan al-Haqq. Dalam hal ini, eksistensi yang tersebar dianggap sebagai lembaran yang pada setiap fase memungkinkan pencabutan entifikasi-entifikasi dan esensi-esensi darinya, dimana lima kehadiran ini dan fase-fase lain yang menunjukkannya dianggap sebagai hasil dari pandangan takatstsuriyyah (perbanyakan) terhadap satu eksistensi yang tersebar ini.

Urafa membagi sistem manifestasi ini menjadi dua bagian, yaitu gaib dan nyata atau batin dan lahir. Artinya, setiap fase merupakan suatu manifestasi dan kemunculan bagi fase sebelumnya dan sumber kemunculan fase berikutnya, dan ketersembunyiannya. Namun, dalam buku lain, kami melihat bahwa dua kehadiran, yakni ahadiyyah dan wâhidiyyah, berkaitan dengan alam gaib dan alam Rububiyyah. Sementara itu, alam-alam yang lain berkaitan dengan alam nyata dengan adanya sekat di antara keduanya, yaitu insan kamil, yang akan kami kemukakan pada pasal berikutnya. Ibn ‘Arabi yakin bahwa eksistensi (wujûd) itu satu (yaitu al-Haqq Swt.). Dia memiliki kemunculan “alam” dan ketersembunyian “nama-nama”, dan barzakh (sekat) penghimpun yang merupakan penengah di antara keduanya (yaitu insan kamil).[55]

Sistem kemunculan alam semesta terbagi ke dalam dua busur, yaitu busur naik dan busur turun. Salah satunya meliputi perjalanan dari kesatuan (wahdah) menuju kemajemukan (katsrah), dan demikian pula lima kehadiran itu. Di sana, al-Haqq turun dari huwiyyah-Nya yang mutlak dan tidak bisa dipahami ke alam-alam dunia (tanpa kekurangan). Atas dasar ini, tingkatan-tingkatan dan alam-alam tersebut tidak menyempurnakan manifestasi-manifestasi yang tidak sempurna dan kenaikannya, dan perjalanan dari kemajemukan ke kesatuan tanpa busur turun. Oleh karena itu, dikatakan bahwa akhir merupakan kembali ke permulaan.

Sistem manifestasi ini dapat kami gambarkan melalui bentuk berikut:
1. Menurut kejauhan dari alam kesatuan:

Makna dari bagian-bagian:
Emanasi (manifestasi) terkudus:
Emanasi (manifestasi) yang dikuduskan:
Napas Rahmani:

2. Menurut busur naik dan busur turun:
Huwiyyah
Gaib dari segala gaib 1. kesatuan mutlak:
(a) ahadiyyah:
Gaib 2. wâhidiyyah: entifikasi awal
entifikasi kedua
(b)
3. jabarût
Penyaksian 4. malakût
5. nâsût
Jâmi‘ (gaib dan nyata) insan kamil

Busur turun: dua busur (a) dan (b) meliputi fase-fase dari 2 hingga 5.
Busur naik: satu busur (c) ebalikan dari fse-fase tersebut.

Ma‘âd dan Raj‘ah Alam Semesta

Esensi alam semesta diwujudkan dalam (dari dan ke) kembali ke permulaan (mabda’). Proses penciptaan dan kiamat dalam ‘irfan nazhari menunjukkan busur naik dan busur turun. Keduanya seperti lâzim dan malzûm, dimana butir hubungan akhir busur naik dengan permulaan busur turun merupakan penyempurna lingkaran eksistensi.[56] Poros ma‘âd dalam ‘irfan dipandang sebagai alam semesta seluruhnya, bukan manusia semata.

Sayid Haidar Al-Amuli berkata, “Ma‘âd ahli syariat adalah kembalinya ruh ke jasad mayat yang fana setelah bagian-bagiannya menyatu. Ma‘âd ahli tarekat adalah kembalinya manifestasi sebagian nama ke manifestsi nama-nama yang lain. Sementara itu, ma‘âd ahli hakikat adalah kefaan dalam penyatuan perbuatan, sifat dan Zat, kekekalan dengan al-Haqq, dan kembali kepadanya dalam semua aspek.”[57]

Tentu saja, perbedaan yang tampak dari proses kembali ini dalam diri manusia terjadi pada kemunculan perbuatan-perbuatan manusia semuanya di pentas hari kiamat. Yakni, batin manusia tersingkap sebagai akibat dari penyingkapan alam semesta sendiri.

Jadi, penafsiran yang diketengahkan oleh sang arif tentang perjalanan alam semesta dan manusia menuju hari kiamat dan sesudahnya tidak mengandung arti ketiadaan dan penciptaan, tetapi penampakan dan penyembunyian. Mengenai hal ini, Ibn ‘Arabi berkata, “Yang mengatur alam semesta adalah penghilangan, bukan peniadaan atau kefanaan. Maka kematian adalah penghilangan, bukan peniadaan, karena ia berpindah dari dunia ke akhirat yang awalnya merupakan barzakh (sekat). Penghilangan itu merupakan bagian dari sifat-sifat al-Haqq, bukan peniadaan, sebagaimana Dia berfirman, Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan (hilangkan) kamu, wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain.[58] Dia tidak menyebut “peniadakan kamu”. Oleh karena itu, Dia tidak menjadikan lapar puasa sebagai lapar yang merusak diri, walaupun hal itu merupakan penghilangan, bukan peniadaan. Hal itu karena tidak ada peniadaan terhadap maujud ini, karena sesuatu yang disebut eksistensi hanyalah al-Haqq yang muncul dalam entitas-entitas manifestasi. Dengan demikian, ketiadaan tidak menyentuh-Nya sama sekali.”[59]

Pada dasarnya, kiamat bukan berarti keterputusan manifestasi-manifestsi al-Haqq sama sekali. Akan tetapi, kiamat sendiri adalah manifestsi lain al-Haqq tetapi dengan bentuk lain dan bersama nama-nama yang lain. Artinya, manifestasi al-Haqq di akhirat terjadi dengan nama Yang Mahabatin, Yang Mahaperkasa, dan Yang Maha Mengembalikan. Adapun di dunia, manifeestasi Allah Swt. terjadi dengan nama Yang Mahalahir, Yang Maha memulai, dan Yang Maha Pencipta.[60] Namun, sesuai kaidah “nama-nama seluruhnya dalam keseluruhan” dan bahwa setiap sesuatu dapat dianggap sebagai kemunculan semua nama-nama keindahan dan keagungan (meskipun salah satu kemunculan itu terjadi pada manifestasi khusus dan umum), kiamat tidak berarti terjadinya suatu perkara yang tidak ada sebelumnya. Akan tetapi, pada kenyataannya, alam akhirat merupakan batin alam ini (dunia). Dunia dan akhirat memiliki eksistensi yang sama dalam manifestasi Ilahi dan sesuai dengan busur naik dan busur turun. Atas dasar ini, terjadinya kiamat merupakan sesuatu yang relatif, yakni suatu perkara yang belum terjadi pada sebagian besar orang. Namun, berkatian dengan Allah Swt. dan mereka yang memiliki pandangan Ilahiah,[61] kiamat sama dengan dunia. Hal itu karena penampakan akhir al-Haqq dan manifestasi-Nya dengan nama Yang Mahaperkasa terjadi secara terus-menerus, dan karena mulk dan malakût hanyalah milik-Nya untuk selamanya. Adapun, orang-orang yang tertabir, yang tidak melewati lahiriah alam semensta dan tidak pula mengenal batinnya, mereka tidak mampu memahami hal tersebut. Tentang mereka, Allah Swt. berfirman, Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap kehidupan akhirat, mereka lalai—(QS Al-Rûm: 7)

Tentu saja, penampakan al-Haqq kepada semuanya pada hari kiamat lebih jelas dan daripada penampakan-Nya di dunia ini. Al-Quran menyebut hari itu dengan hari al-Haqq dan sebagainya. Pada hari itu, akan tampak jelas bagi orang yang beriman dan juga orang kafir kerajaan Tuhan, keterputusan segala sebab, dan penyingkapan kebatilan segala sesuatu.[62]

Butir lain, sesuai teori penciptaan baru, adalah sebagaimana suatu kemunculan keluar ke alam nyata (penciptaan) dari ketersembunyian al-Haqq selama proses penciptaan, maka penciptaan apa pun tersembunyi lagi dalam kegaiban dan batin (yaitu raj‘ah). Makna huwiyyah (dari dan kepadanya) bagi alam semesta adalah kemunculan dan kefanaan ini, dan bahwa setiap individu memiliki kemunculan pada setiap momen dan ketersembunyian pada momen berikutnya. Demikian pula dalam hal kemunculan dan ketersembunyian yang terus-menerus.[63]

Adapun butir terakhir, sebagaimana permulaan alam semesta terjadi melalui cinta dan gerakan cinta, maka kembalinya pun dengan cara yang sama. Hal itu terjadi dari dua sisi. Pertama, terjadi pada cinta al-Haqq terhadap manifestasi-manifestasi-Nya dan kembalinya manifestasi-manifestasi tersebut kepada-Nya. Kedua, cinta manifestasi-manifestasi terhadap kesempurnaan mutlak dan tujuan segala sesuatu (Zat al-Haqq). Hal itu karena alam semesta seluruhnya selalu mencari Allah Swt. agar sampai ke maqam yang abadi dan tempat yang kekal. Karena sifat pencarian ini tidak terhingga dan karena pertolongan Ilahi tidak ada hentinya, maka akhirat dan perjalanan di sana juga abadi.

Pembagian Kiamat

Urafa memberikan pembagian terhadap jenis-jenis kembali ke asal yang dihasilkan di alam eksistensi yang didasrkan pada penyaksian batin (syuhûd) dan beberapa ayat al-Quran dan hadis-hadis yang berbicara tentang tingkatan-tingkatan, martabat-martabat, dan fase-fase ma‘âd. Di sini, akan kami tunjukkan pembagian yang komprehensif yang diberikan oleh Sayid Haidar al-Amuli terhadap ma‘âd, dalam risalahnya yang berjudul: Asrâr al-Syarî‘ah wa Athwâr al-Tharîqah wa Anwâr al-Haqîqah. Terlebih dahulu, ia membaginya ke adalam dua bagian, yaitu formalitas (shûriyyah) dan spiritualitas (ma‘nawiyyah). Yang pertama menunjukkan perubahan umum yang terjadi di alam lahiriah dan alam-alam nyata. Sementara itu, yang kedua menunjukkan perubahan yang terjadi di alam gaib dan yang disebut al-qiyâmah al-ma‘nawiyyah al-âfâqiyyah atau “perubahan yang bersumber dari kenaikan jiwa pesuluk dan terjadi di dalam batinnya” yang disebut al-qiyâmah al-ma‘nawiyyah al-nafsiyyah.

Selanjutnya, bagian kedua ini terbagi menjadi dua bagian.

1. Al-Qiyâmah al-anfusiyyah bagi ahli tarekat, yaitu yang menunjukkan lipatan fase-fase dan maqam-maqam jiwa manusia, dimulai dari bangun dan diakhiri dengan kefanaan dan kematian, dari maqam dan kehidupan mana pun ke maqam yang lebih tinggi.

2. Al-Qiyâmah al-anfusiyyah bagi ahli hakikat, yaitu yang menunjukkan perubahan pemilik wilayah (walî) dalam perbuatan, sifat dan zat, dan kesampaian ke tiga fase keabadian setelah kefanaan, dan yang disebut al-jannah al-af‘âliyyah, al-jannah al-shifâtiyyah, dan al-jannah al-dzâtiyyah. Selanjutnya, kesampaian ke penyaksian penyatuan khusus dari khusus—yakni kesatuan eksistensi (wahdah al-wujûd), dan bahwa tidak ada eksistensi di rumah eksistensi kecuali milik al-Haqq serta nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya.

Inilah penyingkapan batin universal yang oleh urafa disebut al-qiyâmah al-kubrâ. Adapun dua fase sebelum fase ini, mereka menyebutnya al-qiyâmah al-shughrâ dan al-qiyâmah al-wusthâ secara bergantian. Kami dapat menggambarkan hal itu dalam skema berikut:

menurut ahli tarekat
anfusiyyah
ma‘nawiyyah menurut ahli hakikat[64]
Al-Qiyâmah âfâqiyyah
shûriyyah

Catatan kaki:

1. Al-Futûhât Al-Makkiyyah, jil. 3, hal. 442.
2. “Jika al-Haqq adalah huwiyyah alam semesta, maka hukum-hukum seluruhnya hanya muncul dri-Nya dan pada-Nya” (Fushûsh al-Hikam, hal. 172).
3. “Sesungguhnya al-Haqq sendiri adalah bukti terhadap diri-Nya dan terhadap Uluhiyyah-Nya, dan sesungguhnya alam semesta tiada lain adalah manifestasi-Nya dalam bentuk-bentuk entifikasi-entifikasi sekunder mereka … dan bahwa ia menjadi beberapa jenis dan bentuk berdasarkan hakikat-hakikat entitas-entitas ini dan keadaan-keadaannya” (Fushûsh al-Hikam, hal. 81).
4. Dîwân Matsnawî, jil. 6, bait no. 3171-3173 dan no. 3182.
5. Fushûsh al-Hikam, hal. 159.
6. Di sini, perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud khayal oleh Ibn ‘Arabi bukan khayal lemah yang tidak berdasar, bukan pula khazanah hiss musytarak dalam istilah filsafat, dan bukan khayal terpisah dari misal yang nisbahkan pada lima kehadiran. Akan tetapi, yang dimaksud adalah khayal dalam istilahnya yang merupakan alam yang luas yang mencakup semua tingkatan alam dan semua keadaan yang di dalamnya muncul hakikat-hakikat eksistensial dalam bentuk simbol. Silakan lihat Ibn ‘Arabi Cahreh-i bar Jasteh-i ‘Irfân Islâmî karya Muhsin Jihanghiri, hal. 317. Ibn ‘Arabi menjelaskan maksudnya. Ia berkata, “Alam adalah khayalan yang tidak memiliki eksistensi hakiki, dan ini artinya khayal, yakni dikhayalkan padamu bahwa ia merupakan perkara tambahan yang brdiri sendiri di luar al-Haqq, tetapi tidak begitu dalam perkara yang sama.” Dengan kalimat yang hampir sama, ia juga menyerupakan alam semesta dengan sihir dalam bukunya al-Futûhât al-Makkiyyah. Di situ, ia berkata, “Alam seluruhnya adalah sihir yang dikhayalkan kepadamu bahwa ia adalah benar, padahal ia tidak benar, dan dikhayalkan kepadamu bahwa ia adalah makhluk, padahal ia bukan makhluk.” (jil. 4, hal. 151).
7. Al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 313; Fushûsh al-Hikam, hal. 103-104.
8. Ghulsyân Râz, bait no. 468 dan 710.
9. Hal. 104.
10. Fushûsh al-Hikam, hal. 99.
11. Al-Shûfiyyah al-Thâwiyah, pasa 1, hal. 29-30.
12. Syarh Fushûsh al-Hikam karya al-Qaishari, hal. 421-423. Silakan lihat juga al-Futûhât al-Makkiyyah, jil., 4 (cetakan baru), hal. 408-409.
13. Fushûsh al-Hikam, hal. 101.
14. Fushûsh al-Hikam, hal. 102. Perhatikan bahwa tempat (mahall) dan bayangan (zhill) tampak sekaligus dalam pembahasan kami ini.
15. Syarh Fushûsh al-Hikam karya ‘Abdul Razzaq al-Kasyani, hal 138.
16. Surah al-Nûr: 35.
17. Kasyf al-Ghithâ: 14 Risalah ‘Irfân, hal. 91.
18. Al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 216. Dalam hal ini, Ibn ‘Arabi beranggapan bahwa masalah yang lebih samar dalam pengetahuan Ilahi adalah bahwa mumkinât—menurut pendapat mereka—tidak berasal dari Allah Swt. kecuali eksistensi. Sementara itu, ahli kasyf dan urafa yang mengetahui makna hakiki dari ucapan ini mengetahui bahwa tidak ada eksistensi yang sebenarnya kecuali Allah, sedangkan mumkinât akan sirna. Untuk menjelaskan perkataan ini secara logis, Ibn ‘Arabi mengetengahkan beberapa masalah yang dipandang batil dalam kacamata akal. Pada akhirnya, ia memandang bahwa jalan penyingkapan batin dan wahyu adalah solusinya. Dalam menjelaskan hal ini, ia mengetengahkan topik aliran al-Haqq dalam maujud. Ia berkata, “Sekiranya tidak ada aliran al-Haqq pada mujud dalam bentuk tertentu, niscaya alam ini tidak memiliki eksistensi. Selain itu, sekiranya tidak ada hakikat-hakikat logis itu dan universal itu, tidak akan muncul hukum dalam maujud entifikasi.” (Fushûsh al-Hikam, hal. 55).
19. Ibn ‘Arabi menjelaskan faktor kesatuan dan keberlainan itu dengan mengatakan, “Apa yang kita persepsi adalah eksistensi al-Haqq dalam entitas-entitas mumkinât, dimana huwiyyah al-Haqq adalah eksistensi-nya dan perbedaan bentuk di dalamnya adalah entitas-entitas mumkinât.” (Fushûsh al-Hikam, hal. 3). Di tempat lain, ia berkata, “Ketahuilah, al-Haqq bermanifestasi dengan sifat-sifat ciptaan. Ketahuilah, makhluk bermanifestasi dengan sifat-sifat al-Haqq dari awal hingga akhir.” (Fushûsh al-Hikam, hal. 80).
20. Sebagian muhaqqiq menjelaskan bahwa salah satu karakteristik yang menghiasi pemikiran dan pandangan Ibn ‘Arabi dalam ta‘addudiyyah (keberbilangan) dimana pengalaman-pengalamannya yang dalam dan kaya yang kita saksikan dalam pemikiran dan pandangan-pandangannya yang berkaitan dengan suatu masalah tertentu, membantu kemampuannya untuk berimajinasi. Konsekuensinya, pemikiran-pemikirannya dapat menyentuh berbagai aspek dan dan bentuk-bentuk yang kontrakdiktif sehingga memberinya perkembangan yang konstan yang tampak dengan jelas dalam pemilikan kosa kata dan ungkapan yang digunakannya. (Silakan lihat al-Shûfiyyah al-Thâwiyah, hal. 212).
21. Inilah teks hadis itu: “Aku adalah pusaka terpendam yang tidak dikenal. Lalu, Aku ingin dikenal. Maka Aku menciptakan makhluk agar Aku dikenal.” (al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 112; Lathâ’if al-A‘lâm, hal. 395).
22. Syarh Fushûsh al-Hikam karya al-Qaishari, hal. 203.
23. Silakan lihat al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 2, hal. 325 dan jil. 3, hal. 449.
24. Fushûsh al-Hikam, hal. 143.
25. Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa penciptaan bukan perkara unilateral. Ia berkata, “Maujud-maujud seluruhnya adalah kalam-kalam Allah yang tidak akan habis, karena ia dari kun, dan kun adalah kalan Allah.”
26. Fushûsh al-Hikam, hal. 115-116.
27. Dalam risalahnya, al-Shifât al-Ilâhiyyah, Ibn ‘Arabi berkata, “Kata kun tidak berarti menentuan apa yang dimaksud (yang berkaitan dengan kehendak) dengan perantaraan kehendak yang dikhususkan semata. Akan tetapi, hal itu menurut apa yang disebutkan dalam Surah al-Nahl: 40: Sesunguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, “Kun (jadilah)!” maka jadilah ia. Ini adalah ucapan yang bersumber dari kehendak dan pengetahuan, dan kekuasaan yang bersumber darinya. Betapa sering pemikiran sampai pada tiga pemahaman terakhir tanpa sampai ke batas “ucapan” itu karena mereka menyaksikan pengaruh dari sifat-sifat itu tanpa sampai ke pengaruh “ucapan” tersebut. Hanya dalil naqli (wahyu) dan penyingkapan batin yang mampu sampai ke sana, karena ahli kasyf mendengarkan ucapan Ilahi dengan telinga hati sehingga mereka sulit mengingkarinya.” (al-Rasâ’il al-‘Irfâniyyah al-Arba‘ah ‘Asyrah, hal. 23-25).
28. Fushûsh al-Hikam, hal. 115.
29. Fushûsh al-Hikam, hal. 115.
30. Perlu ditunjukkan bahwa tidak adanya pengulangan dalam manifestasi dalam pembahasan yang berkaitan dengan manifestasi adalah karena adanya kaidah yang tersebar di kalangan ahli ‘irfan—baik dalam ‘irfan nazhari maupun dalam ‘irfan ‘amali—dan kaidah tersebut—dalam ‘irfan nazhari—dikenal engan nama “kaidah penciptaan baru”, dan yang menunjukkan pembaruan misal-misal dan kemunculan emanasi-emanasi yang serupa pada setiap manifestasi.
31. Fushûsh al-Hikam, hal. 641-643.
32. Ghulsyân Râz, bait no. 641-643.
33. Surah Qâf: 15.
34. Dîwân Matsnawî, jil. 1, bait no. 1146-1147.
35. Fushûsh al-Hikam, hal. 124-125.
36. Fushûsh al-Hikam, hal. 124.
37. Syarh Fushûsh al-Hikam, hal. 152.
38. Silakan lihat al-Shûfiyyah al-Thâwiyyah, hal. 220.
39. Dîwân Matsnawî, jil. 1, bait no. 1144-1145.
40. Rasyhât al-Bihâr karya Muhammad ‘Ali Syah Abadi, hal. 208.
41. Syarh Fushûsh al-Hikam karya al-Qasihari, mukadimah, hal. 28.
42. Syarh Fushûsh al-Hikam karya al-Qasihari, mukadimah, hal. 25.
43. Surah al-Rahmân: 29.
44. Ibn ‘Arabi berkata, “Dapat dikatakan bahwa Mukmin pertama adalah dari nama-nama al-Haqq dan Mukmin kedua adalah manusia. Demikian pula sebaliknya.” Pada hal. 62 Fashsh Hikmah Nafatsiyyah fî Kalimah Syîtsiyyah dalam Fushûsh al-Hikam, ia berkata, “Dia adalah cerminmu dalam pandanganmu terhadap dirimu, dan kamu adakan cermin-Nya dalam pandangan-Nya terhadap nama-nama-Nya.” Untuk lebih jelas, silakan lihat al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 1, hal. 176 dan 739, dan jil. 3, hal. 131.
45. Fushûsh al-Hikam, hal. 172.
46. Al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 3 (cetakan baru), hal. 345.
47. Fushûsh al-Hikam, hal. 84.
48. Napas Rahmani terbentuk dari sisi ketersembunyiannya dan melalui emanasi tersuci (al-faidh al-aqdas), sehingga terbentuk makna-makna dan entitas-entitas sekunder al-Haqq. Adapun dari sisi kemunculannya dan melalui emanasi tersucikan (al-faidh al-muqaddas), maka hal itu menyebabkan penciptaan entitas-entitas eksternal di alam luar.
49. Sesuai dengan apa yang diucapkan oleh al-Qaishari, bahwa esensi akal dan jiwa menurut urafa adalah sama, dan perbedaan di antara keduanya hanyalah dalam ada atau tidak adanya kaitan dengan badan. Ia adalah perkara aksidental murni. (Silakan lihat Rasâ’il al-Qaisharî, hal. 16).
50. Silakan lihat Syarh Fushûsh al-Hikam karya al-Qaishari, mukadimah, hal. 27 dan 36; Ishthilâhât al-Shûfiyyah karya ‘Abdul Razzaq al-Kasyani, hal. 82; dan Naqd al-Nushûsh, hal. 30-32.
51. Kami melihat dalam banyak gubahan syair ‘irfan isyarat-isyarat yang menunjukkan maqam ini dan keterpisahannya dari maqam kedua. Dalam ‘irfan, hal itu disebut “barhâmâi nîrghûnâ”, yakni barhamai yang sulit dijelaskan, dan dalam mistisisme Kristen disebut Ilwhiyyah, sebagaimana disebut “ikhârat”, atau kegaiban misterius menurut Jacob Buhimah.
52. Kalimat ini dikutip dari Mushthafâ Mulkiyân (kata pengantar buku Ghuhar va Shadf ‘Irfân Islâmî, hal. 19).
53. Alam-alam dan tingkatan-tingkatan ini ibarat penjelasan umum atau terperinci dari sebagian terhadap sebagian yang lain. (Silakan lihat, Naqd al-Nushûsh, hal. 63-64).
54. Makna emanasi yang dikuduskan adalah entitas-entitas tak berubah yang diciptakan bersama emanasi terkudus dan keluar dari kondisi sesuatu yang masuk akal dan muncul di alam nyata, dan membawa alam ini pada aktivitas.
55. Tanbîhât ‘alâ ‘Uluww al-Haqîqah al-Muhammadiyyah, hal. 38 dan 39.
56. Mungkin ditunjukkan aspek kesesuain kiamat dengan insan kamil (atau al-bunyah al-muhammadiyyah) yang ditunjukkan oleh urafa dalam karya-karya mereka, sehingga insan kamil adalah penerima dua busur eksistensi.
57. Asrâr al-Syarî‘ah, hal. 104-110.
58. Surah al-Nisâ’: 133.
59. Al-Futûhât al-Makkiyyah, jil. 10, hal. 490.
60. Asrâr al-Syarî‘ah, hal. 106-107.
61. Urafa beranggapan bahwa substansi kematian (maut) yang disebutkan dalam hadis: “Barangsiapa mati, kiamatnya telah terjadi,” adalah kematian ikhtiari dan kefanaan, di samping kematian alami. Oleh karena itu, arif yang fana dalam Allah menyaksikan kebatilan segala sesuatu, keterputusan segala sebab, dan sebagainya di dunia ini. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai hal ini dan mengenai pembagian kematian ikhtiari menjadi empat bagian, silakan lihat Asrâr al-Syarî‘ah, hal. 113-120.
62. Silakan lihat Rasâ’il Tauhidyyah karya Allamah Muhammad Husain al-Thabathba’i, hal. 232-235; Tafsîr al-Mîzân: surah al-Mu’min: 16, al-Infithâr: 19, dan al-Baqarah: 164.
63. Sayid Haidar al-Amuli mendefinisikan kiamat dan ma‘âd buku Asrâr al-Syarî‘ah dalam bentuk berikut: “Ia adalah perubahan dan kembalinya alam lahir yang terus-menerus menuju alam batin. Dunia juga begitu, yang kemunculan alam batin yang terus-menerus dalam bentuk alam lahir. Artinya, penciptaan dan kemunculan merupakan pusaka al-Haqq yang terpendam.”
64. Karena setiap bagian kiamat yang disebutkan oleh Sayid Haidar al-Amuli terbagi lagi menjadi tiga bagi, yaitu shughrâ, wusthâ dan kubrâ, maka ia dalam risalahnya tersebut menunjukkan dua belas bagian. Silakan lihat Asrâr al-Syarî‘ah, hal. 112-130.
65. (Translated by Irwan Kurniawan, Bandung, Januari 2007)

ALAM SEMESTA MENURUT ‘IRFAN NAZHARI

ALAM SEMESTA MENURUT ‘IRFAN NAZHARI



Pandangan arif terhadap alam semesta berbeda-beda dibandingkan dengan pandangan umum, bahkan dibandingkan dengan pandangan ilmiah dan filsafat sekalipun. Hal itu berdasarkan suatu kalimat yang terkenal, “Jika ruh berubah, maka alam semesta pun berubah.” Pada pasal ini, terlebih dahulu akan kami tunjukkan huwiyyah (identifikasi) alam semesta dan hubungan al-Haqq Swt dengan alam semesta ini menurut pandangan ‘irfan nazhari. Selanjutnya, akan kami bahas tentang bagaimana penciptaan alam semesta (khalqiyyah), lalu kami juga akan membahas beberapa karakteristik alam semesta tersebut. Terakhir, kami akan menjelaskan sistem yang mengatur alam semesta ini menurut pandangan mazhab Ibn ‘Arabi.

Huwiyyah Alam Semesta

Al-‘Âlam (alam semesta) menurut bahasa adalah kata yang terbentuk dari ‘allamah yang berarti ‘alam, yakni nama sesuatu yang dengannya sesuatu yang lain bisa diketahui. Dalam istilah urafa, segala sesuatu selain Allah Swt. yang menunjukkan pengetahuan (ma‘rifah) tentang al-Haqq dan salah satu dari tanda-tanda-Nya, semua itu dinamakan al-‘alam.[1] Dalam ‘irfan, ‘alam tidak menjelaskan suatu hakikat objektif. Sebab, ‘allamal dalam arti tanda, maknanya diambil dari sesuatu yang lain, seperti halnya huruf dan kalimat. Ia hanyalah suatu hal yang memiliki aspek penunjukan pada makna itu semata. Atas dasar ini, masing-masing dari “pandangan terhadap alam semesta” dan “pandangan terhadap ruh” berasal dari satu sumber, yaitu “pandangan terhadap Allah”. Dengan demikian, barangsiapa tidak melihat alam sebagai tanda dan tidak memandangnya secara mekanik, maka ia termasuk kelompok orang-orang yang tidak memahami makna alam, meskipun ia berusaha selama bertahun-tahun dalam mengamati fenomena-fenomenanya dan mencermati tanda-tandanya, serta menulis banyak risalah dan buku tentang hal tersebut. Pengertian ini disebutkan dalam bait syair berikut.

Semua adalah ibarat
Engkau adalah makna.
Wahai Dia yang memiliki magnet terhadap hati.

Ibn ‘Arabi pun mendefinisikan Al Haqq sebagai huwiyyah ‘alam[2] (dari sudut fenomena). Oleh karena itu, ia tidak berpandangan bahwa penunjukan alam terhadap al-Haqq terpisah dari penunjukan al-Haqq terhadap diri-Nya.[3] Sudah tentu, yang dimaksud adalah bahwa maujud-maujud alam adalah dalam hubungan dengan al-Haqq, yaitu dengan melihat nama-nama dan sifat-sifat-Nya, bukan dengan melihat Zat-Nya. Artinya, dimungkinkan Dia diketahui dan bermanifestasi pada salah satu dari unsur-unsur alam atau salah satu nama Ilahi. Hal itu karena setiap sesuatu merupakan salah satu manifestasi dari nama-nama-Nya. Al-Rumi telah menggubah banyak bait syair tentang pengertian ini.[4]

Ibn ‘Arabi mengisyaratkan alam sebagai imajinasi belaka dan kadang-kadang berupa ilusi, serta bentuk bayangan pada cermin atau kadang-kadang bayangan terhadap masing-masing dari metafora-metafora yang dipilihnya. Ibn ‘Arabi memberikan penjelasan terhadap huwiyyah (identitas) alam menurut metafora tersebut. Di antara penjelasan-penjelasan tersebut, ia berkata tentang ketidak-mandirian bayangan, dan ketiadaan penisbahan eksistensi dan ketiadaan kepada-Nya. Demikian halnya dengan bentuk pada cermin karena berada dalam keadaan tanpa eksistensi dan tanpa ketiadaan, serta kemungkinan memperbanyak satu benda (secara faktual) dalam cermin pada waktu yang bersamaan, yang berinteraksi dengannya sebagai sesuatu yang satu, di samping kenetralan khayal atau huwiyyah-Nya serta kelangsungannya dengan mutakhayyal dan ketiadaan identitasnya. Rumus-rumus ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Khayal dam mimpi

Kita dapat mendeduksi dua konsepsi dari satu pemikiran dengan memandang alam ini sebagai ilusi dan fatamorgana: kadang-kadang khayal tampak sebagai sesuatu yang tak bermakna dan ilusif, sehingga tak terhindarkan untuk menafikan dan mengabaikannya. Akan tetapi, kadang-kadang ia tampak sebagai peniru, cermin dan alat untuk mengekspresikan sesuatu. Ketika itu, khayal harus diartikan sebagai mimpi dan selanjutnya dengan penafsirannya. Dalam kasus pertama, harus dikatakan bahwa alam ini adalah khayal dan imajinasi, dan tidak memiliki makna, konsep dan hakikat objektif apa pun. Adapun dalam kasus kedua, alam tampak sebagai perkara sekunder dan mata uang yang memiliki dua sisi, yakni sisi ilusi dan sisi hakikat. Ia bukan kebatilan murni tetapi juga bukan kebenaran murni. Ia bukan kebenaran, tetapi merupakan bentuk, tanda dan cermin dari kebenaran, seperti keadaan bayangan pada cermin; jika kita menganggapnya mandiri akan tampak seakan-akan ia tipuan dan ilusi. Adapun jika kita menganggapnya bentuk dari asal, maka ketika itu, akan menjadi bukti dan petunjuk pada hakikat. Inilah yang ditunjukkan Ibn ‘Arabi sendiri melalui bait syair berikut:

Alam hanyalah khayal
Kebenaran dalam hakikat
Setiap orang yang mengetahui hal ini
Ia dapatkan rahasia tarekat.

Atas dasar ini, orang yang mengetahui rahasia-rahasia tarekat dan ilmu Ilahi adalah orang yang mengetahui bahwa alam adalah khayal[5] dan sekaligus kebenaran dalam waktu yang bersamaan.

Ada dua aspek yang mengonsepsikan kekhayalan alam menurut Ibn ‘Arabi; yang pertama merupakan simbolisasi dan yang kedua adalah perubahan (transformasi) abadi dan terus menerus dari bentuk-bentuk simbolisasi tersebut, dimana terdapat dua karakteristik tersebut (yakni perubahan abadi, terus menerus dan eksistensial) sekaligus dalam mimpi,[7] dan seperti yang disebutkan dalam bait-bait syair Al-Syabastari.[8]

Ibn ‘Arabi tidak merasa puas dengan menamai alam yang terindera ini sebagai khayal, tetapi juga “khayal dalam khayal”. Hal itu dijustifikasi dengan ucapannya bahwa kemunculan alam ini bagi manusia hanyalah menurut kekuatan-kekuatan indera dan akal tersebut—dan semuanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari alam ini—juga dipandang sebagai khayal. Dengan demikian, semua yang akan dihasilkan darinya merupakan manifestasi alam tersebut bagi manusia dalam bentuk “khayal dalam khayal” (seperti halnya dalam asumsi Ibn ‘Artabi sebagai mimpi manusia, “mimpi dalam mimpi”). Ibn ‘Arabi dalam Fashsh al-Hikmah Nûriyyah fî Kalimah Yûsufiyyah,[9] berkata, “Ketahuilah, kamu adalah khayal, dan semua yang kamu persepsi dari apa yang kamu katakan tentangnya bukan aku. Maka wujud seluruhnya adalah khayal dalam khayal, dan wujud yang sebenarnya adalah Allah saja.” Adapun yang dimaksud dengan “khayal” adalah seluruh alam eksistensi. Sementara itu, yang dimaksud dengan khayal kedua adalah lawan bicara dan semua kekuatan persepsinya.

