Senin, 22 Februari 2010

NASEHAT K.H IMAM ZARKASYI

Inilah Nasehat (alm) KH. Imam Zarkasyi yang “sayang sekali” dilupakan :

  1. Jangan kecil hati menghadapi “masa depan” khususnya dalam hal usaha mencari “sandang – pangan” atau “nafqah hidup”.

Sumber – sumber rizqi masih amat banyak sekali , yang banyak itu mungkin selama ini sudah diketahui, tetapi tidak diperhatikan.

Maka terlebih dahulu kami ingatkan :

Jangan fanatik kepada salah satu pekerjaan, atau salah satu jalan mencari rizqi yang halal itu, sekali lagi jangan fanatic. Kefanatikan kepada sesuatu itulah yang sering menutup mata, sehingga tidak mau
memperhatikan kepada yang lain. Padahal selain yang difanatiki itu,
masih amat banyak, dan lebih baik dan lebih cepat.

Fanatic pasar umpamanya, juga tidak baik. Karena fanatik itu, mata tidak mau melihat pada yang lain, jika yang fanatiki itu terhalang, atau gagal, maka menjadi kecewa. Kecewanya karena sudah fanatic menjadi
terlalu. Terlalu kecewa bisa merusak badan, bisa merusak pikiran, salah
bisa menjadi gila. Begitulah pula terhadap pada sesuatu pekerjaan.

Sekiranya ada yang fanatic menjadi pegawai negeri, maka sekira tidak berhasil, atau berhasilnya kecil, dia merasa dunianya gelap atau sempit.
Ini suatu perasaan dan pendapat yang sangat salah.

Jadi andaikata menemui rintangan atau menemui jalan buntu sama sekali, jangan bingung, dan jangan buta. Bukalah matamu, pandanglah dunia ini masih luas.

  1. Jangan kecil hati menghadapi masa depan (Hidup).

Marilah kita hadapi kehidupan ini dengan segala kesadaran dan keberanian. Jadi namanya berani hidup. Keberanian ini bukan berarti keberanian yang ngawur (asal berani), akan tetapi dengan keberanian yang
sudah diperhitungkan.

Supaya selalu diingat bahwa sumber – sumber rizqi, kunci – kunci usaha masih amat banyak. Sebagian kecil akan kamu lihat dalam rihlah. Meskipun nanti akan kamu lihat beratus – ratus perusahaan tetapi itu
sebagian kecil. Dengan usaha – usaha itu orang bisa berhasil untuk hidup
bahkan bisa sampai menjadi kaya raya.

Mengapa takut hidup ?
Mengapa kecil hati ?

Ingat modalmu cukup :

  1. Tubuhmu masih utuh, tidak kurang.
  2. Otakmu masih waras, bahkan sudah berilmu.
  3. Pribadimu dan kehormatan itu masih utuh, belum tercela.
  4. Sifat kejujuranmu masih utuh pula.

Mengapa takut hidup ?

Sekarang yang kamu bina adalah mentalmu. Mental yang mau bekerja, mental yang tidak cari enak saja.

Mental kejujuran, jadilah “WIRA” dimana saja.

  1. Mencari Bahagia.

Yang biasa pada umunya yang dicari ada ialaha kebahagiaan. Dalam hal ini lebih dahulu kita harus mengerti bahwa kebahagiaan di dunia ada dua :

  1. Kebahagiaan lahir / kemakmuran lahir.
  2. Kebahagiaan batin / Kemakmuran batin.

Untuk mencapai kebahagiaan lahit memerlukan kemakmuran atau kebendaan. Kemakmuran atau kekayaan harta benda, tudak mutlak dapat menjadi kebahagiaan yang sebenarnya.

Orang tidak merasa aman dan tenteram, umpamanya yang selalu terasa terancam atau dikejar – kejar musuh, yang tampak dan yang tidak tampak juga yang tidak putus dirundung kemalangan, berupa penyakit fisik atau
penyakit rohani dan seterusnya, tidak akan dapat merasakan kebahagiaan
yang sebenarnya.

Adapun modal untuk mencari kemakmuran batin ialahh Iman. Didunia ini memang kenyataannnya ada orang kaya yang hartanya banyak dan ada orang miskin atau tidak kaya, hartanya sedikit.

Seorang yang berbudi atau yang mu’min, tidak iri atau dengki, tetapi berkata pada dirinya sendiri :

“Biarkan kami miskin harta, asal jangan miskin jasa”
“Biar kami miskin benda lahiriyah, asal jangan miskin budi, jasa atu amal”.

Seorang mu’min akan merasa bahagia, apabila ia beramal dan merasa bahagia kalau telah dapat untuk kebaikan masyarakat.

Seorang mu’min selalu merasa bersyukur karena menyadari karunia Allah yang amat banyak, atau dirasakn sangat banyak. Jadi setiap hari haruslah bersyukur dan gembira.

  1. Jangan Mengandalkan Orang Tua

Kalau ada orang yang kaya, belum tentu anaknya akan menjadi kaya juga. Kita bisa melihat kenyataan yang sebaliknya didalam masyarakat. Orang tua bisa kaya karena mental dan ilmunya. Apabila mental dan
ilmunya tidak diwariskan bagaimana sang anak akan menjadi kaya.

Barang siapa yang menjadi anaknya orang kaya jangan sembrono,”ojo ndumeh” mentang – mentang anaknya seorang kaya raya akan menjadi kaya juga tidak !! sebaliknya anak orang miskin, dengan mental yang kuat dan
meningkat dan dengan pendidikan kesederhanaannya tidak mustahil akan
menjadi orang yang kaya raya.

