Rabu, 21 Oktober 2009

BAYAZID DAN MURIDNYA


Suatu saat, muridnya itu mengadu kepada Bayazid, “Tuan Guru,

saya sudah beribadat tiga puluh tahun lamanya. Saya shalat setiap malam dan puasa setiap hari, tapi anehnya, saya belum mengalami pengalaman ruhani yang Tuan Guru ceritakan. Saya tak pernah saksikan apa pun yang Tuan gambarkan.” Bayazid menjawab, “Sekiranya kau beribadat selama tiga ratus tahun pun, kau takkan mencapai satu butir pun debu mukasyafah dalam hidupmu.” Murid itu heran, “Mengapa, ya Tuan Guru?” “Karena kau tertutup oleh dirimu,” jawab Bayazid. “Bisakah kau obati aku agar hijab itu tersingkap?” pinta sang murid. “Bisa,” ucap Bayazid, “tapi kau takkan melakukannya.” “Tentu saja akan aku lakukan,” sanggah murid itu. “Baiklah kalau begitu,” kata Bayazid, “sekarang tanggalkan pakaianmu. Sebagai gantinya, pakailah baju yang lusuh, sobek, dan compang-camping. Gantungkan di lehermu kantung berisi kacang. Pergilah kau ke pasar, kumpulkan sebanyak mungkin anak-anak kecil di sana. Katakan pada mereka, “Hai anak- anak, barangsiapa di antara kalian yang mau menampar aku satu kali, aku beri satu kantung kacang.” Lalu datangilah tempat di mana jamaah kamu sering mengagumimu. Katakan juga pada mereka, “Siapa yang mau menampar mukaku, aku beri satu kantung kacang!”

“Subhanallah, masya Allah, lailahailallah,” kata murid itu terkejut. Bayazid berkata, “Jika kalimat-kalimat suci itu diucapkan oleh orang kafir, ia berubah menjadi mukmin. Tapi kalau kalimat itu diucapkan oleh seorang sepertimu, kau berubah dari mukmin menjadi kafir.” Murid itu keheranan, “Mengapa bisa begitu?” Bayazid menjawab, “Karena kelihatannya kau sedang memuji Allah, padahal sebenarnya kau sedang memuji dirimu. Ketika kau katakan: Tuhan mahasuci, seakan- akan kau mensucikan Tuhan padahal kau menonjolkan kesucian dirimu.” “Kalau begitu,” murid itu kembali meminta, “berilah saya nasihat lain.” Bayazid menjawab, “Bukankah aku sudah bilang, kau takkan mampu melakukannya!”

Pelajaran dari cerita tersebut diatas sbb :

Bayazid mengajarkan bahwa orang yang sering beribadat mudah terkena penyakit ujub dan takabur. “Hati-hatilah kalian dengan ujub,” pesan Iblis. Dahulu, Iblis beribadat ribuan tahun kepada Allah. Tetapi karena takaburnya terhadap Adam, Tuhan menjatuhkan Iblis ke derajat yang serendah-rendahnya.

Takabur dapat terjadi karena amal atau kedudukan kita. Kita sering merasa menjadi orang yang penting dan mulia. Bayazid menyuruh kita menjadi orang hina agar ego dan keinginan kita untuk menonjol dan dihormati segera hancur, yang tersisa adalah perasaan tawadhu dan kerendah-hatian. Hanya dengan itu kita bisa mencapai hadirat Allah swt.

Orang-orang yang suka mengaji juga dapat jatuh kepada ujub. Mereka merasa telah memiliki ilmu yang banyak.

Suatu hari, seseorang datang kepada Nabi saw, “Ya Rasulallah, aku rasa aku telah banyak mengetahui syariat Islam. Apakah ada hal lain yang dapat kupegang teguh?” Nabi menjawab, “Katakanlah: Tuhanku Allah, kemudian ber-istiqamah-lah kamu.”

Ujub seringkali terjadi di kalangan orang yang banyak beribadat. Orang sering merasa ibadat yang ia lakukan sudah lebih dari cukup sehingga ia menuntut Tuhan agar membayar pahala amal yang ia lakukan. Ia menganggap ibadat sebagai investasi.