Apa pun keadaannya, menurut Ibn ‘Arabi, alam tidak dianggap ada, tetapi merupakan sebuah ilusi. Ia bersandar pada hadis Nabi Saw., “Manusia tertidur. Jika mati, mereka terbangun.” Ia memandang alam sebagai mimpi semata. Akan tetapi, pada saat yang sama, mimpi itu bukan mimpi yang lewat atau arbitrase, melainkan mimpi yang merefkleksikan hubungan dari suatu hakikat. Kita harus memandang mimpi itu dengan cara yang benar, lalu mentransfer semua itu ke asalnya yang benar, yakni penakwilan oleh para urafa. Ibn ‘Arabi menunjukkan dua istilah, kematian (maut) dan bangun (intibâh) yang disebutkan dalam hadis Nabi Saw., sebagai sesuatu yang menunjukkan kematian dan kefanaan atau kehendak sendiri (ikhtiyâri). Demikianlah, karena memberi penjelasan faktual terhadap alam semesta hanya dimungkinkan bagi orang yang bangun dari tidurnya, yakni orang yang sampai ke tingkatan kefanaan (fanâ’) .[10]

Selanjutnya, individu ini akan memahami bahwa Aat al-Haqq yang mutlak adalah hakikat satu-satunya, dan bahwa alam semesta hanyalah bentuk manifestasi-Nya. Atau katakanlah, “khayalan yang menjelma”. Dengan kata lain, alam adalah ilusi di luar pikiran, bukan di dalam pikiran.[11] Dalam faktanya, keberadaan alam khayal sebagai manifestasi al-Haqq dipahami dari rahasianya yang paling dalam. Atas dasar ini, kemajemukan alam hanyalah merupakan simbol dan manifestasi al-Haqq. Oleh karena itu, manusia biasa tidak menyadari keberadaan yang dapat dilihat ini sebagai mimpi semata.

2. Cermin

Perumpamaan dengan cermin, menurut Ibn ‘Arabi, merupakan kombinasi sekunder—yang kami bicarakan pada tema sebelumnya—karena memiliki gambar berupa kemunculan pada cermin, padahal tidak memiliki eksistensi hakiki apa pun. Di samping itu, gambar tersebut tidak ada, baik pada cermin (karena tidak ada sesuatu pada cermin, seperi kita ketahui) maupun pada orang yang melihat, begitu pula pada ruang di antara orang yang melihat dan cermnin (karena tidak ada sesuatu di antara keduanya selain cahaya yang memantul). Atas dasar ini, tidak ada objektivitas pada cermin (yakni pada gambar pada cermin), karena kapasitasnya sebagai cermin tidak dapat dilihat.[12]

3. Bayangan

Ibn ‘Arabi, dalam bukunya Fushush Al-Hikam dalam fashsh: Hikmah Nûriyyah fî Kalimah Yûsufiyyah, mengumpamakan alam ini dengan bayangan. Ia berkata, “Ketahuilah, yang dikatakan tentangnya (selain al-Haqq), atau yang dinamakan dengan alam, terhadap al-Haqq adalah seperti bayangan terhadap seseorang. Alam semesta adalah bayangan Allah, sedangkan Dia adalah Esensi dalam hubungannya dengan alam.”[13] Diyakini bahwa karakteristik bayangan juga berpangkal pada dualitas (tsunâ’iyyah) huwiyyah bayangan itu sendiri. Maka, dari satu sisi, ia dapat dinamakan bayangan dan maujud, sedangkan dari sisi lain, ia dapat diekpsresikan sebagai ketiadaan. Hal itu karena bayangan tiada lain adalah hubungan dengan sesuatu yang eksistensial. Ini dari satu sisi, sedangkan dari sisi lain, bayangan adalah ketiadaan cahaya, dan ia selalu menjadi partisan, tidak mandiri.

Ibn ‘Arabi berkata, “Tempat kemunculan bayangan Ilahi ini yang dinamakan dengan alam hanyalah esensi-esensi mumkinât. Di situlah bayangan ini membentang, sehingga esensi-esensi tersebut diketahui dari bayangan ini menurut kadar bentangannya dari eksistensi Esensi tersebut. Namun, karena Esensi itu cahaya, maka esensi-esensi tersebut diketahui. Bayangan ini terbentang di atas esensi-esensi mumkinât dalam bentuk kegaiban misterius. Perhatikanlah bayangan yang cenderung disamakan dengan hitam, ia menunjukkan sesuatu yang di dalamnya terdapat kekosongan karena hubungan yang jauh antara bayangan itu dan individu-individu pemilik bayangan tersebut.”[14]

Sementara itu, ketika menjelaskan perumpamaan tersebut, Al-Kasyani berkata, “Sebagaimana bayangan di alam inderawi berkaitan dengan esensi pemilik bayangan dan mustahil terpisah, maka cahaya esensi al-Haqq dan kemunculannya yang luas melalui entitas-entitas dan mumkinat-mumkinat, berkaitan dengan al-Haqq. Ia mustahil bisa dipisahkan dari al-Haqq. Perbedaan di antara kedua hal ini adalah bahwa kaitan tersebut bersifat dualitas dalam hal-hal yang bersifat inderawi ketika hubungan cahaya eksistensi (yakni alam semesta) dengan al-Haqq terjadi dalam kesatuan karena termasuk hubungan muqayyad (terikat) dengan muthlaq (bebas).”[15]

4. Cahaya (Nûr)

Simbol lain yang sering digunakan oleh urafa, dalam kaitan dengan alam semesta, adalah istilah cahaya (nûr). Hal itu tampaknya diambil dari al-Quran ketika mengungkapkan hubungan cahaya Ilahi dengan alam semesta (Surah Al-Nûr: 35). Demikian pula, ketika al-Quran mengungkapkan ihwal menyaksikan cahaya Ilahi di seluruh penjuru alam semesta. Dengan demikian, al-Haqq adalah cahaya alam semesta. Alam mengambil cahaya dari cahaya-Nya.

Tingkatan-tingkatan amr, khalq (penciptaan), kegaiban, penyaksian, lahir, dan batin bergabung dalam cahaya al-Haqq yang telah menciptakannya.

Berkenaan dengan hal yang berkaitan dengan substansi tersebut, kami telah memberikan penjelasan pada pasal sebelumnya. Kami katakan bahwa ia adalah cahaya dan sinar tanpa perantaraan dan eksistensi yang tersebar (al-wujûd al-munbasith). Adapun masalah yang dikemukakan oleh urafa yang dikhususkan dengan penafsiran ayat: Allah adalah cahaya langit dan bumi…,[16] adalah karena dalam ayat itu tidak dimaksudkan bahwa Dia (yakni Allah Azza wa Jalla) adalah yang menerangi langit dan bumi agar dipandang bahwa hubungan al-Haqq dengan alam semesta adalah hubungan sebab dan akibat semata. Kecuali kalau kita menilai—seperti dikatakan oleh Ibn ‘Arabi—akibat merupakan gambaran, fenomena dan kemunculan dari sebab, dan kita memandang bahwa sebab merupakan hakikat dan batin dari akibat. Ayat itu hanya menyatakan bahwa Dia berfirman, Allah adalah cahaya langit dan bumi. Artinya, tidak ada cahaya dan eksistensi kecuali cahaya Allah SWT, dan bahwa langit dan bumi memantulkan cahaya tersebut.

Tidak diragukan bahwa semua pernyataan tersebut, karena satu dan lain hal, menunjukkan suatu kaidah “huwa lâ huwa (Dia bukan dia)”, “menampakkan pertentangan”, atau “mengompromikan hal-hal yang berlawanan”. Itu merupakan asas ‘irfan dalam pandangan Ibn ‘Arabi.[17] Adapun, kenyataan bahwa al-Haqq dan makhluk adalah satu meskipun maujud di antara keduanya berbeda-beda,[18] hal itu tidak berarti “ini adalah itu” murni, tetapi keduanya, dan dalam entitas kesatuannya, juga bertolak belakang. Keadaan yang bertolak belakang ini tampak dalam bentuk penggambaran, ekspresi, imajinasi, bayangan, cahaya, mimpi, dan sihir.

Penciptaan Alam Semesta

Masalah penciptaan (khalq) dipandang sebagai bagian dari konsep-konsep asasi yang dikemukakan dalam pembahasan pandangan komprehensif dalam agama-agama, terutama pandangan komprehensif dalam agama Islam. Hal ini merupakan perkara yang sangat penting dalam ‘irfan nazhari.[19] Kata îjâd (mengadakan) dan khalq (menciptakan)—yakni kun—menurut Ibn ‘Arabi merupakan pernyataan eksistensial dan sinonim dengan konsep manifestasi (tajallî). Jika alam hanya berupa manifestasi-manifestasi kersempurnaan al-Haqq, maka konsep yang muncul dalam pikiran dari kata khalq (penciptaan) adalah juga tajallî (manifestasi). Namun, hal ini tidak memberikan pemahaman kepada siapa pun bahwa konsep ini, menurut Ibn ‘Arabi, adalah konsep metaforik murni, atau bahwa hal yang terakhir ini ditujukan pada sinonim-sinonimnya dengan tajallî.[20] Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa hakikat utama ini, menurut Ibn ‘Arabi, memiliki dua konsep; konsep pertama adalah tajallî (manifestasi) dan konsep kedua adalah khalq (penciptaan). Selanjutnya, terlebih dulu kami akan membahas beberapa aspek yang mencakup dua konsep tersebut, lalu kami akan membahas beberapa karakteristik konsep kedua, yakni penciptaan.

1. Cinta dan Tujuan Ilahi

“Cinta” dan “tujuan Ilahi” dipandang sebagai salah satu aspek yang mencakup dua konsep yang ditunjukkan tadi. Ibn ‘Arabi meyakini bahwa khalq menemukan maknanya yang hakiki pada konsep cinta dan gerakan cinta. Ini berarti—sebagaimana telah kami kemukakan pada pasal sebelumnya—bahwa urafa memandang tujuan penciptaan alam semesta bukan untuk pemanfaatan oleh Pencipta dan bukan pula untuk mengantarkan kemurahan kepada makhluk—sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang. Akan tetapi, mereka menguatkan sebab teleologis penciptaan tersebut pada cinta al-Haqq kepada diri-Nya dan pada segala kesempurnaan-Nya. Mereka menjelaskan bahwa dua kaidah utama—yakni “cinta pada sesuatu menyebabkan cinta pada apa pun yang berkaitan dengan sesuatu tersebut” dan “cinta menyebabkan kemunculan”—menyebabkan kemunculan kerinduan yang azali kepada al-Haqq dan manifestasi-Nya dalam bentuk-bentuk kesempurnaan. Hal itu agar Dia menyaksikan diri-Nya pada cermin perbuatan sebagaimana Dia menyaksikannya pada martabat Zat. Urafa memandang bahwa kesimpulan ini benar-benar sesuai dengan makna hadis qudsi yang dikenal dengan kanz makhfî (pusaka terpendam).[21]

Ibn ‘Arabi telah mengemukakan masalah “gerakan cinta” untuk menjelaskan hadis qudsi tersebut. Ia menyimpulkan bahwa proses penciptaan merupakan hasil dari tiga jenis cinta:

a. Cinta Al-Haqq agar dikenal, yakni menampakkan kesempurnaan-kesempurnaan-Nya yang tersembunyi melalui penciptaan alam semesta.
b. Cinta nama-nama bagi kemunculan turunan-turunannya (entitas-entitas tak berubah) di dunia pengetahuan Ilahi, dan demikian pula dalam entitas eksternal.
c. Cinta entitas-entitas tak berubah untuk berubah menjadi alam eksternal agar entitas-entitas tersebut menyaksikan dirinya di alam eksistensi sebagaimana ia menyaksikannya di alam keteguhan (‘âlam al-tsubût).[22]

Urafa telah menjelaskan bahwa sekiranya tidak ada cinta tersebut, niscaya sesuatu tidak akan muncul melalui manifestasi—yakni cinta yang mengikuti kebaikan dan segala kesempurnaan al-Haqq, dan dipandang sebagai “Pemelihara” hal itu, berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Hai Thufail, sesungguhnya manusia dan malaikat adalah asal bagi cinta (‘isyq).”

Gerakan cinta itu merupakan salah satu substansi kaidah “cinta mengikuti kebaikan” di alam penciptaan. Pengetahuan Allah Swt. terhadap alam semesta ini sejak azali merupakan pengetahuan-Nya terhadap Zat-Nya. Alam semesta terbentuk menurut bentuk Allah dan nama-nama indah-Nya. Atas dasar ini, alam semesta—seluruhnya—merupakan tempat manifestasi Allah SWT. Ia adalah lokus manifestasi yang di dalamnya Allah tidak melihat sesuatu apa pun selain keindahan-Nya. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Saw., “Sesungguhnya Allah Mahaindah dan menyukai keindahan.” Dengan demikian, cinta Allah terhadap alam semesta merupakan bagian dari cinta-Nya pada keindahan-Nya.
Dari penjelasan ini, Ibn ‘Arabi menyimpulkan bahwa barangsiapa mencintai alam semesta dari titik tolak ini, maka ia mencintainya dengan cinta kepada Allah Swt.[23]

2. Kecenderungan Imbal-Balik

Faktor umum kedua di antara konsep “penciptaan” dan konsep “manifestasi” adalah kecenderungan imbal-balik dan kebutuhan masing-masing terhadap yang lain. Ibn ‘Arabi selalu menegaskan suatu masalah penting untuk membedakan maqam Zat Ilahi dari maqam perbuatan serta manifestasi nama-nama dan sifat-sifat. Masalah ini adalah ketidakbutuhan Zat Ilahi terhadap alam semesta, serta hajat dan keperluan perbuatan pada fase nama-nama dan sifat-sifat terhadap lokus-lokus manifestasi. Ibn ‘Arabi menyatakan kebutuhan tersebut dengan kebutuhan imbal-balik atau kebutuhan kedua pihak. Ini artinya—sebagaimana telah kami kemukakan secara terperinci dalam pembahasan tentang nama-nama dan entitas-entitas tak berubah—bahwa sifat hubungan yang mengikat al-Haqq dengan makhluk dan Tuhan Pemelihara dengan peliharaan adalah sejenis kecenderungan imbal-balik. Atau, dengan kata lain, saling mengikat satu sama lain. Dalam kasus nama-nama indah (al-asmâ’ al-husnâ), perwujudan nama dan manifestasinya bergantung pada keberadaan keduanya bersama-sama. Dengan demikian, masing-masing mendapatkan maknanya. Sementara itu, dalam kasus entitas-entitas tak berubah, kita melihat otoritas entitas-entitas tersebut terhadap penciptaan oleh al-Haqq. Demikian pula sebaliknya, yakni otoritas al-Haqq terhadap entitas-entitas tersebut. Di sini, menjadi jelas konsep “rahasia qadar” melalui istilah “pemilikan imbal-balik”.

Berkaitan dengan “manifestasi” dan “penciptaan”, di sini pun dikemukakan masalah “kebutuhan imbal-balik”. Artinya, manifestasi Ilahi dan penciptaan-Nya bukanlah suatu fenomena tunggal, tetapi—di satu sisi—kebutuhan internal pada semua maujud terhadap al-Haqq, dan—di sisi lain—kebutuhan al-Haqq terhadap alam semesta dalam hal-hal yang berkaitan dengan masalah-masalah manifestasi al-Haqq dan tempatnya. Mengenai hal ini, Ibn ‘Arabi berkata, “Kita telah memberikan kepada-Nya sesuatu yang memungkinkan Dia bermanifestasi di dalam kita, dan Dia memberikan eksistensi kepada kita. Jadi, Dia berbagi dengan kita.”[24] Pada hakikatnya, konsep pembahasan ini—meskipun aneh dan sulit memahaminya—adalah “sekiranya tidak ada alam semesta dan segala maujud, maka tidak akan ada eksistensi nama-nama itu—yakni tidak akan muncul—karena hakikat nama-nama itu—seperti telah kami kemukakan—tercipta melalui penisbahan.”[25]

Namun, seperti dikatakan tentang “pemilikan entitas-entitas tak berubah oleh al-Haqq”, al-Haqq selalu bermanifestasi melalui urusan-urusan-Nya. Dia memberikan kepadanya menurut kapasitasnya. Kapasitas ini muncul dari nama-nama al-Haqq. Atas dasar ini, pada akhirnya tidak ada otoritas terhadap al-Haqq kecuali al-Haqq. Selain itu, tidak sepantasnya seseorang membayangkan bahwa al-Haqq membutuhkan selain al-Haqq, atau mengatakan bahwa makna kebutuhan nama-nama al-Haqq terhadap manifestasi adalah menyempurnakannya dengan sesuatu yang lain. Sebab, menurut prinsip wahdah al-wujûd, perbuatan Allah SWT merupakan eksistensi yang tersebar. Dengan demikian, sesuatu tidak memiliki hubungan kecuali dengan eksitensi itu dan tidak memiliki otoritas pada dirinya sendiri. Ia adalah maujud karena adanya eksistensi al-Haqq, dan ia juga kaya karena kekayaan-Nya—walaupun pada esensinya, hal itu merupakan kebutuhan itu sendiri. Atas dasar ini, makna ucapan Ibn ‘Arabi adalah seperti apa yang dikatakan oleh seorang penyair, yang artinya “kemunculan-Mu adalah karena aku dan keberadaanku adalah dari-Mu. Maka Engkau tidak akan tampak tanpa aku dan aku tidak akan ada tanpa-Mu.”