  1. Harapan Kami

Adapun harapan kami, setingkat lebih dari itu semuanya. Anak – anakku ini, kami timang – timang kami harap – harapkan dalam bahasa jawanya kami golo – golokan supaya menjadi pemuda yang diandalkan sebagai pemuda
pejuang yang mempunyai rasa tanggung jawab atas kesejahteraan umat dan
kemajuan agama yang tidak untuk diri sendiri.

Dalam kehidupan akan kita temui hama – hama perjuangan, yang lazim berbentuk harta, wanita, tahta atau pangkat. Ini seperti wereng manusia.
Semoga anak – anakku dapat berjuang benar – benar, dapat diandalkan dan
tahan wereng.

Sabtu, 20 Februari 2010

Mengenal Nafs (Jiwa)

oleh : Quito Riantori

Di dalam kitab Mizan al-Hikmah diriwayatkan sebuah hadits bahwa seseorang bernama Majasyi’ datang kepada Rasulullah saww dan bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan menuju pengenalan kepada Allah (al-Haq)?”

Rasul saww menjawab, “Pengenalan diri (nafs)”

Orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara menyesuaikan diri dengan Allah?”

Rasulullah saww menjawab, “Menyelisihi ego (nafs)”
Orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan menuju keridhaan Allah?”

Jawab Nabi, “Membenci ego (nafs)”

Dia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara untuk sampai kepada Allah?”

Jawab Nabi, “Hijrah dari ego (nafs)”.

Orang itu masih bertanya lagi, “Wahai Rasulullah bagaimana jalan untuk taat kepada Allah”

Jawab Nabi, “Menentang ego (nafs)”.

Orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara berdzikir kepada Allah?”,

Jawab Nabi, “Melupakan ego (nafs)”

Dia terus bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara mendekat kepada Allah?”

Jawab Nabi, “Menjauhi ego (nafs)”

Dia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara berakraban dengan Allah?”,

Nabi menjawab, “Melepaskan diri dari ego (nafs)”.

Sampai pada akhirnya orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan untuk mencapai-Nya”

Rasulullah saww menjawab, “Memohon pertolongan kepada Allah di dalam mengatasi ego (nafs)” [1]

Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saww mengajarkan cara berdzikir kepada Allah. Ketika seseorang yang bernama Majasyi’ bertanya kepada beliau, bagaimana cara berdzikir kepada Allah, maka Rasulullah saww menjawab, “Melupakan nafs”. Lalu apakah nafs itu?


APA ITU NAFS?

SALAH satu jalan untuk mencapai Ma’rifatullah atau mengenal Allah adalah Ma’rifat al-Nafs atau mengenal diri. Di dalam hadits yang cukup masyhur di kalangan kaum Irfan atau pun Sufi, Nabi saww pernah bersabda : “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu : “Barangsiapa yang mengenal nafs-nya (dirinya) maka sungguh dia akan mengenal Tuhannya” [2].

Hadits ini secara gamblang menjelaskan keniscayaan pengenalan diri menuju kepada pengenalan kepada Tuhan. Mungkin karena itulah di dalam hadits lainnya Imam Ali as berkata: “Aku heran kepada orang yang tidak (berusaha untuk) mengenal dirinya, bagaimana (mungkin) ia bisa mengenal Tuhannya” [3]

DUALITAS NAFS

SYAHID Ayatullah Murtadha Muthahhari di dalam tulisannya Falsafe Akhlaq mencoba menjelaskan dualitas Nafs. Beliau mengatakan : “Kerap kali Al-Qur’an berbicara tentang Nafs manusia, yang mana manusia harus berperang melawannya, karena kecenderungannya yang buruk, seperti :

“Dan adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri (Nafs) dari hawa-nafs, maka surgalah tempat tinggalnya” (QS 79 : 40), dan ayat lainnya : “Sesungguhnya Nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali Nafs yang mendapatkan ke-Rahim-an Tuhanku” (QS 12 : 53).

Namun di lain ayat, Al-Qur’an menghormati dan menyanjung Nafs : “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada Nafs (diri) mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasiq” (QS 59:19).

Al-Syahid Muthahhari mengatakan : Sekiranya Nafs ini adalah Nafs yang pertama (yang cenderung kepada yang buruk) maka alangkah baiknya jika mereka lupa. Dengan alasan inilah Ayatullah Murtadha Muthahhari membagi nafs menjadi dua macam: Nafs (Diri) Sejati dan Nafs (Diri) Fantasi. Agar lebih mudah dipahami, saya menyebut Diri Sejati dengan Nafs Insani dan Diri Fantasi dengan Nafs Basyari. Saya akan menjelaskan alasan saya nanti.

MAKNA NAFS DAN HUBUNGANNYA DENGAN RUH

Sachiko Murata di dalam bukunya The Tao of Islam juga mencoba menjelaskan makna Nafs secara lebih rinci dan jelas. [4]

Beliau mengatakan bahwa banyak pengarang tidak membedakan antara Nafs dan Ruh. Memang dengan tidak membedakan keduanya kita akan bingung. Karenanya Sachiko Murata berusaha membedakan keduanya dan menjelaskan potensinya masing-masing. Ruh tercipta dari cahaya (nur) dan sebagaimana para malaikat, sepenuhnya terpisah dengan dunia jasadi (materi).

Sebaliknya jasad atau tubuh manusia yang tercipta dari tanah liat bersifat gelap. Sementara Nafs memiliki sifat-sifat dari kedua pihak tersebut dan bertindak sebagai perantara keduanya (Ruh dan Jasad).

Nafs menjadi lembut dan bercahaya ketika menjalin hubungan dengan Ruh, sebaliknya menjadi keras, padat dan gelap ketika menjalin hubungan dengan jasad. Posisi nafs berada di antara Ruh dan Jasad, ia menjadi barzakh (tanah genting) antara keduanya.