Orang yang gemar beribadat cenderung jatuh pada perasaan tinggi diri. Ibadat dijadikan cara untuk meningkatkan statusnya di tengah masyarakat. Orang itu akan amat tersinggung bila tidak diberikan tempat yang memadai statusnya. Sebagai seorang ahli ibadat, ia ingin disambut dalam setiap majelis dan diberi tempat duduk yang paling utama.

Tulisan ini saya tutup dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnad-nya;

Suatu hari, di depan Rasulullah saw Abu Bakar menceritakan seorang sahabat yang amat rajin ibadatnya. Ketekunannya menakjubkan semua orang. Tapi Rasulullah tak memberikan komentar apa-apa. Para sahabat keheranan. Mereka bertanya-tanya, mengapa Nabi tak menyuruh sahabat yang lain agar mengikuti sahabat ahli ibadat itu. Tiba-tiba orang yang dibicarakan itu lewat di hadapan majelis Nabi. Ia kemudian duduk di tempat itu tanpa mengucapkan salam. Abu Bakar berkata kepada Nabi, “Itulah orang yang tadi
kita bicarakan, ya Rasulallah.” Nabi hanya berkata, “Aku lihat ada bekas sentuhan setan di wajahnya.”

Nabi lalu mendekati orang itu dan bertanya, “Bukankah kalau kamu datang di satu majelis kamu merasa bahwa kamulah orang yang paling salih di majelis itu?” Sahabat yang ditanya menjawab, “Allahumma, na’am. Ya Allah, memang begitulah aku.” Orang itu lalu pergi meninggalkan majelis Nabi.

Setelah itu Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat, “Siapa di antara kalian yang mau membunuh orang itu?” “Aku,” jawab Abu Bakar. Abu Bakar lalu pergi tapi tak berapa lama ia kembali lagi, “Ya Rasulallah, bagaimana mungkin aku membunuhnya? Ia sedang ruku’.” Nabi tetap bertanya,

“Siapa yang mau membunuh orang itu?” Umar bin Khaththab menjawab, “Aku.” Tapi seperti juga Abu Bakar, ia kembali tanpa membunuh orang itu,

“Bagaimana mungkin aku bunuh orang yang sedang bersujud dan meratakan dahinya di atas tanah?” Nabi masih bertanya, “Siapa yang akan membunuh orang itu?” Imam Ali bangkit, “Aku.” Ia lalu keluar dengan membawa pedang dan kembali dengan pedang yang masih bersih, tidak berlumuran darah, “Ia telah pergi, ya Rasulullah.” Nabi kemudian bersabda,

“Sekiranya engkau bunuh dia. Umatku takkan pecah sepeninggalku….”

Dari kisah ini pun kita dapat mengambil hikmah: Selama di tengah-tengah kita masih terdapat orang yang merasa dirinya paling salih, paling berilmu, dan paling benar dalam pendapatnya, pastilah terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin. Nabi memberikan pelajaran bagi umatnya bahwa perasaan ujub akan amal salih yang dimiliki adalah penyebab perpecahan di tengah orang Islam. Ujub menjadi penghalang naiknya manusia ke tingkat yang lebih tinggi.

POTRET KEHIDUPAN PARA ULAMA DALAM MEMANFAATKAN WAKTU.

Nikmat waktu adalah nikmat yang sangat besar, akan tetapi banyak orang yang menyia-nyiakannya dengan menghabiskan untuk keperluan yang kurang penting atau bahkan sia-sia. Berikut sekelumit potret kehidupan para ulama dalam memaksimalkan waktu untuk amal-amal ketaatan.

Ibnu Mas’ud
Beliau salah seorang sahabat yang mulia, beliau pernah berkata, “Aku belum pernah menyesali sesuatu seperti halnya aku menyesali tenggelamnya matahari, dimana usiaku berkurang, namun amal perbuatanku tidak juga bertambah”


Amir bin Abdi Qais
Beliau seorang tabi’in yang zuhud. Ada seorang pria berkata kepadanya, “Berbincang-bincanglah denganku”. Amir bin Abdi Qais menjawab, “Tahanlah matahari” Artinya, “Cobalah hentikan perputaran matahari, jangan biarkan ia berputar, baru aku akan berbincang-bincang denganmu. Karena sesungguhnya waktu ini senantiasa merayap dan bergerak maju, dan setelah berlalu ia tak akan kembali lagi. Maka kerugian akibat tak memanfaatkan waktu adalah jenis kerugian yang tidak dapat diganti atau dicarikan kompensasinya. Karena setiap waktu membutuhkan amal perbuatan sebagai isinya”