Adapun, dua aspek yang tercakup dalam pandangan Ibn ‘Arabi dan yang berhubungan dengan masalah “penciptaan” tanpa manifestasi, adalah sebagai berikut:

1. Triple


Menganalisis masalah “penciptaan” bercabang pada dua pilar utama penciptaan, yaitu Khaliq dan makhluk. Pilar utama itu, yakni al-Haqq, dinamai juga Khaliq. Namun, berkaitan dengan perbuatan makhluk, al-Haqq mengandung tiga faktor dari aspek penyaksian (syuhûdiyyah), yaitu (a) al-Haqq mutlak menurut manifestasi dan sifat manifestsi; (b) kehendak (irâdah), yaitu al-Haqq sebagai Yang berkehendak; dan (c) perintah (amr), yaitu al-Haqq sebagai pemberi perintah.[26] Tiga faktor tersebut merupakan proses seluruh penciptaan. Artinya, penciptaan terjadi melalui fase-fase berikut:
(1) Muncul pengetahuan pada al-Haqq dan muncul entitas-entitas tak berubah, yakni entifikasi al-Haqq dalam kehadiran Ulûhiyyah dan Wâhidiyyah.
(2) Terbentuk ikatan kehendak—berdasarkan pengetahuan—dengan penciptaan entitas-entitas.
(3) Muncul perintah Ilahi—berdasarkan kehendak—dalam kalam (kun) yang menjadikan alam semesta.

Ibn ‘Arabi berkeyakinan bahwa tidak mudah memperoleh pengetahuan yang menunjukkan padanya pada fase terakhir, yang di atasnya ada “perintah dan kalam”, kecuali melalui wahyu atau penyingkapan batin. Sementara itu, dalam proses penciptaan, akal dan hikmah sampai ke pengetahuan dan kehendak, yakni fase kedua. Pada akhirnya, hukama mengartikan kalam dan perintah Allah sebagai kehendak-Nya.[27] Bagaimanapun, Ibn ‘Arabi menganggap bahwa penciptaan alam semesta didasarkan pada kaidah triple (tatslîts) yang telah kami kemukakan. Ia berkata, “Ketahuilah, semoga Allah memberimu taufik, bahwa perintah (amr) didasarkan pada diri ketunggalan-Nya yang memiliki konsep triple, yaitu dari tiga hingga seterusnya. Tiga itu adalah individu-individu (afrâd) pertama. Dari kehadiran Ilahi ini, alam semesta diciptakan. Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, “Kun (jadilah!” maka jadilah ia (QS Al-Nahl [16]: 40). Ini adalah Zat, kehendak, dan perkataan. Sekiranya tidak ada Zat ini dan kehendaknya, dan hal itu adalah hubungan penyampaian kekhususan untuk menciptakan sesuatu, lalu sekiranya tidak ada perkataan-Nya pada penyampaian ini (kun) kepada sesuatu tersebut, maka sesuatu itu tidak akan ada.”[28]

Di samping triple ini dari sisi pelaku (subjek), ada triple lain pada penerima, yaitu (a) esensi sesuatu di alam entitas; (b) memperhatikan kata kun; dan (c) mendengar dan patuh.
Ibn ‘Arabi meyakini bahwa dengan hanya dikatakan kata penciptaan (kun), maka ketunggalan triple muncul pada sesuatu tersebut. Ia berkata, “Kemudian, ketunggalan triple juga muncul pada sesuatu itu, dan karenanya, dapat dikatakan bahwa sesuatu itu telah tercipta dan dapat disebut ada. Maka, tiga dibanding tiga: esensinya teguh dalam ketiadaannya dalam keseimbangan Zat Penciptanya, mendengar kehendak Penciptanya, dan memerima pelaksanaan apa yang diperintahkan-Nya, yaitu penciptaan dalam keseimbangan perkataan-Nya yang tersembunyi. Dengan demikian, penciptaan dinisbahkan kepada-Nya. Sekiranya tidak ada kekuatan penciptaan dari diri-Nya ketika mengeluarkan perkataan ini, maka sesuatu itu tidak akan tercipta. Tidak ada yang menciptakan sesuatu ini dari ketiadaan, ketika ada perintah untuk penciptaan, selain diri-Nya.”[29]

Jadi, tiga sesuatu pada penerima terhadap tiga pada pelaku adalah (a) esensi (entitas) sesuatu tersebut yang teguh pada keadaan ketiadaannya terhadap Zat yang menciptakan (al-Haqq); (b) sesuatu itu mendengar kehendak yang menciptakan; dan (c) sesuatu itu taat terhadap kata kun. Di sini, eksistensi sesuatu itu terwujud.

Dari uraian ini dapat dipahami bahwa apa yang membedakan teori Ibn ‘Arabi dari teori para mutakallim seputar penciptaan dari ketiadaan adalah bahwa ketiadaan menurut Ibn ‘Arabi tidak merupakan “ketiadaan mutlak”, tetapi “ketiadaan” relatif dan aksidental. Artinya, segala sesuatu memiliki bentuk pendahulu dalam pengetahuan al-Haqq untuk bisa disebut “sesuatu” atau ditujukan padanya kata kun dalam keadaannya seperti itu. Adapun, faktor lain yang membedakan penciptaan itu adalah masalah penciptaan baru yang akan kita bahasa setelah ini.

2. Penciptaan Baru

Aspek lain yang berkaitan dengan penciptaan dan yang sering dikemukakan oleh Ibn ‘Arabi dalam pembahasan tentang penciptaan adalah “penciptaan baru alam semesta”.[30] Dalam fashsh yang dinamakan Fashsh Hikmah Qalbiyyah fî Kalimah Syu‘aibiyyah dalam buku Fushûsh Al-Hikam, Ibn ‘Arabi berkata, “Ahli kasyf berpandangan bahwa Allah bermanifestasi dalam setiap diri, tetapi tidak mengulangi manifestasi itu…”[31] Maka, penciptaan baru adalah proses eksistensi (manifestasi) yang berulang-ulang yang tidak henti-hentinya dan melalui setiap momen yang berlalu dalam bentuk fana dan kekal. Atas dasar ini, tidak mungkin mengeksperimen bagian alam yang sama pada dua momen sekaligus secara berturut-turut. Inilah yang diistilahkan dengan penciptaan baru (khalq jadîd). Al-Syabasytari memiliki bait-bait syair mengenai hal ini. Silakan merujuk pada dîwân-nya jika mau.[32]


Butir lain yang dipahami dari ucapan Ibn ‘Arabi bahwa perubahan yang terjadi secara terus-menerus dan abadi tersebut merupakan perubahan yang sangat teratur, mengikuti sistem-sistem tertentu dimana tampak bagi para pengamat bahwa alat pendahulu tersebut tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu, mereka tidak merasakan pelepasan dan penempatan yang terus-menerus, dan perubahan yang bersambung.

Ibn ‘Arabi berkata, “Selain itu, hayûlâ diambil pada batas setiap bentuk bersama banyak bentuk yang lain, dan perbedaannya secara hakiki berpangkal pada satu substansi yang merupakan hayûlâ-nya. Barangsiapa yang mencari pengetahuan dengannya melalui penalaran pikiran, maka ia ‘mendapatkan sesuatu yang kembung dan meniup yang kurus’. Betapa indah firman Allah Swt. tentang alam semesta… Tentang suatu kelompok, bahkan kebanyakan ilmuwan, Dia berfirman, Sebenarnya mereka dalam keragu-raguan tentang penciptaan yang baru.[33] Jalaluddin Al-Rumi pun mengisyaratkan pengertian ini dalam dîwân-nya.[34]

Juga, Lahiji—dalam dîwân Ghulsyân-i-Râz—tentang hal ini, berkata:
“Ketahuilah, mumkinât pada esensinya adalah ketiadaan tanpa eksistensi (al-Haqq), dan dalam ketiadan itu, ia terus-menerus tenggelam di dalamnya. Eksistensi mumkinât adalah kemunculan al-Haqq dalam bentuk-bentuknya. Segala sesuatu mustahil menjadi ketiadaan pada momen demi momen menurut tuntutan esensinya. Kemudian, dengan hubungannya dengan materi-materi eksistensi, ia mendapatkan eksistensi dari Napas Rahmani, sehingga ada limpahan eksistensi pada segala sesuatu, dan itu adalah dari Napas Rahmani. Karena pembaruan limpahan Rahmani berlangsung cepat, tidak mungkin dirasakan ketiadaan atau keberadaan yang dihasilkan selama sesaat pada setiap mumkin dan pada setiap napas. Sebab, tidak ada celah waktu dalam momen perubahan ketiadaan menjadi keberadaan sehingga kita melihat ketiadaan. Akan tetapi, limpahan (emanasi) eksistensi berhubungan selamanya.”

Entitas-entitas tak berubah pada segala sesuatu adalah yang mengandung kesatuan bentuk pada manifestasi-manifestasi dan kelangsungan huwiyyah-nya meskipun pembaruan itu terjadi secara terus-menerus dan bersambung. Entitas-entitas tak berubah itu adalah simbol penciptaan baru dan manifestasi-manifestasi al-Haqq yang berlangsung terus-menerus di dalamnya.[35]

Ibn ‘Arabi berpandangan bahwa kenaikan yang terus-menerus pada manusia bercabang dari hakikat ini. Ia berkata, “Di antara hal-hal yang menakjubkan adalah pada kenaikan yang terus-menerus dan tidak dirasakan karena tabir yang tipis dan lembut serta bentuk-bentuk yang serupa.”[36]

Tentang hal ini juga, al-Kasyani berkata, “Jadi, setiap sesuatu naik sesaat karena ia selalu siap untuk menerima manifestasi-manifestasi eksistensi Ilahi yang terjadi secara terus-menerus sepanjang zaman. Kesiapan ini berkembang setelah setiap manifestasi untuk menerima manifestasi berikutnya.”[37] Lebih jelasnya, kenaikan segala sesuatu merupakan arah terbalik dari keturunan al-Haqq kepadanya.”[38]

Tentu saja, pemindahan (metempsikosis) perasaan yang hidup dan nyata terhadap proses penciptaan baru di dalam dan di luar manusia dimungkinkan melalui pengetahuan tentang napas tersebut.

Sementara itu, dengan mengetahui nama-nama itu, dapat kami katakan bahwa emanasi Ilahi dikirimkan setiap momen melewati busur turun dan dari titik tolak yang bernama al-Bâ‘its (Napas Rahmani: al-syahîq [tarikan napas]) dan kembali melalui busur naik dari titik tolak yang bernama al-Wârits (al-zafîr [hembusan napas]). Jalaluddin Al-Rumi memiliki dua bait syair yang indah yang menggambar Al-Syahîq dan Al-Zafîr ini dengan indah.

Atas dasar ini, eksistensi merupakan kemunculan dan ketertabiran yang berasal dari kegaiban kehendak Allah, dan bahwa perjalanan alam penciptaan dengan cara seperti ini, yang keluar dari batin al-Haqq, merupakan kemunculan ke dunia nyata (penciptaan), lalu kembali ke dalam kegaiban dan ketersembunyian, dan tersembunyi dalam raj‘ah dan ma‘âd. Adanya perjalanan ini dipahami dari makna ayat: Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya. Dengan kata lain, dan dengan ungkapan yang lebih sederhana, masalah tersebut merupakan masalah kemunculan dan ketersembunyian, bukan masalah penciptaan atau peniadaan.[40]

Dari uraian sebelumnya, menjadi jelas bagi kita bahwa faktor-faktor perbedaan di antara teori penciptaan baru dan teori-teori lain yang serupa seperti (1) teori pembaruan kasus (tajaddud al-amtsâl)—pada Mu‘tazilah; (2) teori aliran alam—pada Husbaniyyah; dan (3) teori gerakan substansial (al-harakah al-jauhariyyah)—pada al-Hikmah al-Muta‘âliyyah. Ibn ‘Arabi telah membahas dua teori pertama dan memberikan kritikannya terhadapnya. Tentang keduanya, ia berkata bahwa meskipun dalam ide “perubahan yang terus-menerus” keduanya telah mencapai suatu batas tertentu, tetapi masing-masing jatuh ke dalam kekeliruan. Kaum Asy‘ariyyah meyakini pembaruan kasus (tajaddud al-amtsâl) pada lautan aksiden-aksiden dan ketidak-kekalan aksiden-aksiden tersebut pada dua momen sekaligus. Mereka tidak mengetahui satu masalah penting, dan yang mengharuskan kita memandang alam semesta ini dengan menjelaskannya sebagai suatu sifat, aksiden dan kondisi dari substansi hakiki, yaitu al-Haqq Yang Mahatinggi dan persebaran emanasi-Nya. Atas dasar ini, mereka tidak memahami penciptaan baru dalam seluruh alam semesta. Dengan kata lain, mereka tidak sampai pada asumsi bahwa alam semesta ini seluruhnya tersusun dari sekumpulan aksiden yang berada dalam perubahan yang terus-menerus, dan bahwa aksiden-aksiden tersebut tiada lain adalah berbagai manifestasi al-Haqq. Dari sudut pandang Ibn ‘Arabi, substansi itu adalah maujud yang diikuti, yang merupakan manifestasi Zat al-Haqq (eksistensi yang tersebar) dan kebalikan dari aksiden yang merupakan maujud yang mengikuti dan manifestasi sifat-sifat al-Haqq Yang Mahatinggi (alam dan selainnya).[41] Ini artinya, setiap sesuatu adalah gambaran aksidental dari al-Haqq Swt. yang tidak berdiri sendiri, dan bahwa segala sesuatu tidak lepas dari keberadaannya sebagai aksiden-aksiden yang menerima kemunculan dan ketersembunyian dalam suatu substansi yang abadi.

Husbaniyyah atau Sophisme mengatakan bahwa alam semesta ini tidak tetap dan berubah setiap momen serta semua alam ini bisa hilang, dan mereka tidak mengenal keberadaan perkara yang tetap atau haqq. Di samping itu, mereka tidak mengetahui kesatuan yang ada di balik perubahan-perubahan dan bentuk-bentuk yang berubah itu. Dengan demikian, mereka tidak menyadari keberadaan suatu substansi yang rasional dan hakikat yang mutlak di balik perubahan-perubahan yang mencakup semua bentuk tersebut (Allah Swt. dan eksistensi yang tersebar).[42] Adapun perbedaan antara teori penciptaan baru dan teori gerakan substansial tersembunyi di balik asumsi bahwa objek penciptaan baru dan pembaruan kasus dalam ‘irfan adalah eksistensi relatif—baik immateri maupun materi, sedangkan objek gerakan substansial adalah alam fisik dan materi. Artinya, gerakan substansial menjelaskan alam materi, sedangkan penciptaan baru menjelaskan semua tingkatan alam semesta.

Atas dasar ini, kejadian alam semesta, menurut urafa, bukan suatu peristiwa yang terjadi satu kali agar sesudahnya alam ini terus berlanjut dalam kekekalan dan keabadian untuk selamanya. Bahkan—berdasarkan kemurahan dan anugerah Ilahi yang tak terhingga—setiap momen menghasilkan suatu penciptaan baru dan kejadian yang lain. Urafa berpandangan bahwa kandungan ayat: Setiap hari Dia dalam kesibukan,[43] sesungguhnya berbicara tentang pandangan dan penyaksian ini.

Karakteristik-karakteristik Alam dalam Pandangan ‘Irfan

Dalam pandangan ‘irfan, alam semesta memiliki beberapa karakteristik yang menunjukkan dengan jelas kebutuhannya yang sempurna kepada al-Haqq dan penyandaran sepenuhnya pada masalah kesatuan eksistensi (wahdah al-wujûd). Berikut ini adalah beberapa karakteristik yang menjadi sifat alam semesta:

Alam sebagai Tanda dan Cermin: hal ini maksudnya, alam semesta merupakan cermin yang memantulkan al-Haqq, dan karena kebiasaan cermin adalah mengungkapkan sesuatu yang lain. Ini menjelaskan bahwa alam semesta kosong dari kesempurnaan apa pun kecuali jika alam tersebut memantulkan kesempurnaan al-Haqq Swt., sebagaimana telah kami kemukakan, meskipun pengenalan al-Haqq “terhadap selain al-Haqq” yang jauh dari entifikasi merupakan sesuatu yang mustahil. Ini dari satu sisi, sedangkan dari sisi lain, akibat (ma‘lûl), seperti yang dikenal dalam filsafat, merupakan term tidak sempurna (hadd al-nâqish) bagi sebab (‘illah). Berdasarkan hal ini, setiap maujud, dalam kapasitasnya sebagai salah satu entifikasi al-Haqq, memantulkan kesempurnaan Ilahi sesuai dengan kesiapan dan kemampuannya.