Biasanya Nafs dianggap berada pada tingkat yang lebih rendah dari Ruh, karena Ruh berasal lang¬sung dari Tuhan: “Dan telah Kutiupkan ke dalam jasadnya Ruh-Ku” (QS 15:29) Al-Qur’an tidak menyarankan bahwa Nafs manusia dan Tuhan terkait erat, sebagaimana Ruh manusia dengan Tuhan, dalam pengertian bahwa Nafs muncul setelah Ruh, karenanya sering diacu sebagai anak Ruh.

Dari Ruh sifat-sifat Ilahi mengalir kedalam Nafs, seperti sifat-sifat kehidupan, pengetahuan, kehendak (iradah), kekuasaan (qudrah), pembicaraan, pendengaran dan penglihatan. Nafs bersikap reseptif dengan mewujudkan sifat-sifat ini melalui jasad.

Ruh menyuburkan Nafs dan Nafs melahirkan aktivitas-aktivitas jasadi di dunia terlihat. Begitu Ruh dan Nafs hidup dalam keselarasan, yaitu masing-masing menjalankan fungsinya sesuai dengan hubungan itu maka dimensi batin manusia akan merasakan kedamaian.

Sebaliknya jika terjadi kegagalan di dalam mewujudkan keselarasan dan keharmonisan antara Ruh dan Nafs maka manusia akan merasakan kegelisahan atau ketidaknyamanan. Sachiko Murata menggambarkan posisi Ruh, nafs dan jasad dengan mengatakan: “Tuhan adalah langit dan Ruh adalah bumi Ruh adalah langit dan Nafs adalah bumi Nafs adalah langit dan Jasad adalah bumi (The Tao of Islam)

NAFS BASYARI DAN NAFS INSANI

“Dan Nafs serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada Nafs itu kefasikan dan ketaqwaannya” (QS 91:7-8) Ruh Ilahi yang merupakan unsur Ketuhanan menarik Nafs kepada ketaqwaan, sebaliknya Jasad yang mewakili unsur materi menariknya kepada kefasikan.

Jadi seluruh gerak dan tindak tanduk manusia didorong oleh dua macam kekuatan yang berusaha mempengaruhi Nafs tadi. Nafs yang condong kepada Ruh Ilahi mengarahkan aktivitasnya kepada taqwa, inilah yang disebut Nafs Insani. Adapun Nafs yang ditarik oleh unsur jasadinya kepada kefasikan disebut Nafs Basyari.

Nafs Basyari mendorong manusia berbuat dan bertindak berdasarkan kecenderungan jasadinya (fisiknya), seperti makan minum, berhubungan seks dan segala aktivitas yang juga dilakukan oleh hewan.

Karena itu Murtadha Muthahhari juga menyebutnya dengan Nafs hewani (diri hewani). Tatkala Iblis membangkang untuk bersujud kepada Adam, ia berkata: “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia (basyar) yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk!” (QS 15 : 33).

Iblis menggunakan kata basyar mengacu kepada penciptaan jasad manusia. Ia tertipu dan terhijabi oleh kecongkakannya sehingga ia melupakan bahwa manusia telah disempurnakan Allah dengan Ruh-Nya: “Dan telah Kutiupkan ke dalam (jasad)-nya Ruh-Ku”(QS 15:29)

Ada secercah cahaya Ilahi dalam diri manusia. Seluruh manusia termasuk Nabi saww juga sama memiliki kedua macam Nafs ini. Allah SwT memerintahkan kepada Nabi saww untuk mengatakan kepada manusia bahwa dari sisi basyari-nya beliau memang sama seperti manusia lainnya. “Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia (basyar) seperti kamu” (QS 18:110)

Dalam banyak kesempatan Nabi saww berkata kepada khalayak manusia : “Aku ini juga manusia seperti kalian, makan, minum, berkumpul dengan isteri dan berjalan di pasar-pasar”. Namun kita tidak bisa menilai Rasulullah saww hanya dari sisi basyari-nya saja, seperti yang dilakukan oleh kaum Wahabi-Salafi.

Jangan kau seperti Iblis,
Hanya melihat air dan lumpur ketika
memandang Adam. Lihatlah di balik lumpur,
beratus-ratus ribu taman yang indah!

(Mawlawi Rumi, Diwan i Syams 18226)

Menilai Nabi saww atau orang-orang suci hanya dari sisi basyariyahnya saja merupakan suatu kesalahan yang besar dan berbahaya. Anda bisa lihat bagaimana Iblis menilai Adam as, bukanlah dia hanya melihat Adam dari sisi tanah-nya dan melupakan sisi Ruh Allah-nya.

Karena bangga diri dan buta hati
Seperti Iblis, manusia-manusia ini tak lagi memuliakan orang suci
Katanya, “Bagi Tuhan saja, sujud kupersembahkan.”
Pada mereka Adam memberikan jawaban:
“Sujud kepadaku ini untuk-Nya
Kalian melihatnya berupa dua sujud
Karena ketersesatan dan keingkaran!”
(Mawlawi Rumi, Diwan i Syamsi 9605-9606)

Sesungguhnya kecenderungan Nafs Basyari ini tidak seluruhnya buruk. Maksudnya adalah bahwa selama kecenderungan-kecenderungan ini diletakkan pada proporsi yang semestinya, Allah justru memberi pahala untuknya, tetapi jika kecenderungan ini keluar dari batas-batas yang proporsional maka hal inilah yang dicela agama.