Hammad bin Salamah (91 H - 167 H)
Musa bin Isma’il At-Tabudzaki pernah menuturkan, “Kalau aku mengatakan kepada kalian bahwa Hammad bin Salamah tak pernah tertawa, niscaya aku tidak berdusta. Beliau itu memang orang yang sangat sibuk. Kegiatannya hanya meriwayatkan hadits, membaca, bertasbih atau shalat. Beliau membagi-bagi waktu siangnya hanya untuk itu saja”

Muridnya sendiri, Abdurrahman bin Mahdi, pernah menuturkan, “Kalau ada orang yang berkata kepada Hammad bin Salamah, “Engkau akan meninggal besok”, niscaya Beliau tidak akan mampu lagi untuk menambah sedikitpun dalam amalnya”

Yunus bin Al-Mu’addab menegaskan, “Hammad bin Salamah meninggal dunia saat beliau shalat. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya

Muhammad bin Suhnun (202 H-256 H)
Al-Maliki menuturkan, “Muhammad bin Suhnun memiliki seorang sariyyah, budak wanita milik sendiri- yang bernama Ummu Mudam. Suatu hari ia bertandang ke rumahnya. Saat itu beliau sibuk menulis buku di malam hari. Datanglah saat santap malam. Budak itu meminta ijin masuk kamarnya, “Saya sedang sibuk’, ujar Muhammad.

Karena terlalu lama menunggu, maka sang budak menyuapkan makanan itu ke mulut Beliau sampai Beliau mengunyahnya. Hal itu berlangsung lama, dan Beliau tetap dalam kondisi demikan, hingga datang waktu shalat subuh.

“Maaf, aku sangat sibuk sehingga melupakanmu tadi malam wahai Ummu Mudam.Tolong berikan makanan yang engkau tawarkan tadi malam!” Tuanku, demi Allah, aku sudah menyuapkannya ke mulutmu”, ujar budak itu heran. “Lho, kok aku tidak merasakannya?”, tanya Muhammad lebih heran lagi

Ibnul Khayyath An-Nahwi (Wafat tahun 320)
Konon beliau belajar di sepanjang waktu, hingga saat beliau sedang berada di jalanan. Sehingga terkadang beliau terjatuh ke selokan atau tertabrak binatang.

Al-Hakim (Wafat 334 H)
Abu Abdillah bin Al-Hakim Asy-Syahid, putra beliau menuturkan tentang Bapaknya, “Beliau adalah orang yang gemar berpuasa Senin dan Kamis, dan tidak pernah meninggalkan shalat malam saat bepergian dan saat tidak bepergian. Bila duduk, maka pena, buku dan tinta selalu berada ditangannya. Beliau adalah menteri pembantu Sulthan. Ia bisa memberikan izin bertemu Sulthan bila orang itu belum mendapatkan izin. Kemudian beliau sibuk menyusun tulisan ilmiah. Bila sudah demikian, maka orang yang masuk menemuinya pasti hanya berdiri saja. Hal itu dikeluhkan oleh Abul Abbas bin Hammuyah, ‘Kami biasa masuk menemui Beliau, tapi Beliau tidak menyapa kami sedikitpun. Beliau hanya mengambil pena dengan tangannya sendiri, dan membiarkan kami berdiri di pojok rumahnya’.”

Al-Hakim Abu Abdillah Al-Hafizh, penulis Al-Mustadrak, menceritakan, “Aku pernah hadir pada pengajian malam saat Al-Hakim Abul Fadhal mendiktekan hadits. Tiba-tiba masuk Abu Ali bin Abu Bakar bin Al-Muzhaffa, seorang amir. Ia berdiri di dekat Beliau, namu Beliau tak sedikitkpun bergeming dari tempatnya. Kemudian beliau memaksanya keluar dari pintu depan., ‘Hai Amir, pergi saja, hari ini bukan giliran Anda!’”

Begitulah sebagian potret kehidupan ulama dalam memanfaatkan waktu, bagaimana dengan kita?

Sumber: Sungguh Mengagumkan Manajemen Waktu Para Ulama, Syaikh Abdul Fattah. Penerbit: Zam-Zam