Ahli suluk pada awalnya memandang al-Haqq pada cermin makhluk, bersama makhluk, dan di balik tirai. Namun, seperti pembahasan-pembahasan lain—dengan perbandingan mazhab Ibn ‘Arabi di antara tiga pandangan, yakni pandangan ahli al-farq, ahli al-jam‘, dan ahli jam‘ al-jam‘—pandangan yang sempurna adalah milik ahli jam‘ al-jam‘ yang tidak memandang mumkinât semata sebagai cermin-cermin yang memantulkan keindahan al-Haqq dengan berbagai pendekatan. Bahkan, mereka juga berpendapat bahwa al-Haqq pun merupakan cermin bagi bentuk-bentuk mumkinât (seperti dalam filsafat, dimana sebab sempurna [al-‘illah al-tâmm] merupakan term sempurna [al-hadd al-tâmm] bagi akibat [ma‘lûl]), dimana pengetahuan hakiki tidak bisa membayangkan alam semesta kecuali dalam bayangan makrifatullah. Pembahasan ini dipandang sebagai pelengkap tema “al-Haqq merupakan cermin alam semesta” yang terdapat dalam ‘irfan Ibn ‘Arabi, dan bersama pembahasan pertama, membentuk kaidah yang dikenal dengan mir’âtiyyah al-tharfain (pencerminan dua pihak) berdasarkan hadis, “Seorang Mukmin adalah cermin bagi Mukmin yang lain.” Dalam karya-karyanya, Ibn ‘Arabi menyinggung masalah ini.[44] Kadang-kadang, ia menyebut pencerminan (mir’âtiyyah) ini dengan al-kitâb. Dengan demikian, ilmu dalam kedudukan kitab alam semesta bagi al-Haqq ditulis dengan pena tertinggi.

1. Sistem Terbaik bagi Alam Semesta

Ibn ‘Arabi berkeyakinan bahwa alam semesta seluruhnya adalah bayangan Allah Swt. dan menifestasi nama-nama al-Haqq karena setiap nama al-Haqq adalah yang terbaik, dan semuanya merupakan nama terbaik (al-asmâ’ al-husnâ). Oleh karena itu, pantaslah bila sistem alam ini pun adalah yang terbaik. Sejak semula, urafa telah sampai pada sistem terbaik alam semesta dan tidak menemui hambatan melalui penyingkapan batin, lalu melalui burhân limmî tersebut. Adapun, Ibn ‘Arabi, dalam Fashsh Hikmah Ghaibiyyah fî Kalimah Ayyûbiyyah, berkata, “Jika al-Haqq adalah huwiyyah alam semesta, maka seluruh hukum tidak akan muncul kecuali dari dan pada-Nya. Dengan demikian, tidak mungkin ada dalam imkân sesuatu yang lebih indah daripada alam ini karena dalam rupa al-Rahmân. Allah menciptakannya, yakni eksistensi-Nya muncul dengan kemunculan alam semesta ini.”[45] Urafa menegaskan bahwa semua pilar alam semesta diciptakan menurut asas kebaikan dan keindahan, dan berdasarkan hadis, “Sesungguhnya Allah Yang Mahaindah menyukai keindahan.” Sebab, keindahan sistem alam semesta berasal dari keindakan al-Haqq.

Oleh karena itu, jika sesuatu tampak tidak sempurna, tidak alami, menyimpang dari kebaikan dan kemaslahatan dalam pandangan kita, maka hal itu karena ada kekurangan dan cacat pada mata kita, bukan pada sesuatu itu sama sekali.

Mata mana pun tidak mungkin melihat keindahan alam semesta secara hakiki kecuali jika berubah dari mata kemajemukan (‘ain al-katsrah), yang hanya melihat sesuatu yang tampak dan parsial, menjadi mata yang suci dan bersih.

2. Aliran Kehidupan dan Perasaan Umum

Urafa berkeyakinan bahwa alam semesta dan semua pilarnya, yang di dalamnya terdapat benda-benda mati, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan lain-lain, memiliki kehidupan dan perasaan. Hakikat ini bisa dicapai terlebih dahulu melalui penyingkapan batin (kasyf). Hal itu ditunjukkan dalam banyak ayat al-Quran yang menyatakan bahwa setiap sesuatu di alam semesta ini bertasbih kepada Allah Swt., menyucikan-Nya, dan memuji-Nya. Ibn ‘Arabi berkata, “Menurut keyakinan kami terhadap kabar-kabar yang benar, dengan penyingkapan batin, kita dapat mencapai pemahaman ini, dan kita mendengar batu berbicara dengan menyebut nama Allah dan Swt. dan bertasbih kepada-Nya.”[46]

Adapun, penjelasan eksistensial terhadap butir ini didasarkan pada wahdah al-wujûd dan rusûkh Ilahi di semua penjuru alam semesta, yakni aliran eksistensi (eksistensi yang tersebar), manifestasi al-Haqq, dan pilar-pilar manifestasi di samping aliran sifat-sifat kesempurnaan. Dengan kata lain, aliran dari kehidupan persepsi dan cinta, serta kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial yang lain pada setiap pilar alam semesta. Hal itu mengikuti aliran eksistensi yang tersebar dan Napas Rahmani, dimana karena satu dan lain hal, muncul pada setriap lokus manifestasi dalam suatu tingkatan. Lebih tepatnya, perumpamaan pengetahuan al-Haqq terhadap semua maujud adalah seperti keteguhan kehidupan Ilahi pada semua bagian alam semesta ini dan pengetahuan terhadapnya. Demikianlah, denyut setiap bagian alam semesta ini terjadi dan berlangsung terus-menerus dengan kehidupan yang abadi. Dalam pada itu, kebanyakan orang tidak bisa membedakan denyut tersebut. Mereka berkeyakinan bahwa tidak ada kehidupan kecuali pada beberapa bagian dari dunia ini saja. Yakni, masing-masing dari kita dapat dengan mudah merasakan sisi eksistensi dan kemunculan napas Rahmani. Sementara itu, aspek kehidupan hanya diketahui dengan penyingkapan batin.

Ibn ‘Arabi berkata, “Setiap maujud di dunia ini memiliki kehidupan. Namun, hal ini tidak diketahui oleh kebanyakan yang ada di dunia ini, dan setiap sesuatu akan tampak jelas dalam kehidupan akhirat karena di sanalah tempat kehidupan yang sebenarnya.”[47]

WUJÛD DALAM PANDANGAN MISTISISME

WUJÛD DALAM PANDANGAN MISTISISME
Oleh : Sayyed Rahmanian
(Terjemahan Iwan Kurniawan)

Kata wujûd (eksistensi) dianggap sebagai kosa kata paling penting yang dibahas dalam mistisisme teoretis dalam mazhab Ibn ‘Arabi. Bisa juga dikatakan bahwa pandangan mistisisme yang komprehensif berkisar pada tiga poros, yakni wujûd, Allah, dan kesatuan (wahdah). Adapun sifat hubungan yang mengikat ketiga poros tersebut satu dengan yang lain akan kita bahas kemudian. Namun, terlebih dahulu akan kami tunjukkan satu butir penting, yaitu bahwa dalam klasifikasi khusus tentang mazhab-mazhab filsafat, urafa—yang telah mencapai penyaksian-batin (syuhûd) hakiki dan manifestasi-manifestasinya—diklasifikasikan ke dalam mazhab yang meyakini otentisitas (ashâlah) wujûd.

Ibn ‘Arabi dan para pengikutnya tidak meyakini realitas atau hakikat sesuatu apapun selain wujûd yang harmoni dengan Zat Ilahi dan substansinya. Tetapi mereka tidak mencatatkan hal itu dan tidak menuliskannya dalam sejumlah kajian mereka tentang otentisitas wujûd atau esensi. Berdasarkan hal ini, sesuatu apapun merupakan sumber pluralitas (sebagai esensi). Pikiran dapat mengetahuinya dan menyimpannya di dalam suatu konsep, dan hal itu akan menjadi terpisah dari hakikat tersebut.

Urafa—terutama para pengikut mazhab Ibn ‘Arabi—telah mengungkapkan pengalaman mistis mereka, baik âfâqî maupun anfusî, tentang konsep wujûd. Adapun pencapaian pluralitas dalam unitas (al-katsrah fî al-wahdah) dan unitas dalam pluralitas (al-wahdah fî al-katsrah) mereka kemukakan dengan istilah-istilah seperti “keterhapusan determinasi (ta‘ayyunât) dalam eksistensi mutlak” atau “kebebasan dari belenggu eksistensi” dan sebagainya. Misalnya, eksistensi (wujûd) dalam konsep dianggap sebagai “perkara aksiomatik”, dan dalam ilmu hudhûrî yang umum akan menjadi jelas bagi semuanya. Dalam ilmu hudhûrî khusus (syuhûd ‘irfânî) pun batin Zat Ilahi didahulukan atas segala sesuatu, dimana urafa tidak menemukan term yang lebih sesuai daripada wujûd untuk menamainya. Inilah yang dikemukakan oleh Al-Syabastari dalam bait-bait syairnya. ,

Dua Makna Wujûd dalam Mistisisme

Urafa menunjukkan dua makna wujûd, yaitu wujûd hakiki dan wujûd metafora. Salah satunya benar-benar satu, sedangkan yang lain samar-samar; yang satu bersifat hakiki (nafsî), sedangkan yang lain bersifat relatif (idhâfî); yang satu bukan esensi dan bukan pula aksiden, bahkan di atas keduanya, sedangkan yang lain adalah perkara aksidental dan aksiden.

Dalam menjelaskan kedua makna ini, Al-Qaishari berkata, “Wujûd dalam arti pertama kadang-kadang bermakna perolehan (hushûl), aktualisasi (tahaqquq) atau penampakan (zhuhûr) yang telah tetap di alam-alam dan fase-fase yang lain. Dengan demikian, wujûd di sini berarti eksistensi aksidental (yang dinisbahkan pada berbagai esensi, dan karena penisbahan ini, istilah maujûd digunakan untuk menyebut segala yang ada). Menurut makna ini juga, wujûd berarti homonim dan tersamar dengan maujûd (yaitu samar-samar dari aspek kemunculan dalam berbagai tingkatan dan manifestasi).

Adapun wujûd yang lain adalah wujûd hakiki, atau yang pada faktanya merupakan hakikat wujûd dan yang dipandang sebagai komponen, bahkan pilar dan asas, setiap tingkatan aktualisasi. Ia bukan esensi dan bukan juga aksiden, tetapi asas dan komponen bagi keduanya (esensi dan aksiden) sekaligus. Wujûd ini adalah Wujûd Al-Haqq yang menjadi Pemilik segala sesuatu dan esensinya.

Wujûd—menurut mazhab Ibn ‘Arabi—tidak sama dengan tsubût (ketidakberubahan). Ibn ‘Arabi sendiri meyakini adanya kontradiksi dan perbedaan di antara kesesuatuan (syai’iyyah) tsubût dan kesesuatuan wujûd, karena ia melihat ada pemilikan entitas-entitas tak berubah (al-a‘yân al-tsâbitah) pada tsubût, tetapi tidak ada pada wujûd. Ia meyakini bahwa lingkup tsubût dikhususkan pada Eksistensi Ilahi yang hanya teraktualisasi dengan Zat Al-Haqq.

Di samping itu, istilah kaun (kosmos) tidak berarti wujûd menurut Ibn ‘Arabi, tetapi berarti eksistensi alam semesta. Penisbahan itulah yang kami tunjukkan tadi.

Istilah-istilah Wujûd dan Wujûd Muthlaq

Wujûd dalam mistisisme teoretis terbagi ke dalam beberapa bagian, di antaranya sebagai berikut.
1. Al-Wujûd al-muthlaq dan al-wujûd al-muqayyad.
2. Al-Wujûd al-‘âm (eksistensi yang terdeterminasi dan khusus).
3. Wujûd lâ bi syarth, wujûd bi syarth, dan wujûd bi syarth syai’.

Pembagian-pembagian tersebut, menurut urafa, merujuk pada pembagian dan sitematisasi yang dikhususkan pada syuhûd, bukan pada jenis-jenis wujûd dan jumlah wujûd. Melalui syuhûd mereka, urafa menemukan beberapa hal yang eksistensinya kadang-kadang berupa aksiden, relatif, dan tituler, tetapi kadang-kadang berupa sesuatu yang tidak terbatas dan mengalir pada setiap sesuatu yang disebut maujud. Urafa yakin bahwa di luar dua jenis ini ada wujûd mutlak yang tidak terikat, tidak diketahui, dan tidak bisa dicapai. Sebagian mereka menisbahkan aspek keyakinan akan jenis wujûd ini pada akal (keniscayaan adanya Pembagi Hakiki atas pembagian ini) dan pada syuhûd (penyaksian cahaya hitam). Keberadaan syuhûd mereka tidak lebih tinggi daripada tingkatan wujûd semata. Ia juga merupakan tingkatan wujûd satu-satunya.

Lebih jelasnya, ada empat kriteria dengan melihat pada analogi pembatasan wujûd. Ihwalnya benar-benar seperti suatu konsep, esensi, atau hakikat ketika dianalogikan dan dibandingkan dengan sesuatu yang lain. Kriteria-kriteria itu sebagai berikut.
1. Wujûd bi syarth al-syai’ (muta‘ayyin)—eksistensi terbatas.
2. Wujûd bi syarth lâ (ketidaktentuan; mutlak dengan dibatasi kemutlakan)—eksistensi mutlak.
3. Wujûd lâ bi syarth (tidak dibatasi dengan determinasi dan tanpa determinasi).
4. Wujûd lâ bi syarth (pembagi yang membagi bagian-bagian tersebut, yang pada esensinya bukan determinasi dan bukan mutlak, dan bukan pula terbatas dengan determinasi dan tanpa determinasi)—muthlaq al-wujûd.

Dari aspek bahasa dan kaidah, penambahan istilah muthlaq sebelum kata yang lain adalah agar berada pada tempat yang dinisbahkan (mudhâf), karena ia membawa makna umum dan komprehensif pada sesuatu yang dinisbahi (mudhâf ilaih). Makna ini tidak dijelaskan dengan suatu sifat apapun dan tidak dibatasi dengan batasan apapun, tetapi bisa dijelaskan dengan sifat-sifat yang lain seperti muthlaq maf‘ûl. Dalam kaidah-kaidah bahasa Arab, hal itu mencakup maf‘ûl lahu, maf‘ûl fîhi, maf‘ûl muthlaq, dan jenis-jenis maf‘ûl terikat yang lain. Berdasarkan hal ini, jika ada kata muthlaq setelah suatu kata atau term yang lain, maka hal itu dianggap sebagai sifat dan sejenis batasan, seperti halnya dengan maf‘ûl muthlaq yang dalam hal ini muthlaq merupakan sifat bagi maf‘ûl, yakni maf‘ûl dibatasi oleh muthlaq. Demikian pula dengan wujûd, dimana muthlaq al-wujûd mengandung makna luas yang cakupannya meliputi wujûd mutlak dan wujûd-wujûd terikat atau bersyarat.
Adapun yang berkaitan dengan Zat Al-Haqq, ke wujûd mana dinisbahkan, dan apa yang menyimbolkan tindakan dan pengaruh-Nya, masih menjadi bahan perdebatan di kalangan urafa dan hukama.

Ketentuan-ketentuan Wujûd dalam Mazhab Ibn ‘Arabi

Berikut ini adalah ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat wujûd (hakikat wujûd) menurut mazhab Ibn ‘Arabi:
1. Wujûd tidak bisa didefinisikan.
2. Wujûd Haqîqî (Eksistensi Hakiki) bukan homonim dan sinonim. Ia hanya memiliki satu substansi. Sedangkan wujûd idhâfî (eksistensi relatif) menyimbolkan sinonim di antara berbagai manifestasi.
3. Hakikat wujûd, yaitu sumber semua kesempurnaan.
4. Tidak bisa menduakan makna wujûd, berbeda dengan zhuhûr.
5. Wujûd dan Nûr (Cahaya) adalah sama.
6. Wujûd dan Wahdah (Kesatuan) adalah sama.
7. Wujûd dan Wujûb adalah sama.

Mengenai hal-hal yang berkatian dengan masalah terakhir, yang akan kami bahas dalam pembahasan tentang Wahdah Al-Wujûd, harus dijelaskan bahwa urafa—berbeda dengan pandangan para filosof—memandang bahwa tidak ada keterbagian wujûd menjadi dua bagian, yaitu wâjib dan mumkin. Tetapi pada dasarnya, wujûd digandengkan dengan wujûb. Selanjutnya, wujûb membawa pada hakikat wujûd, bukan pada suatu substansi (fard) dari wujûd. Perlu ditunjukkan kemungkinan menjelaskan sifat suatu maujud—menurut pandangan filosof—dengan beberapa bagian wujûb, seperti wujûb bi al-ghair (membutuhkan yang lain) atau al-wujûb al-ghairî (dengan analogi pada yang lain), atau membutuhkan syarat mahmûl (attribute). Tetapi yang dimaksud oleh urafa adalah al-wujûb al-dzâtî, bukan al-wujûb al-ghairî atau al-wujûb bi al-ghair. Walaupun masalah ini adalah kondisi syuhûd, urafa telah mengemukakan banyak dalil terhadap hal ini, serta menunjukkan argumentasi terhadap berbagai aspek dalam karya-karya mereka, dan juga telah mengkaji dan mengkritiknya. Faktanya, menegaskan masalah ini berarti menegaskan wahdah al-wujûd, yaitu menegasikan wujûd dari mumkinât dan membatasi wujûd pada Zat Al-Haqq Swt. semata.

Wahdah Al-Wujûd (Unity of Being)

Ada dua masalah asasi dalam mistisisme teoretis, yaitu tauhid (mengenal Allah Swt.) dan mengenal monoteis (insân kâmil). Masalah pertama terbagi ke dalam dua masalah pokok, yaitu (1) penegasan kesatuan (wahdah syakhshiyyah bagi wujûd); dan (2) penjelasan pluralitas (kajian manifestasi). Demikian pula, wujûd ‘irfânî dapat dipahami melalui dua pembahasan ini. Dan pada hakikatnya, tidak mungkin memisahkan sentralisasi unitas (wahdah) dalam pandangan mistisisme komprehensif dari sentralisasi wujûd. Berdasarkan hal ini, unitas (wahdah) menjadi penjelasan khusus bagi wujûd, bukan bagi yang lain, dan tidak mungkin memisahkan antara keduanya dalam bentuk apapun. Pembahasan mengenai hal ini akan diketengahkan dalam Wahdah Al-Wujûd.