Diriwayatkan oleh Abu Dzar ra bahwa para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saww tentang hubungan sebadan antara suami isteri. “Bukankah kita merasakan nikmatnya, ya Rasulullah. Mengapa kita masih mendapat pahala juga?” Beliau menjawab: “Bukankah bila kamu menyalurkannya di jalan yang haram kamu berdosa?” sahabat menjawab, “Ya” Rasul berkata lagi, “Begitu juga kamu akan diberi pahala jika menyalurkannya pada jalan yang halal!” [5]

TARIK MENARIK UNSUR TANAH DAN RUH ALLAH

RUH Allah yang ditiupkan ke dalam jasad manusia merupakan sebuah potensialitas yang mampu menarik Nafs dan mengangkatnya ke puncak kesadaran Ilahiyah. Dengan Ruh Ilahi inilah Nafs sanggup mengadakan mi’raj melalui tafakkur, zikir, dan shalatnya.

Dengan Ruh Allah pulalah Nafs mampu mencapai kesadaran pada keberadaannya yang bergantung pada Khaliq-Nya. Dan dengan kesadaran seperti ini pula Nafs mampu membentuk manusia yang arif, kuat, kreatif, serta memiliki tujuan yang luhur.

Nafs yang mampu mencerap kekuatan ruh Ilahi dan sanggup mengontrol kecenderungan jasadnya, akan mampu menarik manusia ke kesempurnaan Ilahi yang tiada batas. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya” (QS 95:4-5) Kata taqwiim mempunyai asal dan akar kata yang sama dengan al-qawiim yang berarti bagus, benar atau lurus.

Nafs Insani mengarahkan manusia kepada Shirath al-Mustaqim, jalan yang lurus ke kesempurnaan Insaniyyah (al-Jannah). Sebaliknya Nafs Basyari menjatuhkan manusia ke derajat yang paling rendah, Asfala Safilin (serendah-rendahnya derajat).

Tarikan-tarikan yang berlawanan arah inilah yang senantiasa terjadi dalam diri (Nafs) manusia. Karena itu jika manusia yang tidak segera mengambil langkah pasti untuk bermujahadah (berjihad terhadap Nafs basyarinya) niscaya ia akan dihinggapi keraguan. Ia menjadi seperti tangkai pendulum yang berayun-ayun antara ke dua arah itu.

Nafs manusia diberikan kehendak bebas untuk memilih, Ruh Allah (kecenderungan Insani-nya) atau tanah (fisik:kecenderungan basyari-nya) “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (QS 90:10),

“Sesungguhnya beruntunglah manusia yang mensucikan Nafs (diri) nya dan sesungguhnya merugilah dia yang mengotori Nafs-nya” (QS 91:9-10)

Jika manusia sanggup memenuhi panggilan (ilham) Ruh-Nya niscaya ia akan menjadi makhluk Tuhan yang terbaik. Kita bisa melihat manusia-manusia yang telah mencapai kemuliaan ruhani, keagungan, keindahan, kesadaran, kesalihan, keberanian, keimanan, kedermawanan, toleransi yang tinggi serta integri¬tas watak yang menakjubkan.

Tidak ada zat, baik material maupun immaterial, malaikat ataupun jin yang mampu berkembang sedemikian rupa! Namun kita juga bisa melihat manusia-manusia keji, nista, lemah, pengecut, dan kriminal, merosot lebih rendah dan lebih jelek dari hewan, kuman bahkan setan! Lihatlah manusia-manusia semacam Fir’aun, Hitler, Saddam Hussein, George W. Bush, Ehud Olmert, atau bahkan Syimr al-Jausan. “Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi” (QS 7:179)

Nafs yang terseret kepada kecenderungan-kecenderungan basyarinya saja niscaya terselimuti oleh kegelapan. Nafs yang seperti inilah inilah yang wajib dilupakan di dalam hadits di atas yang dikatakan oleh Rasulullah saww.

Di dalam al-Qur’an, Nafs yang terseret kepada kecenderungan basyari yang melampaui batas adalah Nafs Ammarah, atau nafs yang memerintah kepada kejahatan atau pun kemunkaran.

Buanglah seluruh keakuanmu,
karena ia tidak lain adalah rumput liar dan belukar
Pergilah, bersihkan relung hatimu,
tatalah sebagai tempat semayam Sang Kekasih.
Ketika kau beranjak, Dia akan masuk,
dan kepadamu, dengan keakuan yang terbuang,
Dia kan menyingkap Keindahan-Nya.

(Mahmud Syabistari, Kebun Mawar Rahasia h. 112, Gulshan i Raz)

Catatan Kaki :

1. Mizan al-Hikmah 6:142-143

2. Bihar al-Anwar 2 : 32

3. Mizan al-Hikmah 6 : 142

4. Sachiko Murata, The Tao of Islam, Edisi terjemahan, Penerbit Mizan, Cet II
Sepetember 1996

5. Mustadrak al-Wasail 2 : 531

Pembagian Waris Menurut Islam

A. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah

Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah. Rinciannya seperti berikut:

1. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syarat apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separo dari harta yang ditinggalkan istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)

2. Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan pewaris, dengan dua syarat:

  1. Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki, penj.).
  2. Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal. Dalilnya adalah firman Allah: "dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separo harta warisan yang ada". Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan pewaris tidak mendapat bagian setengah.

3. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian separo, dengan tiga syarat:

  1. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki).
  2. Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tersebut sebagai cucu tunggal).
  3. Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.

Dalilnya sama saja dengan dalil bagian anak perempuan (sama dengan nomor 2). Sebab cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki sama kedudukannya dengan anak kandung perempuan bila anak kandung perempuan tidak ada. Maka firman-Nya "yushikumullahu fi auladikum", mencakup anak dan anak laki-laki dari keturunan anak, dan hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama.

4. Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan, dengan tiga syarat:

  1. Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.
  2. Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).
  3. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan, baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan.

Dalilnya adalah firman Allah berikut:

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya ...'" (an-Nisa': 176)

5. Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta warisan peninggalan pewaris, dengan empat syarat:

  1. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.
  2. Apabila ia hanya seorang diri.
  3. Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.
  4. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik anak laki-laki maupun perempuan.