Termasuk hal-hal yang tidak diragukan adalah bahwa seseorang dalam kehidupannya sehari-hari berinteraksi dengan pluralitas dan mengenal banyak jenis unitas, baik unitas individu, spesies, genus, maupun yang lainnya, dan melalui berbagai hal. Dapat dikatakan bahwa hal itu, dari kebanyakan sisi homonimi, merupakan keumuman antara pluralitas (katsrah) dan eksistensi (wujûd).

Pertanyaan yang selalu muncul dalam pikiran manusia sejak dahulu adalah yang berkaitan dengan asal unitas atau kesatuan (wahdah) dan pluralitas (katsrah) serta sumber keduanya. Dengan kata lain, mana yang hakiki dan mana yang metafora. Atau, adakah unitas yang tersembunyi di balik pluralitas yang tampak? Apakah pluralitas itu merupakan tanda dan rumus dari unitas? Unitas ini dalam dimensi hakikinya dapat dijelaskan dengan penjelasan teleologis, aktivitas, formalisme, materialisme, atau asal apapun. Berdasarkan sejarah filsafat yang tercatat, para filosof sebelum Socrates, terutama yang mengaku sebagai kaum Ilyâ’iyyûn, adalah orang-orang pertama yang mengatakan tentang eksistensi satu substansi di balik segala sesuatu. Orang yang paling terkemuka di antara mereka adalah Parmenides yang meyakini adanya wujûd yang satu dan tetap sebagai suatu hakikat yang tersembunyi di balik segala pluralitas dan hal-hal yang berubah. Di samping itu, harus dikatakan bahwa semua agama, termasuk agama-agama samawi, telah menunjukkan jenis unitas ini. Tampaknya, agama-agama Ilahi dan lain-lain pada umumnya terfokus pada kesatuan Agent (Fâ‘il) dan tujuan (tauhîd rubûbî dzâtî wa ‘ibâdî), sebagaimana beberapa agama Timur menegaskan kesatuan substansi bagi seluruh alam. Barangkali, sumber penegasan itu berpangkal pada pengalaman mistis yang tersembunyi di dalam agama-agama itu.

Urafa juga meyakini otentisitas wujûd dan kesatuannya, dan kenisbian pluralitas. Keyakinan ini disebut al-wahdah al-syakhshiyyah li al-wujûd, dan secara ringkas dikenal dengan istilah wahdah al-wujûd. Sementara itu, wahdah al-wujûd menurut urafa Muslim adalah istilah yang muncul dari penyaksian-batin (syuhûd) dan pengalaman mistis, dan juga merupakan penafsiran yang diambil dari prinsip tauhid agama (al-tauhîd akhashsh al-khawwâsh) di samping sebagai teori filsafat dan ontologi tentang hakikat. Teori ini mengharuskan kembalinya pluralitas lahiriah, relatif dan ilusif kepada Wujûd yang satu dan ril.

Konsep Wahdah Al-Wujûd

Untuk memahami istilah wahdah al-wujûd lebih dalam—yaitu subjek yang tidak diragukan menempati prioritas dalam kajian-kajian verifikatif dan argumentatif yang dikhususkan baginya—kita harus memulai dengan memisahkan teori ini dari teori-teori alternatif. Di antara teori-teori itu adalah sebagai berikut.

1. Perbedaan wujûd. Para filosof peripatetik dan mutakallimin adalah pengikut mazhab ini. Mereka berpendapat tentang pluralitas maujud dan perbedaan asasi antara wujûd segala sesuatu dan Wujûd Wajib Swt., di satu sisi, dan atnara sesuatu itu sendiri, di sisi lain. Eksternal (khârij)—menurut mazhab ini—merupakan wadah pluralitas hakiki, sedangkan pikiran (dzihn) merupakan wadah unitas murni (konsep wujûd).

2. Kesatuan asal (sinkhiyyah) tasykîkiyyah bagi wujûd. Penulis Al-Hikmah Al-Muta‘âliyah memiliki satu pendapat yang terkenal, bahwa walaupun ada banyak wujûd bagi beberapa substansi (afrâd), tetapi semuanya berasal dari satu asal wujûd yang sama. Ia tidak mengatakan banyaknya asal, tetapi ia memandang maujud-maujud yang di dalamnya terdapat wâjib dan mumkin sebagai tingkatan-tingkatan tasykîkiyyah dalam satu hakikat. Kemudian, hingga batas tertentu, ia meyakini “pluralitas dalam unitas” dan “unitas dalam pluralitas” (semuanya dalam bentuk hakiki).

3. Unitas wujûd dan maujud dan penegasian pluralitas, yaitu pendapat sebagian sufi yang menegaskan bahwa pluralitas hanyalah fatamorgana dan batil, sehingga mereka menegasikannya dari akar-akarnya. Mereka menegasikan setiap bentuk hakikat—baik yang berkaitan dengan eksistensi (wujûdî) maupun yang berkaitan dengan penampakan (zhuhûrî)—darinya.

4. Wahdah al-wujûd (pantheisme). Mereka mengatakan bahwa Allah Swt. dan alam adalah satu, dan bahwa Allah Swt. adalah ringkasan dari semua maujud atau bahwa Dia menempati semua pilar dan bagian-bagian alam semesta ini. Dengan kata lain, ketiga pendapat tadi bertolak dari prinsip pluralitas, atau apa yang disebut urafa dengan izdiwâjiyyah (keberpasangan) atau tsanawiyyah al-wujûd (dualitas eksistensi). Kelompok ini dalam Islam dikenal sebagai orang-orang yang berpendapat tentang hulûl (inkarnasi) dan ittihâd (unifikasi). Keyakinan mereka terfokus pada kesatuan Allah Swt. dan alam semesta dan menegasikan pemisahan di antara keduanya. Mereka juga tidak meyakini adanya penciptaan dan tidak memandang bahwa Allah Swt. adalah Pencipta segala sesuatu, tetapi Dia adalah segala sesuatu itu sendiri. Mereka mendefinisikan Allah Swt. sebagai segala sesuatu—yakni segala wujûd—dan bahwa setiap sesuatu adalah Allah Swt. Dengan demikian, mereka mengingkari transenden-Nya dari alam semesta dan tidak mengakui maqam dzât dan huwiyyah (ke-Dia-an) Al-Haqq. Pendapat ini—seperti kita lihat—(1) tidak sejalan dengan prinsip tauhid (theisme) yang berdiri di atas keterpisahan dan keberbedaan Allah Swt. dari alam semesta, dan (2) didasarkan pada keyakinan akan pluralitas dan keberbilangan wujûd—dengan menganggapnya sebagai unsur-unsur dari satu wujûd.

Al-Wahdah Al-Syakhshiyyah li Al-Wujûd

Walaupun ada beberapa ungkapan yang menunjukkan unitas hakikat wujûd dan kenisbian pluralitas dalam karya-karya urafa sebelum Ibn ‘Arabi, tetapi fakta menunjukkan bahwa pencatatan teori wahdah al-wujûd al-syakhshiyyah ini dan perkembangannya menjadi apa yang dikenal dengan teori manifestasi (tajallî), penjelasan pilar-pilar, syarat-syarat dan ketentuan-ketentuannya, dan selanjutnya argumentasinya secara rasional, dilakukan oleh mazhab Ibn ‘Arabi dan para penafsirnya, seperti Al-Qunawi dan para pengikutnya. Perlu ditunjukkan bahwa Ibn ‘Arabi sendiri tidak menggunakan istilah wahdah al-wujûd, tetapi kami menemukan banyak ungkapan dan isyarat yang seluruhnya menunjukkan kandungan teori tersebut dalam buku-buku dan risalah-risalahnya. Jika kita membandingkan teori tersebut dengan teori-teori yang berseberangan dengannya dan yang baru saja kami jelaskan, maka kita akan melihat bahwa wahdah al-wujûd berarti bahwa wujûd hanya terbatas pada Yang Satu, dan pada saat yang sama, ia merupakan sejenis unitas dalam pluralitas dan pluralitas dalam unitas. Tetapi hal itu tidak seperti yang dikatakan oleh penulis Al-Hikmah Al-Muta‘âliyyah bahwa unitas kembali pada akar wujûd, sedangkan pluralitas kembali pada tingkatan-tingkatan dan substansi-substansi (afrâd) wujûd. Bahkan, ia adalah satu hakikat, yakni tingkatan wujûd tertinggi dan juga tingkatan wujûd satu-satunya, yang bermanifestasi dalam lahirah dan simbol-simbol pluralitas. Berdasarkan hal ini, pluralitas bukan fatamorgana dan batil, tetapi Al-Haqq, dan kriteria otentisitas dan hakikatnya tiada lain adalah dengan kemunculannya. Tentu, di sini masih ada ke-Dia-an Al-Haqq dan maqam dzât yang tidak diketahui dan tidak bermanifestasi, tetapi bermanifestasi bersama segala sesuatu dan pluralitas, dan mengalir di dalamnya. Tetapi aliran itu tidak seperti aliran air dalam pembuluh batang tanaman atau aliran darah dalam tubuh yang akan menyebabkan inkarnasi (hulûl), dan bukan juga alam sebagai wadah bagi Al-Haqq atau menyatu bersama Zat atau Entitas-Nya yang berarti unifikasi (ittihâd), melainkan bahwa alam tersendiri sebagai gambaran Al-Haqq yang terpantul pada cermin, bukan Al-Haqq itu sendiri. Atas dasar ini, pluralitas merupakan manifestasi Al-Haqq, bukan sesuatu yang batil atau khayalan. Jika muncul seperti itu, maka kita melihat esensi-esensinya yang terpisah. Tetapi jika kita memandangnya sebagai tanda dan cermin, maka ia akan menjadi gambaran-gambaran dan bayangan-bayangan Al-Haqq.

Menurut pandangan ini, unitas dan wujûd masing-masing muncul di seputar yang lain, sehingga unitas merupakan penjelasan terhadap wujûd dan wujûd menyertai unitas. Demikian halnya dengan kesatuan Al-Haqq; ia bukan kesatuan dalam bilangan sehingga menjadi lawan dari banyak, tetapi ia adalah kesatuan mutlak yang mencakup banyak menifestasi. Pluralitas-pluralitas itu, yang pada esensinya merupakan bentuk dan manifestasi, semuanya dikonsepsikan sebagai satu hal.

Ringkasnya, dalam membandingkan antara wahdah al-wujûd dan pendapat-pendapat yang lain, dapat kita katakan bahwa “teori” wahdah al-wujûd, berbeda dengan teori keberlainan wujûd, pada dasarnya tidak menunjukkan pluralitas dalam perkara yang faktual sehingga tidak mengakui hakikat segala esensi (otentisitas esensi) dan menganggap pluralitasnya sebagai pluralitas yang dibentuk dalam fakta; tidak menunjukkan bahwa pluralitas dalam substansi dan jenis (tabâyun); dan tidak pula menunjukkan tingkatan-tingkatan wujûd (tasykîk). Teori ini tidak termasuk ke dalam pendapat mereka yang mengatakan tentang prinsip wahdah al-wujûd karena mengingkari maqam dzât sebagai hal yang transenden dari alam semesta dan tidak pula mengakui apa yang diyakini oleh mereka yang berpendapat tentang inkarnasi, unifikasi, dan dualitas dalam wujûd. Selain itu, teori tersebut tidak mengatakan apa yang dikatakan oleh sebagian sufi bahwa pluralitas itu batil dan hanya khayalan belaka. Tetapi teori ini meyakini kesatuan hakikat wujûd dan pluralitas manifestasi dari hakikat ini.

Bertolak dari sini, Al-Haqq memiliki dua dimensi; (1) dimensi tersembunyi yang merupakan rahasia abadi yang tidak bisa dicapai (kegaiban murni) dan (2) dimensi yang tampak dan bermanifestsi (syahâdah) dan memiliki kaitan dengan pengetahuan manusia. Oleh karena itu—sebagaimana akan kita lihat kemudian—kita akan melihat kesatuan tanzîh (ketakterbandingan) dan tasybîh (keserupaan) dalam teori wahdah al-wujûd manakala para filosof menegaskan tanzîh murni, sedangkan mereka yang berpentapat tentang wahdah al-wujûd dan mereka yang meyakini adanya inkarnasi (hulûl) dan unifikasi (ittihâd) meyakini tasybîh murni. Menurut teori wahdah al-wujûd, dalam kehadiran Allah dalam segala sesuatu, Dia adalah manifestasi (bâ’in) bagi segala sesuatu itu (bainûnah), sedangkan dalam kejauhan-Nya dari segala sesuatu, Dia tidak terpisah dari segala sesuatu itu. Tidak ada yang lebih tepat daripada apa yang dikatakan oleh Amirul Mukminin as. tentang kekhususan ini dalam Nahj Al-Balâghah, “Dia ada dalam segala sesuatu tanpa percampuran dan di luar segala sesuatu tanpa perpisahan.” Dan di tempat lain, beliau berkata, “Dia bersama setiap sesuatu tanpa perpisahan dan bukan setiap sesuatu tanpa penghilangan.”

Simbol Wahdah Al-Wujûd

Menurut pengakuan Ibn ‘Arabi tentang wahdah al-wujûd, dalam ungkapan dan ucapan urafa muncul sejenis retorika (manthiq) yang dikenal dengan huwa lâ huwa. Artinya, ada sebagian hukum yang pada lahiriahnya tidak harmoni dengan sebagian yang lain atau bertolak belakang dalm hal-hal yng berkaitan dengan Al-Haqq dan makhluk. Di antaranya sebagai berikut.
“Alam adalah khayalan dan kebenaran pada saat yang sama.”
“Al-Haqq adalah makhluk dalam satu hal, dan bukan makhluk dalam hal lain.”
“Allah Swt. adalah segala sesuatu dan juga bukan segala sesuatu.”
“Allah Swt. adalah munazzah dan musyabbah.”
“Allah Swt. bersama alam semesta tetapi alam semesta tidak bersama-Nya.”
“Allah Swt. tampak (zhâhir) dan sekaligus tersembunyi (bâthin) dalam setiap sesuatu.”
Namun, dengan menjelaskan apa yang telah kami sebutkan, dan akan dikemukakan dalam pembahasan tentang manifestasi, akan menjadi jelas bagi kita bahwa makna ungkapan-ungkapan tersebut satu persatu. Ibn ‘Arabi menganggap bahwa jalan mistis yang paling dalam adalah memahami butir ini, yaitu bahwa alam ini adalah khayalan dan pada saat yang sama adalah kebenaran:
“Alam ini hanyalah khayalan dan juga kebenaran dalam hakikat. Setiap orang yang mengetahui hal ini, ia memperoleh rahasia-rahasia jalan itu.”

Ibn ‘Arabi menggunakan term-term dan istilah-istilah seperti al-ru’yâ al-shâdiqah (mimpi yang benar), al-shuwar al-mir’âwiyyah (gambar-gambar cermin), “hubungan satu dengan bilangan”, dan “hubungan bayangan dan individu” ketika menjelaskan “alam khayal” dengan menganggapnya sebagai suatu manifestasi bagi Al-Haqq. Untuk mengetahui masalah ini lebih jelas, kami akan menyinggung beberapa hal tersebut, sebagai berikut.

1. Simbolisme mimpi dan penafsirannya: Ibn ‘Arabi meyakini bahwa alam bukan wujûd melainkan sesuatu yang diilusikan sehingga bisa disebut khayalan, tetapi bukan sesuatu yang batil dan sia-sia. Bahkan, bersamanya satu tingkatan hakikat dapat direflesikan. Dengan bersandar pada hadis Nabi Saw., “Manusia tertidur. Tetapi ketika mereka mati, mereka bangun,” Ibn ‘Arabi berkata, “Dunia ini adalah mimpi, tetapi orang-orang biasa lalai terhadap hakikat ini. Kelalaian itu tiada lain adalah kelalaian dari substansi simbolik dari alam ini.” Meskipun demikian, mimpi itu adalah mimpi yang benar, bukan mimpi bohong, sehingga dapat meraih hakikat suatu rumus melalui penafsiran dan penakwilan. Demikian halnya dengan mimpi. Kita harus menafsirkan mimpi itu dengan benar.

Ini dari satu sisi. Sementara itu, dari sisi lain, jika yang mutlak adalah hakikat Al-Haqq Swt., maka alam dan yang lainnya hanyalah khayalan dan ilusi. Tetapi ilusi ini adalah ilusi eksternal, bukan ilusi dalam pikiran (dzihnî). Dengan kata lain, selain yang mutlak hanyalah gambaran khusus dari manifestasi hakikat tersebut. Manifestasi ini dalam faktanya adalah rahasia alam makhluk, dimana alam ini digambarkan oleh seorang arif sebagai kumpulan yang penuh dengan rumus-rumus dan isyarat-isyarat. Atas dasar ini, walaupun ada kontradiksi formalisme antara mimpi dan terjaga, tetapi setiap sesuatu merupakan rumus. Menurut Ibn ‘Arabi, hadis tersebut mengajarkan jalan pemahaman dan penakwilan kepada kita, yaitu kematian. Ia mengatakannya sebagai kefanaan atau al-maut al-ikhtiyârî. Ia berkata, “Hal itu adalah dengan mengikuti timbangan bashîrah, melewati tingkatan-tingkatan mistis, dan perpindahan dari alam dunia ke alam akhirat, dimana seseorang memperoleh ungkapan yang lebih dalam dan lebih tepat tentang alam ini.”