Dalilnya sama dengan Butir 4 (an-Nisa': 176), dan hal ini telah menjadi kesepakatan ulama.

B. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat

Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:



C. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan

Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri, baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain. Dalilnya adalah firman Allah SWT:

"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu ..." (an-Nisa': 12)


D. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga

Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat, dan semuanya terdiri dari wanita:

  1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
  2. Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
  3. Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
  4. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.

Ketentuan ini terikat oleh syarat-syarat seperti berikut:

1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki, yakni anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:
"... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (an-Nisa': 11)

Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam memahami hukum yang ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anak perempuan lebih dari dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini merupakan kesepakatan para ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis Rasulullah terhadap pengaduan istri Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana diungkapkan dalam bab sebelum ini.

Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat itsnataini adalah 'dua anak perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah "anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahi ijma' para ulama. Wallahu a'lam.

2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai berikut:

  1. Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau perempuan.
  2. Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.
  3. Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.

3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan persyaratan sebagai berikut:

  1. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakek.
  2. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai 'ashabah.
  3. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah:

    "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)

4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan syarat sebagai berikut:

  1. Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.
  2. Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara laki-laki seayah.
  3. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan).

Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan bagian dua per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan, hanya di sini (saudara seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Dan dalilnya sama, yaitu ijma' para ulama bahwa ayat "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176) mencakup saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah. Sedangkan saudara perempuan seibu tidaklah termasuk dalam pengertian ayat tersebut. Wallahu a'lam.





E. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga

Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.

Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:

  1. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
  2. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah:

    "... dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..." (an-Nisa': 11)

    Juga firman-Nya:

    "... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam..." (an-Nisa': 11)

Catatan:

Lafazh ikhwatun bila digunakan dalam faraid (ilmu tentang waris) tidak berarti harus bermakna 'tiga atau lebih', sebagaimana makna yang masyhur dalam bahasa Arab --sebagai bentuk jamak. Namun, lafazh ini bermakna 'dua atau lebih'. Sebab dalam bahasa bentuk jamak terkadang digunakan dengan makna 'dua orang'. Misalnya dalam istilah shalat jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua orang, satu sebagai imam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil lain yang menunjukkan kebenaran hal ini adalah firman Allah berikut:

"Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) É" (at-Tahrim: 4)

Kemudian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan mendapat bagian sepertiga dengan syarat sebagai berikut:

  1. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan), juga tidak mempunyai ayah atau kakak.
  2. Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.

    Adapun dalilnya adalah firman Allah:

    "... Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu ..." (an-Nisa': 12)

Catatan

Yang dimaksud dengan kalimat "walahu akhun au ukhtun" dalam ayat tersebut adalah 'saudara seibu'. Sebab Allah SWT telah menjelaskan hukum yang berkaitan dengan saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung dalam akhir surat an-Nisa'. Juga menjelaskan hukum yang berkaitan dengan bagian saudara laki-laki dan perempuan seayah dalam ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "akhun au ukhtun" dalam ayat itu adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu.

Selain itu, ada hal lain yang perlu kita tekankan di sini yakni tentang firman "fahum syurakaa 'u fits tsulutsi" (mereka bersekutu dalam yang sepertiga). Kata bersekutu menunjukkan kebersamaan. Yakni, mereka harus membagi sama di antara saudara laki-laki dan perempuan seibu tanpa membedakan bahwa laki-laki harus memperoleh bagian yang lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya, bagian saudara laki-laki dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas ialah sepertiga, dan pembagiannya sama rata baik yang laki-laki maupun perempuan. Pembagian mereka berbeda dengan bagian para saudara laki-laki/perempuan kandung dan seayah, yang dalam hal ini bagian saudara laki-laki dua kali lipat bagian saudara perempuan.
















Silsilah Nabi Muhammad saw





                            Qushayy
(lahir 400M)
|
+----------------------+----------------------+
| | |
'Abd'l-'Uzza 'Abd Manaf 'Abd'd-Dar
| (lahir 430M)
| |
| +----------+-----------+----------+
Asad | | | |
| Muttalib Hasyim Naufal 'Abd Syams
| (lahir 464M) |
Khuwailid | Umayya
| 'Abd'l-Muttalib |
+----+----+ (lahir 497M) Harb
| | | |
'Awwam Khadijah | Abu Sufyan
| | |
Zubair | Mu'awiya
|
+--------+----------+-------+--+-----------+----------+
| | | | | |
Hamzah 'Abbas 'Abdullah Abu Lahab Abu Talib Harith
(lahir 545M) |
| +----------+----------+
| | | |
MUHAMMAD 'Aqil 'Ali Ja'far
(lahir 570M) | |
| +---+---+
| | |
Muslim Hasan Husain


(versi: Haekal, Ibn Ishaq, Ibn Ishaq lengkap 220Kb)


Tuhan Yang Diciptakan dan Tuhan Yang Sebenarnya


oleh Kautsar Azhari Noer

PADA suatu hari di penghujung 1970-an (saya tidak ingat lagi tahun berapa persisnya) di Direktorat Urusan Agama Hindu dan Buddha, Departemen Agama Republik Indonesia, yang pada waktu itu berlokasi di Jl. M.H. Thamrin, Jakarta, seorang pegawai Direktorat itu yang menganut Buddhisme dan saya sempat berdiskusi secara singkat sekitar konsep tentang Tuhan. Saya memulai diskusi itu dengan mengkritik ketidakjelasan konsep Buddhis tentang Tuhan. Saya mengatakan kepadanya bahwa konsep Buddhis tentang Tuhan tidak jelas. Buku-buku tentang Buddhisme, pada umumnya, tidak memuat uraian dan pembahasan tentang Tuhan. Siddharta Gautama tidak memberikan penjelasan dan doktrin tentang Tuhan. Penolakan Gautama terhadap pembicaraan tentang Tuhan telah "memiskinkan" Buddhisme dalam pembicaraan tentang Tuhan. Buddisme tidak mempunyai konsep yang jelas tentang Tuhan.

Pegawai yang cerdas itu berbalik mengkritik konsep Islam (atau orang-orang Muslim). tentang Tuhan. Ia mengatakan bahwa orang-orang Muslim membuat suatu kesalahan besar dalam memahami Tuhan. Kesalahan itu, menurutnya, terletak pada pemahaman dan kepercayaan orang-orang Muslim bahwa Tuhan adalah "begini" dan "begitu". Orang-orang Muslim mengatakan bahwa Tuhan mempunyai 20 sifat, atau mempunyai 99 nama. Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Raja, Maha Suci, Pemberi bentuk, Pencipta, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan banyak lagi nama-nama atau sifat-sifat lain. Ini berarti bahwa orang-orang Muslim membuat konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan. Mereka mengungkapkan Tuhan yang tidak terbatas dengan kata-kata dan bahasa manusia yang terbatas.

Pegawai itu mengatakan bahwa Tuhan dalam konsep, ide, atau gagasan bukanlah Tuhan yang sebenarnya karena Tuhan yang sebenarnya di luar konsep, ide, atau gagasan. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia, bukan Tuhan yang sebenarnya. Tuhan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa. Tuhan adalah misteri yang tidak dapat diketahui, tidak dapat dipahami, dan tidak dapat dipikirkan oleh akal manusia. Karena itu, Tuhan tidak dapat dikatakan "begini" dan "begitu".

Mendengar kritiknya itu, saya terdiam karena saya tidak dapat membantahnya. Waktu itu saya memang masih menjadi mahasiswa S1 yang sedang merampungkan penulisan skripsi tentang konsep monoteisme dalam agama-agama besar (Yudaisme, Kristen, Islam, Hinduisme, dan Buddhisme), belum menjadi sarjana. Tetapi itu tidak boleh menjadi alasan. Pokoknya, saya tidak berkutik terhadap "pukulan keras" itu. Saya hanya dapat berharap agar saya dapat lebih banyak lagi mempelajari dan memahami persoalan yang saya diskusikan dengan orang itu.

Tulisan yang Anda baca ini ingin mendiskusikan kembali persoalan tersebut. Maka pertanyaan-pertanyaan yang perlu diajukan di sini adalah; Sejauh mana manusia dapat mengetahui Tuhan yang transenden dan absolut itu? Bagaimana pengetahuan manusia yang benar tentang Tuhan? Jika Tuhan tidak dapat dinamai, dibicarakan, dan diungkapkan, bagaimana mungkin manusia dapat mengetahui dan berhubungan dengan-Nya?

A. Tuhan yang Diciptakan

Ibn al-'Arabi (560-638/1165-1240), salah seorang Sufi terbesar, mengkritik orang yang memutlakkan, atau, jika boleh, "menuhankan", kepercayaannya kepada Tuhan, yang menganggap kepercayaannya itu sebagai satu-satunya yang benar dan menyalahkan kepercayaan orang lain. Orang seperti itu memandang bahwa Tuhan yang dipercayainya itu adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan Tuhan yang dipercayai oleh orang lain yang dianggapnya salah. Ibn al-'Arabi menyebut Tuhan yang dipercayai manusia

"Tuhan kepercayaan" (ilah al-mu'taqad), "Tuhan yang dipercayai" (al-ilah al-mu'taqad), "Tuhan dalam kepercayaan" (al-ilah fi al-i'tiqad), "Tuhan kepercayaan" (al-haqq al-i'tiqadi), "Tuhan yang dalam kepercayaan" (al-haqq al-ladzi fi al-mu'taqad), dan "Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan" (al-haqq al-makhluq fi al-i'tiqad).

Kata i'tiqad data mu'taqad, yang dalam tulisan ini diterjemahkan dengan "kepercayaan", berasal dari akar '-q-d, yang berarti merajut, membuhul, mengikat; mengikatkan dengan sebuah buhul; memasang, mengumpulkan, menggabungkan, mengunci; mengecilkan, menyempitkan, mengerutkan; mengarahkan, memusatkan; melengkungkan, melekukkan; bertemu, berkumpul; mengadakan pertemuan, mengadakan rapat, mengumpulkan; membuat perjanjian, mengikat kontrak. Kata i'tiqad sendiri, secara literal (harfiah) atau figuratif (majazi), berarti menjadi terikat atau tersusun dengan kuat. Maka i'tiqad, "kepercayaan", adalah suatu "ikatan" yang diikat dengan kuat dalam kalbu atau pikiran, sebuah keyakinan bahwa sesuatu adalah benar. Bagi Ibn al-'Arabi, "kepercayaan" adalah sebuah (peng)ikatan (binding) dan (pem)batasan (delimitation) Wujud Yang Tak Terbatas, Wujud Absolut (al-wujud al-muthlaq), yang dilakukan oleh dan berlangsung dalam subyek manusiawi.

Kepercayaan seorang hamba kepada Tuhannya ditentukan dan diwarnai oleh kapasitas pengetahuan sang hamba. Kapasitas pengetahuan itu tergantung kepada "kesiapan partikular" (al-isti'dad al-juz'i) masing-masing individu hamba sebagai bentuk penampakan "kesiapan universal" (al-isti'dad al-kulli) atau "kesiapan azali" (al-isti'dad al-azali) yang telah ada sejak azali dalam "entitas-entitas permanen" (al-a'yan al-tsabitah), yang merupakan bentuk penampakan diri (tajalli) al-Haqq (yaitu Tuhan). Tuhan menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya sesuai dengan kesiapan sang hamba untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang akhirnya "diikat" atau "dibatasi" oleh dan dalam kepercayaannya sesuai dengan pengetahuan yang dicapainya. Dengan demikian, Tuhan yang diketahui oleh sang hamba adalah identik dengan Tuhan dalam kepercayaannya. Dapat pula dikatakan bahwa Tuhan yang diketahuinya adalah identik dengan kepercayaannya.