Ibn ‘Arabi menganggap bahwa mistisisme dan hikmah-nya sebagai penjelasan teoretis terhadap alam wujûd seperti tampak pada seseorang yang bangun dari tidur (arif) dan manusia paripurna atau insan kamil (yaitu mimpi Ilahiah dan pandangan yang tinggi terhadap alam ini).

2. Memformulasikan gambaran dalam cermin: Menurut Ibn ‘Arabi, cermin merupakan simbol paling utama yang dapat digunakan untuk menunjukkan al-wahdah al-syakhshiyyah bagi wujûd, dan juga manifestasi-manifestasi Ilahi dan hubungannya dengan alam ini. Hal itu karena cermin (gambar dalam cermin), walaupun ril, tidak memiliki bagian sedikit pun dari realitas. Gambar dalam cermin hanyalah suatu esensi bagi kemunculan (manifestasi), sehingga kita tidak dapat membayangkan bahwa gambar itu bersatu dengan cermin atau menitis ke dalam cermin. Dengan kata lain, gambar itu muncul pada cermin tanpa memiliki eksistensi ril apapun, baik pada cermin maupun pada ruang antara cermin dan orang yang melihatnya. Oleh karena itu, cermin tidak memiliki objektivitas apapun selain tidak dapat dilihat dalam kapasitasnya sebagai cermin.

Ibn ‘Arabi berkata, “Sekiranya kamu berusaha untuk melihat fisik cermin dan kamu melihat gambar maujud yang tampak padanya, maka kamu tidak akan dapat melakukan hal itu, karena gambar-gambar itu akan menghalangi antara mata orang yang melihat dan cermin.” (Ini adalah isyarat yang menunjukkan kefanaan seluruh alam ketika melihat makna, yaitu manifestasi Ilahi). Al-Syabastari telah mengungkapkan hal itu alam dîwân-nya, Ghulsyan-i Râz. Silakan merujuk ke sana.

3. Pembandingan satu dan bilangan: Berkali-kali, Ibn ‘Arabi menekankan persamaan antara hubungan Al-Haqq dan makhluk dengan hubungan antara satu dan bilangan. Dalam hal ini, kita harus tahu bahwa “satu” memiliki dua jenis:
a. Kesatuan bilangan: bilangan itu satu terhadap bilangan-bilangan yang lain dan dalam ekuivalennya.
b. Kesatuan hakiki: dalam hal ini, bilangan itu satu, yaitu ia sendiri dan tidak bisa diulangi, dan dapat ditemukan bilangan-bilangan yang berbeda hingga tidak terbatas tanpa kehilangan tempat atau kedudukannya. Dalam hal ini, bilangan-bilangan itu hanya akan menjadi bentuk perkalian dari satu itu sendiri.

Kedua jenis “satu” tersebut direpresentasikan dalam satu hakikat. Dalam dimensi ini, satu adalah contoh dari wujûd Al-Haqq. Hal itu di satu sisi, dan di sisi lain, Al-Haqq kekal dalam martabat al-huwiyyah al-ghaibah. Melalui kemunculan dan menifestasi-Nya, berbagai tingkatan tercipta. Dalam bentuk tamsil, setiap satu tingkatan itu merupakan kemunculan Yang Satu dari segi sepesifiksi, dan selain konsep khusus.

Al-Syabastari memiliki beberapa bait syair tentang tema ini. Silakan merujuk ke sana.
Selanjutnya, ada beberapa ungkapan lain yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi dan para pengikutnya dalam bentuk metafora, rumus dan tamsil:
a. hubungan antara laut dan gelombang atau laut dan fenomena-fenomena airnya yang lain, seperti uap, salju dan awan.
b. penggunaan kejatuhan cahaya pada kaca dan kemunculan berbagai jenis khayalan untuk mengumpamakan unitas dan pluralitas.
c. Hubungan bayangan dan pemilik bayangan.
d. Kemunculan alif dalam bentuk huruf, atau jiwa (nafs) dalam berbagai ucapan.
e. Hubungan jiwa dengan raga.

Pembuktian Wahdah Al-Wujûd

Keyakinan urafa pada wahdah al-wujûd muncul melalui penyingkapan-batin (kasyf) dan penglihatan-batin (syuhûd). Artinya, menyaksikan sesuatu yang terikat, melihat cahaya dalam semua manifestasi, melihat cahaya wajah Al-Sâqî (Sang Pembawa cawan) dalam semua gambar dan lukisan, menyingkap Yang Satu dalam semua pluralitas, menyaksikan sejenis keindahan dalam berbagai cermin, dan melihat yang mutlak di dalam segala yang terikat (muqayyadât) dan yang diungkapkan oleh urafa dengan berbagai bentuk, semua itu merupakan faktor utama yang mendorong perpindahan urafa ke fase wahdah al-wujûd.

Ibn ‘Arabi berkata, “Barangsiapa yang mata-batinnya dibuka oleh Allah, ia akan melihat Dia dalam setiap sesuatu, atau bahkan setiap sesuatu itu sendiri.” Demikian pula, “Kita dapat melihat Al-Haqq dalam bentuk dan hakikat setiap sesuatu dengan perantaraan cahaya-cahaya.” Barangsiapa yang sampai kepada Al-Haqq dengan penyingkapan-batin, ilmu, dan penglihatan ini, ia termasuk orang-orang yang mendapatkan kekhususan (ahli al-ikhtishâsh). Tentu saja, tingkatan syuhûd urafa berbeda-beda. Pada pasal sebelumnya, kami telah menyebutkan bahwa Ibn ‘Arabi memandang bahwa penyaksian-batin (syuhûd) ahl jam‘ al-jam‘ (pemilik kesatuan dari kesatuan) lebih tinggi daripada syuhûd ahl al-jam‘ (pemilik kesatuan) dan ahl al-firaq (pemilik keterpisahan).

Setelah itu, urafa menisbahkan penakwilan dan makna batin ayat-ayat Al-Quran serta isyarat-isyarat hadis pada masalah ini. Di antara ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Hadîd [57]: 3)
2. Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang; dan kalau dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu (QS Al-Furqân [25]: 45)
3. Setiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah (QS Al-Qashash [28]: 88)
4. maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS Al-Baqarah [2]: 115)
5. dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (QS Al-Anfâl [8]: 17)

Sekarang, kita menghadapi pertanyaan: apakah akal—sebagaimana syuhûd dan naql—memiliki media (wasîlah) yang dapat mengantarkan pada pemahaman tentang wahdah al-wujûd? Ibn ‘Arabi meyakini bahwa tidak mustahil bagi akal untuk sampai masalah-masalah seperti ini. Beberapa sebabnya sebagai berikut.
1. Bangunan pemikiran akal berdiri di atas landasan konsep-konsep (mafâhîm) dan esensi-esensi (mâhiyyât), dan keduanya merupakan asal pluralitas, bukan unitas.
2. Pengetahuan yang diperoleh dengan akal adalah pengetahuan negatif, sehingga ia tidak mampu memiliki konsepsi positif tentang kebenaran.
3. Akal dan argumentasi rasional meyakini prinsip bahwa tidak mustahil dua hal yang kontradiksi dan berlawanan bertemu atau dihilangkan kedua-duanya, sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui syuhûd (setidaknya dalam beberapa hal) didasarkan pada kemungkinan bertemunya dua hal yang berlawanan dan kemunculan dua hukum dari satu perkara tertentu: yang satu positif dan yang lain negatif dalam waktu yang bersamaan, seperti keidentikan nama-nama Al-Haqq keberlainannya berkaitan dengan Al-Haqq, atau penisbahan tindakan dan ketiadaannya kepada hamba pada saat yang bersamaan. Demikian pula penisbahan tindakan kepada Allah Swt. dan kepada hamba sekaligus, atau penegasan dan penegasian sifat-sifat Al-Haqq.

Dengan bersandar pada ucapan Abu Sa‘id Al-Kharraj yang berkata, “Aku mengenal Allah dengan penyatuan-Nya antara dua hal yang berlawanan,” Ibn ‘Arabi berkata, “Sang arif adalah orang yang mengaktualisasikan dirinya dengan Al-Haqq, sehingga dengan hatinya, ia merasakan bahwa Allah menyatukan antara dua hal yang berlawanan.”

Ibn ‘Arabi meyakini bahwa landasan mistisisme dan perkara Ilahi tegak di atas term: Huwa lâ Huwa (Dia, bukan Dia). Ia berkata, “Barangsiapa yang belum memperoleh hal tersebut dalam bentuk seperti ini, maka ia tidak akan menerima perkara Ilahi sama sekali. Ini adalah bahasa wahyu yang berkata, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (QS Al-Anfâl [8]: 17). Dari sini, kami katakan bahwa akal dan kajian teoretis tidak mungkin sampai pada sesuatu apapun.”

Adapun contoh kedua dalam hal ini adalah hakikat yang muncul adalah bahwa Dia yang menerangi segala sesuatu (Nûr Al-Anwâr: cahaya dari segala cahaya) dan Yang Mahazahir yang merupakan Sumber segala cahaya yang Zat-Nya tetap tersembunyi, bukan terang. Kegelapan murni yang mendahului setiap manifestasi ini adalah maqam Dzât, yang dalam maqam syuhûd disebut Nûr Al-Aswâd (tersembunyi karena terlalu terang).

Atas dasar ini, Ibn ‘Arabi menemukan dirinya sendiri berada di tempat yang berseberangan dengan filsafat yang menegakkan asas-asasnya di atas prinsip Huwa Huwa (Dia adalah Dia), melandaskan rasionalitasnya pada ide penafian kontradiksi, dan mencurahkan tenaga untuk menghilangkan kebingungan karena keyakinan bahwa “Al-Haqq adalah makhluk” dan “Al-Haqq bukan makhluk” pada saat yang bersamaan. Inilah keyakinan yang diingkari dan tidak berguna bagi filosof. Di samping itu, kesimpulan-kesimpulan akal didasarkan pada kaidah kausalitas (‘illiyyah), sedangkan kaidah itu di pentas hakikat adalah kesatuan sebab (‘illah) dan akibat (ma‘lûl). Oleh karena itu, dan karena akal adalah ikatan (‘iqâl), ia terikat dan sekaligus mengikat, sedangkan hati yang ditandai dengan perubahan dan bolak-balik, tidak terikat dengan sesuatu tertentu. Dengan demikian, hati selalu mampu sampai pada sesuatu di balik bingkai akal.

Adapun para pengikut Ibn ‘Arabi, di antaranya adalah Sha’inuddin bin Turkah, Sayid Haidar Al-Amuli, Al-Qaishari, dan Jami‘, berusaha untuk mengompromikan antara mistisisme (syuhûd) dan dan burhân (akal) dengan keyakinan bahwa wahdah al-wujûd dapat dipahami dengan cara-cara yang rasional dan argumentasi melalui beberapa dalil. Mereka menulis banyak risalah yang khusus mengkaji masalah ini dan sebagian besar didukung dengan bukti-bukti demonstratif (burhân). Namun, sebagian besar dalil itu tidak luput dari kelemahan dalam retorika dan kekeliruan di antara kajian-kajian rasional.

Namun, Shadr Al-Muta’allihin—berdasarkan prinsip-prinsip hikmah yang diyakininya—masuk ke dalam masalah ini dan memberikan argumentasi dengan dua cara yang berbeda atas apa yang secara lahiriah diyakini sebagai tidak logis atau bertolak belakang dengan akal. Shadr Al-Muta’allihin termasuk orang-orang yang meyakini bahwa walaupun akal biasa tidak mampu mengetahui masalah ini, tetapi akal transenden dan yang dicerahi cahaya penyingkapan-batin dapat memahami rahasia yang agung itu dan menunaikan hak terhadap objek ini tanpa menjadikan makna yang luhur ini terikat dengan konsep-konsep biasa yang sempit. Pada bab wahdah al-wujûd, Mulla Shadra menunjukkan dengan jelas bahwa pengetahuannya terhadap kenisbian mumkin dan kebinasaan abadi bagi entitas-entitas yang tidak hakiki (majâzî). Termasuk dari akar ilmu ladunni adalah keutamaan dan rahmat yang bersifat Ilahi. Semua itu merupakan penyebab yang menuntunnya pada burhân ‘Arsyî terhadap al-wahdah al-syakhshiyyah bagi wujûd. Adapun pengetahuan tentang hakikat wujûd yang komprehensif hanya dimiliki oleh orang-orang yang diteguhkan dalam ilmu (al-râsikhûna fî al-‘ilm).

Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dua burhân yang dikemukakan Mulla Shadra, pada burhân pertama, ia menunjukkan keabadian atau ketidakterbatasan wujûd Al-Haqq, dan pada burhân kedua, ia menyinggung tentang mengembalikan hubungan kausalitas (‘illiyyah) pada manifestasi. Burhân pertama akan kami bahas di sini, sedangkan burhân kedua akan dibahas ketika membahas tajallî (manifestasi).

Ringkasnya, berkaitan dengan burhân pertama, yaitu yang abadi dan tidak terbatas: sebagaimana tetap dalam burhan para shiddîqîn, wujûd Al-Haqq Swt. tidak terbatas dan hakikat yang tidak terbagi. Wujûd yang tidak terbatas itu tidak menyisakan satu kesempatan pun untuk wujûd yang lain, baik dalam lebar maupun dalam panjang. Jika tidak demikian, niscaya yang lain itu menjadi batasan terhadap wujûd yang tidak terbatas tersebut. Atas dasar ini, tidak ada wujûd yang lain selain wujûd Al-Haqq yang tidak terbatas itu. Untuk menjelaskan masalah ini, kami katakan bahwa keberbilangan dan pertambahan merupakan salah satu tanda dan cabang dari keterbatasan, dan bahwa sesuatu yang lain itu terbatas yang tidak bisa menerima dualitas atau pengulangan. Ini dari satu sisi, sedangkan dari sisi yang lain, menurut burhân ini, setiap kesempurnaan terpisah dari hakikat yang tidak terbagi walaupun tidak terbatas dengan suatu kesempurnaan apapun (ketidakterbagian hakikat adalah segala sesuatu, tetapi sesuatu bukan darinya).

Berdasarkan hal ini, karena Al-Haqq Swt. (Wâjib Wujûd, hakikat yang tidak terbagi) adalah wujûd abadi yang tidak terbatas, dan bahwa yang tidak terbatas itu tidak menyisakan peluang bagi “yang lain”, maka wujûd Al-Haqq pun tidak menyisakan peluang apapun terhadap “yang lain”. Dengan demikian, wujûd hanya terbatas pada-Nya. Dalam burhân ini—seperti ditunjukkan sendiri oleh Mulla Shadra—menyebut “hakikat tidak terbagi” terhadap sesuatu karena serupa dengan predikasi (haml) dzû huwa atau predikasi al-haqîqah wa al-raqîqah akan menjadi harmoni dengan tasykîk al-wujûd. Adapun jika penyebutan dengan predikasi huwa huwa atau predikasi al-zhâhir ‘alâ al-mazhhar, yaitu menganggap suatu kesempurnaan bagi-Nya dan bahwa tidak ada wujûd bagi kesempurnaan apapun selain kesempurnaan-Nya, maka hal itu akan membawa kita pada al-wahdah al-syakhshiyyah li wujûd. Mulla Shadra menyandarkan makna kedua pada burhân ini. Kandungan burhân tersebut dapat dilihat dalam karya-karya syair Fariduddin ‘Aththar dan Jalaluddin Al-Rumi hingga sebelum Mulla Shadra. Siapa saja yang ingin mengetahui lebih jauh, silakan merujuk apda dîwân mereka.

Tajallî

Setelah membuktikan masalah wahdah al-wujûd, dan untuk menghilangkan kontradiksi antara pandangan pluralitas—di satu sisi—dan pembatasan wujûd pada Al-Haqq Swt.—di sisi lain—kita menghadapi salah satu dari dua hal, yaitu pertama, menganggap masalah unitas (wahdah) sebagai masalah yang tidak logis dan bertolak belakang serta tidak bisa dianalisis secara rasional, dan kedua, pluralitas (katsrât) dan mumkinât hanya khayalan dan ilusi belaka. Kemudian, diakui bahwa pengetahuan kita bukan jahl murakkab. Atau, kita mundur sedikit dan menisbahkan wahdah al-wujûd pada kesatuan penyaksian-batin (wahdah al-syuhûd) dan membatasi pada itu saja. Atau—setidaknya—kami kemukakan teori lain untuk menegaskan wahdah al-wujûd dan menunjukkan pluralitas bahwa ia merupakan hal-hal yang nisbi dan mengembalikan hal itu pada satu wujûd milik Al-Haqq. Selanjutnya, dibuktikan suatu jenis keberbilangan pada saat yang sama ketika kamu menegasikan keberlainan (ghairiyyah) dan pluralitas (katsrah) darinya.

Ibn ‘Arabi memiliki cara terakhir tanpa menggunakan istilah tajallî (dalam arti khusus). Sebab, dengan bersandar pada pengalaman-pengalaman mistisnya dalam “menyaksikan manifestsi-manifestasi Al-Haqq pada selain-Nya” menunjukkan unitas, bahwa ia merupakan penjelasan sifat wujûd dan menunjukkan pluralitas bahwa ia merupakan penjelasan sifat syuhûd. Atas dasar ini, Ibn ‘Arabi tidak memandang ilmu sebagai jahl murakkab dan alam sebagai kebatilan dan khayalan semata. Selain itu, ia tidak menisbahkan eksistensi apapun dari alam pada kemutlakan.

Sebagian peneliti melihat bahwa tajallî memainkan peranan asasi dalam kristal pandangan Ibn ‘Arabi, dan bahwa ia merupakan sumber semua pandangan dan pemikirannya yang berkaitan dengan bangunan eksistensi alam ini, dimana sulit memahami bagian mana pun dari bagian-bagian pandangannya yang komprehensif tanpa bantuan konsep yang asasi ini. Ringkasnya, dapat kita katakan bahwa teori tajallî merupakan saripati dan pilar filsafat Ibn ‘Arabi.

Berbeda dengan teori wahdah al-wujûd yang tidak digunakan oleh Ibn ‘Arabi dalam buku-bukunya, kecuali berupa isyarat ringkas, masalah tajallî baginya mengambil langkah dan kedudukan yang tinggi, dimana ia menyinggung dengan jelas berbagai dimensinya dalam setiap baris dalam bukunya. Jarang kita temukan ia memiliki penjelasan yang tidak menunjukkan istilah ini, dan kadang-kadang kita melihatnya lupa menyinggung masalah ini. Pada beberapa pasal dalam buku ini, kita akan melihat bagaimana para pengikut mazhab Ibn ‘Arabi membahas tema pluralitas (katsrah) menurut tiga poros berikut sambil bersandar pada teori tajallî. Tiga poros itu adalah sebagai berikut.
1. Al-Katsrah al-ismiyyah wa al-shifâtiyyah (pluralitas nama dan sifat), yaitu hasil dari tajallî dan kemunculan Zat pada Zat.
2. Pluralitas yang dihasilkan dalam entitas-entitas yang teguh (al-a‘yân al-tsâbitah) sebagai hasil dari al-tajallî al-aqdas.
3. Pluralitas entitas-entitas eksternal (a‘yân al-khârij) dan keberbilangan makhluk, yaitu hasil dari al-tajallî al-muqaddas.

Konsep Tajallî

Yang dimaksud dengan tajallî adalah kemunculan Zat Mutlak Al-Haqq dan kesempurnaan-kesempurnaannya setelah entifikasinya dengan determinasi-determinasi (dzâtiyyah, asmâ’iyyah atau af‘âliyyah)-nya atau yang lainnya dimana tidak mesti menyebabkan adanya kontradiksi, alinasi, inkarnasi atau unifikasi.

Dengan kata lain, tajallî merupakan metode yang memungkinkan bagi Zat Al-Haqq—tidak diketahui dalam esensinya secara mutlak—tercermin dalam hal-hal yang terikat (muqayyadât) dan pluralitas (katsrât). Atas dasar ini, seperti telah kami kemukakan sebelum ini, teori tajallî dianggap sebagai penyempurna teori wahdah al-wujûd dan bertanggung jawab untuk menjelaskan pluralitas entitas yang disaksikan setelah ada keyakinan pada wahdah al-wujûd murni.

Keyakinan ini—dalam dimensi yang berkaitan dengan hubungan Allah Swt. dengan alam semesta—tidak sejalan dengan penciptaan yang berkaitan dengan waktu (penciptaan dari ketiadaan yang diklaim oleh para mutakallim). Hal itu karena penciptaan dari ketiadaan menyebabkan kontradiksi eksistensi Allah Swt. dan alam, di satu sisi, dan demikian pula melewati perjalanan penciptaan, di sisi lain. Keyakinan ini tidak sejalan dengan dua istilah filsafat, kausalitas (‘illiyyah) dan emanasi (faidh) yang didasarkan pada prinsip dualitas (wujûdiyyah [ontologi] atau tasykîkiyyah) antara sebab (‘illah) dan akibat (ma‘lûl). Ia tidak sejalan dengan prinsip inkarnasi (hulûl), unifikasi (ittihâd) dan wahdah al-wujûd yang didasarkan pada aktualisasi dua benda yang masing-masing bercampur dengan yang lain, atau kedua-duanya lebur ke dalam satu hal. Ia juga tidak sejalan dengan prinsip reinkarnasi (tanâsukh) dan materialisasi (tajassud) yang dikemukakan sebagian kelompok dan mazhab, dan yang meyakini inkarnasi eksistensi sesuatu yang berada di luar batasan waktu dan materi dalam materi dan sejarah dalam fase tertentu, dan yang pada akhirnya membawa pada keserupaan (tasybîh) dan penubuhan (tajsîm).

Kebalikan dari teori-teori kausalitas (‘illiyyah), kemunculan (shudûr), penciptaan dari ketiadaan yang berkaitan dengan waktu, inkarnasi, dan unifikasi. Ibn ‘Arabi mengajukan istilah tajallî agar menjadi sentral tempat berporos seluruh metode pemikirannya.
Adapun istilah-istilah yang serupa atau berhubungan dengan tema tajallî dalam mistisisme teoretis adalah izhhâr, zhuhûr, tasya’’un, nisbah, isyrâq, ifâdhah, amr, idhâfah, faidh, dan lain-lain. Dengan demikian, semua itu merupakan kebalikan dari istilah-istilah lain, seperti buthûn, khafâ’, istitâr, tajâfâ, hijâb, dan ghithâ’.

Seperti telah dikemukakan tadi, rumus yang ditetapkan oleh Ibn ‘Arabi bagi tajallî diumpamakan dengan cermin (gambaran cermin atau hubungan cermin) dan yang merupakan perkara hakiki dan sejati tersingkap pada perkara metafora dan insidental tanpa membutuhkan inkarnasi, unfikasi, atau alinasi.

Pembuktian Tajallî

Ibn ‘Arabi meyakini bahwa kemunculan tajallî Al-Haqq termasuk ilmu-ilmu dzauq (bukan iktisâbî dan bukan pula istidlâlî), bahwa pengetahuan tentang manifestasi-manifestasi Ilahi hanyalah satu bagian dari ilmu-ilmu tentang segala rahasia (‘ulûm al-asrâr) yang khusus dimiliki oleh urafa, dan bahwa asas-asas dalam memilih istilah tajallî untuk menggantikan kausalitas (‘illiyyah) dalam filsafat, pada tingkat pertama, berpulang pada pandangan cahaya-cahaya Ilahi di semua penjuru alam, sebagaimana sandaran-sandaran naql merupakan sumber yang cocok bagi urafa untuk mencari istilah tersebut. Ini, terutama ayat 35 dalam Surah Al-Nûr dan beberapa ayat Al-Quran, seperti: Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan (QS Al-A‘râf [7]: 143), dan yang menunjukkan kemunculan khusus Sang Pencipta di atas Gunung Thursina dan goncangan gunung itu yang menyebabkan Musa as. tersungkur pingsan, hingga banyak uapan Imam ‘Ali as. dalam Nahj Al-Balâghah dan beberapa ucapan lain yang semuanya menunjukkan tema ini.

Walaupun pembuktian tajallî merupakan perkara yang berkaitan dengan penyaksian-batin (syuhûd) menurut pandangan Ibn ‘Arabi yan tidak menyusahkan diri dalam mengemukakan dalil terhadap hal itu, tetapi para pengikutnya berusaha untuk memberikan penafsiran rasional bagi tajallî sebagaimana halnya dengan tema wahdah al-wujûd. Tampaknya, Shadr Al-Muta’allihin adalah satu-satunya orang yang diberi taufik terhadap hal itu di antara semua pengikutnya. Hal itu terlihat dalam pembahasan-pembahasan tentang kausalitas yang disinggungnya dalam bukunya yang terkenal, Al-Asfâr.

Berdasarkan metode-metode yang ditempuh oleh Mulla Shadra, dimana ia mengkaji tema-tema itu berdasarkan hal-hal yang sudah dikenal dan masyhur. Lalu pada akhir pembahasan, ia mengajukan metodenya yang khusus berkenaan dengannya secara terpisah untuk mengajukan teorinya dalam tema ini. Oleh karena itu, kita melihat dia membahas kausalitas dalam Al-Asfâr dengan dimulai dari konsep yang umum dri kausalitas (‘illiyyah) dan berdasarkan al-tasykîk al-wujûdî antara al-‘illiyyah al-îjâdiyyah, di satu sisi, dan akibat (ma‘lûl), di sisi lain.

Apa yang ditawarkan filsafat berkisar pada masalah hubungan antara sebab (‘illah) dan akibat (ma‘lûl) yang diumpamakan dalam “sebab menciptakan akibat” (yakni, yang memberinya eksistensi). Tampaknya, asumsi itu mengatakan berlakunya “sesuatu adalah pemberian sesuatu, yaitu eksistensi, pada sesuatu yang lain. Jadi, ada pemberi (mânih), penerima (mamnûh) dan yang diberikan (minhah). Dari proses ini dihasilkan hubungan antara pemberi dan penerima, seperi hubungan-hubungan lain yang terjadi di atnara dua benda. Tetapi berdasarkan analisis ontologis menurut Mulla Shadra tentang masalah kausalitas, ia berkata, “Pertama, hubungan sebab dan akibat adalah dari hubungan illuminisme (idhâfah isyrâqiyyah), yakni hubungan yang menjadi satu sisi dengan sendirinya dan bukan yang bersandar pada dua sisi yang sebagiannya terpisah dari sebagian yang lain (yaitu adanya satu sisi sejati). Kedua, makna akibat (ma‘lûl) dinisbahkan pada adanya pengikat (râbith), bukan pada eksistensi yang dinisbahkan pada sebab (‘illah), tetapi eksistensi yang merepresentasikan hubungan ikatan (ribth) dan keterkaitan dengan sebab (‘illah). Ketiga, sebagaimana kriteria kebutuhan pada ‘illah dan bukan yang dibutuhkan esensinya. Jadi, pemilik akibat (ma‘lûl) adalah kebutuhan itu sendiri. Atas dasar ini, tidak ada esensi bagi akibat di sini, dan ia sendiri tidak memiliki eksistensi dan hukum apapun. Apa yang kami sebut esensi akibat tiada lain adalah esensi (dzât) dalam definisi. Sementara itu, di luar, ia tidak berbeda dengan sebab (‘illah), karena ia luput dari sifat ‘illah. Karena yang tampak (zhâhir) adalah manifestasi (mazhhar). Wajah-Nya (kaidah penyatuan zhâhir dan mazhhar), maka burhân ini juga membawa kita pada wahdah syakhshiyyah dari wujûd.
Kita dpat melihat bahwa eksistensi ikatan pada akibat, menurut Mulla Shadra, merupakan al-wujûd al-harfî, bandingkan dengan makna harfî yang merupakan lawan dari makna ismî. Selanjutnya, segala sesuatu bukan wâjib, baik dalam lebar maupun dalam panjang. Segala sesuatu itu bukan di dalamnya dan bukan pula di luarnya. Oleh karena itu, pada akhir pembahasannya, Mulla Shadra menjelaskan:

“Maka terlepas apa yang yang kami asalkan dari kriteria dalam kapastias sesuatu sebagai sebab (‘illah) dan akibat (ma‘lûl), dan bahwa di dalam wujûd tidak ada sebab dan akibat menurut pandangan yang mulia. Akhir perkara itu menurut sulûk ‘irfânî telah menyebabkan keberadaan ‘illah dari keduanya sebagai perkara hakiki dan ma‘lûl sebagai salah satu sisinya. Saya telah mengembalikan apa yang dinamakan dengan ‘illah dan pengaruhnya terhadap ma‘lûl pada perkembangannya dengan suatu tingkatan dimana sesuatu yang bertolak belakang tidak terpisah darinya.”

Dua Keraguan Seputar Wahdah Al-Wujûd dan Tajallî

Telah muncul banyak keraguan terhadap kajian-kajian tentang wahdah al-wujûd, tajallî dan zhuhûr, pembatasan wujûd pada Al-Haqq semata, dan kenisbian dan ketidakhakikian selain Al-Haqq. Berikut ini akan kami tunjukkan dua keraguan saja yang utama.

1. Penisbahan kekurangan kepada Al-Haqq: Hal itu adalah melalui anggapan segala sesuatu sebagai manifestasi Al-Haqq. Menurut asas kaidah penyatuan zhâhir dan mazhhar, dan sebagaimana disebutkan dalam ucapan Ibn ‘Arabi seperti “Mahasuci Dia yang menampakkan segala sesuatu dan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri” atau beberapa ucapan ekstatik, dan demikian pula penisbahan sifat-sifat mumkinât kepada Al-Haqq Swt. sehingga mendapatkan sifat-sifat kekurangan dan sifat-sifat imkâniyyah, bertentangan dengan akal dan naql.

Jawab: penjelasan sifat alam dalam mistisisme bahwa ia adalah manifestasi keindahan dan keagungan Al-Haqq tidak berarti bahwa Zat Al-Haqq Swt. disifati dengan semua sifat segala sesuatu. Tetapi itu berarti bahwa Dia adalah Agent (Fâ‘il) dan Yang Memanifestasikannya (Muzhhir) sebagaimana halnya dengan nafs yang merupakan asal kejadian alam. Namun, hal itu tidak berarti bahwa ia disifati dengan karakteristisk-karakteristik tersebut. Perlu ditunjukkan bahwa apa yang menyatu dengan segala sesuatu hanyalah manifestasi Al-Haqq, bukan Zat-Nya. Sementara itu, apa yang kita lihat pada msitisisme Ibn ‘Arabi yang kadang-kadang menganggap Al-Haqq dan makhluk (khalq) satu nama dan kadang-kadang dua nama yang berbeda. Hal itu kembali pada apa yang dimaksud dengan Al-Haqq dalam pembahaan ‘ainiyyah. Itu semata-mata adalah haqq al-makhlûq (wujûd tak terbagi atau nafs al-rahmânî). Adapun ketika keduanya berbeda dalam pembahasan keberlainan (ghairiyyah), maka yang dimaksud dengan Al-Haqq adalah Zat Yang Esa yang disucikan dari makhluk, karena Zat itu tidak tampak baik dalam penyaksian sang arif maupun dalam pikiran sang hakîm sehingga dapat dianggap attribute segala sesuatu. Jadi, tindakan Al-Haqq (Al-Nafs Al-Rahmânî) dan manifestasi-Nya yang menyatu dengan segala sesuatu dan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri, ke-Dia-an-Nya berbeda dengan kediaan sesuatu yang lain, walaupun ditandai dengan determinasi apapun, dengan tetap menjaga kemutlakannya. Atas dasar ini, keraguan ini benar bila ditujukan pada teori unifikasi dan inkarnasi, bukan pada pendapat tentang wahdah al-wujûd.

Jalaluddin Al-Rumi telah menjelaskan manifestasi Al-Haqq dengan cahaya matahari atau cahaya bulan yang menerangi segala sesuatu, baik yang rendah maupun yang mulia. Namun, Dia tidak memiliki sifat seperti sifat sesuatu itu dan tidak dibatasi dengannya, tetapi terpelihara ke-Dia-an-Nya. Dan pada akhirnya, matahari itu terbenam dan cahayanya kembali ke asalnya dalam keadaan suci, bersih dan murni dari segala kotoran dan kerendahan.

2. Menghilangkan dua hal yang berlawanan (irtifâ‘ al-naqîdhain). Artinya, jika tidak ada batasan yang memisahkan antara eksistensi (wujûd) dan ketiadaan (‘adam), maka hal itu berarti wajib menyifati zhuhûr dengan salah satu dari dua sifat itu. Karena Dia bukan ketiadaan, maka Dia adalah wujûd. Akibatnya, pluralitas manifestasi kembali pada pluralitas eksistensi, dan hal ini tidak sesuai dengan wahdah syakhshiyyah bagi wujûd.

Jawab: hukum atas sesuatu (bisa dihukumi dengan eksistensi atau ketiadaan) bergantung pada kemandirian sesuatu ini. Namun, sebagaimana makna literal tidak menjadi objek hukum atau attribute, demikian pula halnya dengan pluralitas alam dimana tidak mungkin melihatnya dengan pandangan kebebasan dan menetapkan hukum baginya yang berkenaan dengan apakah ada atau tidak, tetapi dapat dianggap sebagai determinasi-determinasi tindakan Al-Haqq dan manifestasi-manifestasi Ilahi saja. Demikian halnya dengan ciptaan-ciptaan jiwa (nafs) dan segala hal yang berasal darinya, seperti khayalan-khayalan seseorang yang tidak dianggap bukan jiwa dan bukan pula entitasnya, tetapi merupakan salah satu bagian jiwa yang tidak terpisah darinya. Atas dasar ini, pembagian yang dibuat oleh urafa dan yang menyangkut eksistensi (wujûd), zhuhûr dan ketiadaan (‘adam). Ketiadaan adalah salah satu sisi, sedangkan wujûd dan manifestasinya berada di sisi yang lain. Artinya, keberadaan manifestasi tidak kembali menjadi sifat dan tidak memiliki peran atau tindakan dan determinasi apapun dari adanya makna dan ketiadaan, sebagaimana halnya dengan gambar pada cermin, bayangan atau gelombang yang tidak mungkin dianggap sebagai ketiadaan murni (karena tidak ada eksistensi pluralitas dalam ketiadaan) dan tidak pula ada eksistensi bagi pemilik gambar, pemilik bayangan, cahaya, laut, dan sebagainya.