Tuhan memberikan kesiapan (al-isti'dad), sesuai dengan firman-Nya, "Dia memberi segala sesuatu ciptaannya" [Q. s.Thaha/20:50]. Maka Dia mengangkat hijab antara Dia dan hamba-Nya. Sang hamba melihat-Nya dalam bentuk kepercayaannya; jadi Tuhan adalah identik dengan kepercayaannya sendiri. Baik kalbu maupun mata tidak pernah melihat sesuatu kecuali bentuk kepercayaannya tentang Tuhan. Tuhan yang ada dalam kepercayaan itu adalah Tuhan yang bentuk-Nya diliputi oleh kalbu; itulah Tuhan yang menampakkan diri-Nya kepada kalbu sehingga Dia dikenal. Maka mata tidak melihat selain Tuhan kepercayaan.163

"Tuhan kepercayaan" adalah gambar atau bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia sesuai dengan kemampuan, pengetahuan, penangkapan, dan persepsinya. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang "ditempatkan" oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide, atau gagasannya dan "diikat"-nya dalam dan dengan kepercayaannya. "Bentuk", "gambar", atau "wajah" Tuhan seperti itu ditentukan atau diwarnai oleh pengetahuan, penangkapan, dan persepsi manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Apa yang diketahui diwarnai oleh apa yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan al-Junayd, Ibn al-'Arabi berkata: "Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya" (Lawn al ma' lawn ina'ihi). Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadits qudsi berkata: "Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku" (Ana 'inda zhann 'abdi bi).164 Tuhan disangka, bukan diketahui. Dengan kata lain, Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan tidak diketahui dan tidak dapat diketahui.

Menarik untuk memperhatikan lanjutan firman Tuhan dalam hadits qudsi yang dikutip ini, yaitu: "Maka hendaklah ia [sang hamba] bersangka baik tentang Aku" (Fal-yazhunn bi khayran).

Tuhan menyuruh agar kita bersangka baik tentang Dia dalam setiap keadaan dan melarang kita bersangka buruk tentang Dia.165 Kita harus menjadikan sangkaan kita sebagai pengetahuan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Penolong, dan Maha Pengampun. Kita tidak boleh bersangka bahwa Tuhan adalah "pengawas yang selalu mencari kesalahan", "petugas keamanan yang kasar dan galak", atau "tuan besar yang bengis". Sangkaan baik tentang Tuhan mendorong kita untuk mendekati dan mencintai-Nya agar kita mendapat rahmat-Nya. Nabi s.a.w. berkata: "Rahmat Tuhan mendahului (mengalahkan) murka-Nya". Sangkaan buruk tentang Tuhan membuat kita jauh dari-Nya, menyalahkan-Nya, dan akhirnya berputus asa. Tuhan tidak menyenangi orang-orang yang berputus asa.

Kritik Ibn al-'Arabi terhadap orang yang memutlakkan Tuhan dalam kepercayaannya, Tuhan yang diciptakannya dalam kepercayaannya, mengikatkan kita kepada kritik Xenophanes (kira-kira 570-480 SM), seorang filsuf Yunani, terhadap antropomorfisme Tuhan, atau tuhan-tuhan. Kritik tokoh dari Kolophon, Asia Kecil, ini berbunyi sebagai berikut:

Seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan pandai menggambar seperti manusia, tentu kuda akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai kuda, sapi akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan dengan demikian mereka akan mengenakan rupa yang sama kepada tuhan-tuhan seperti terdapat pada mereka sendiri. Orang Etiopia mempunyai tuhan-tuhan hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang Trasia mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka bermata biru dan berambut merah.166

Sebagaimana dikatakan di atas, "Tuhan kepercayaan" adalah Tuhan ciptaan manusia. Barangsiapa yang memuji ciptaannya memuji dirinya sendiri. Ibn al-'Arabi berkata:

Tuhan kepercayaan adalah ciptaan bagi yang mempersepsinya. Dia adalah ciptaannya. Karena itu, pujiannya kepada apa yang dipercayainya adalah pujiannya kepada dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa ia mencela kepercayaan orang lain. Jika ia menyadari [persoalan yang sebenarnya], tentu ia tidak akan berbuat demikian itu. Tidak diragukan bahwa pemilik obyek penyembahan khusus itu adalah bodoh tentang itu karena penolakannya terhadap apa yang dipercayai oleh orang lain tentang Allah. Jika ia mengetahui apa yang dikatakan oleh al-Junayd, "Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya", ia akan memperkenankan apa yang dipercayai setiap orang yang mempunyai kepercayaan dan mengakui Tuhan dalam setiap bentuk dan dalam setiap kepercayaan.167

Teori Ibn al-'Arabi tentang "Tuhan kepercayaan" didasarkan pula kepada sebuah hadits Nabi s.a.w. tentang penampakan diri Tuhan (tajalli al-haqq) pada hari kiamat.168 Nabi menceritakan bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan diri-Nya kepada umat manusia dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan ditolak oleh setiap orang yang tidak mengenalnya dan akan diterima oleh setiap orang yang mengenalnya. Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari bahwa sebenarnya Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu dan sama; itu juga, tidak lain.

Pandangan Ibn al-'Arabi ini sesuai dengan larangan Nabi s.a.w. agar para sahabatnya tidak menyalahkan seorang awam yang pernah mengatakan kepada beliau di hadapan mereka bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas. Para sahabat mempersoalkan kepercayaan orang awam itu karena Tuhan berada di mana saja, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Tetapi Nabi memandang bahwa "sangkaan" orang awam itu tentang Tuhan sudah memadai baginya. Nabi sendiri pernah berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan dikasihi oleh siapa yang di langit" (Irham man fi al-ardi, yarham-ka man fi al-sama'). Yang dimaksud dengan "siapayang di langit" dalam hadits ini adalah Tuhan. Tuhan berada di langit. Dengan alasan ini, dapat dikatakan bahwa Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah "Tuhan Langit" ("the Sky God"), "Tuhan Surgawi" [karena surga berada di langit] ("the Heavenly God"), atau "Wujud Tertinggi Samawi" ("the Celestial Supreme Being"). Langit adalah simbol ketinggian, keagungan, keindahan, dan keabadian. Karena itu, langit dijadikan simbol Tuhan. Simbol bukan menunjukkan dirinya sendiri, tetapi menunjukkan sesuatu yang lain di luar dirinya. Simbol Tuhan bukanlah Tuhan, tetapi menunjukkan Tuhan.

Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah seorang "laki-laki", atau, lebih tepatnya, disimbolkan dengan seorang "laki-laki". Tuhan dalam kepercayaan Islam, seperti Tuhan dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah Huwa ("He"), bukan Hiya ("She"). Tuhan dalam kepercayaan Islam selalu dipahami dengan kata-kata maskulin. (Pandangan yang menekankan aspek maskulin Tuhan atau memahami Tuhan sebagai "Tuhan Laki-Laki" seperti ini ditentang oleh teologi feminis radikal yang menekankan aspek feminin Tuhan atau memandang Tuhan sebagai "Tuhan Perempuan"). Dengan demikian, Tuhan dalam kepercayaan Islam, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah seorang "person," seorang "pribadi". Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa Tuhan agama-agama monoteistik atau teistik, termasuk Islam, adalah "personal", "berpribadi". Tuhan dalam arti ini bukan "impersonal", bukan "tak-berpribadi", dan, karena itu, Dia bukan "Itu" ("It").

Pengaruh kebudayaan terhadap bentuk atau tipe kepercayaan kepada Tuhan, terhadap "Tuhan kepercayaan", dibuktikan oleh sejarah agama agama. Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan patriarkal pastoral, yang berkebudayaan perayahan yang hidup dengan menggembala, berbeda dengan Tuhan dalam kepercayaan orang-orang yang berkebudayaan matriarkal agrikultural, yang berkebudayaan peribuan yang hidup dengan bertani. Bapa Samawi atau Bapa Surgawi adalah Tuhan tipikal orang-orang nomad yang hidup dari hasil kawanan ternak mereka; kawanan ternak itu hidup di padang rumput, dan pada gilirannya padang rumput tergantung kepada hujan dari langit. Ibu Bumi atau Ibu Pertiwi adalah Tuhan tipikal para petani yang hidup dari hasil tanah atau bumi.169 Dalam kebudayaan patriarkal pastoral, biasanya bapa dan langit dijadikan sebagai simbol Tuhan. Dalam kebudayaan matriarkal agrikultural, ibu dan bumi sering dijadikan sebagai simbol Tuhan. Agama-agama Semitik lebih cenderung kepada kebudayaan tipe pertama. Bukankah agama-agama Semitik, karena diturunkan dari langit, sering disebut "agama-agama samawi", "agama-agama langit?" Dalam ketiga agama ini, karena "Tuhan berada di langit", maka ungkapan-ungkapan simbolis, seperti "turun dari langit", "naik ke langit", dan "berada di langit", lazim digunakan untuk melukiskan peristiwa-peristiwa sakral dan pengalaman-pengalaman spritual.

Sekali lagi, semua deskripsi dan ungkapan ini adalah simbol (yang menunjukkan) Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Di mata kaum monoteis, kekeliruan kaum politeis terletak pada penuhanan mereka akan simbol-simbol seperti langit, matahari, bulan, dan bumi. Kaum politeis tidak lagi sepenuhnya bertuhan kepada Tuhan, tetapi telah bertuhan kepada simbol-simbol.

Di mata Ibn al-'Arabi, orang yang menyalahkan atau mencela kepercayaan-kepercayaan lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh karena Tuhan dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, karena Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Orang seperti itu mengakui hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berbeda itu adalah satu dan sama. Kritik Ibn al-'Arabi ini, jika harus konsisten, tertuju kepada setiap orang yang mencela kepercayaan-kepercayaan lain yang berbeda dengan kepercayaannya tentang Tuhan, baik dalam lingkungan orang-orang yang seagama dengannya maupun dalam lingkungan orang-orang yang berbeda agama.

Ibn al-'Arabi memperingatkan kita sebagai berikut:

Maka berhati-hatilah agar anda tidak mengikatkan diri kepada ikatan ('aqd) [yaitu kepercayaan, doktrin, dogma, atau ajaran] tertentu dan mengingkari ikatan lain yang mana pun, karena dengan demikian itu anda akan kehilangan kebaikan yang banyak; sebenarnya anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu yang sebenarnya. Karena itu, hendaklah anda menerima sepenuhnya semua bentuk kepercayaan-kepercayaan, karena Allah Ta'ala terlalu luas dan terlalu besar untuk dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata: "Kemana pun kamu berpaling, di situ ada wajah Allah", [Q 2:115] tanpa menyebutkan arah tertentu mana pun.170

Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut Sufi dari Andalusia ini, adalah pengetahuan yang tidak terikat oleh bentuk kepercayaan atau agama tertentu. Inilah pengetahuan yang dimiliki oleh "para gnostik" (al- 'arifun). Karena itu, "para gnostik", yaitu para Sufi, tidak pernah menolak Tuhan dalam kepercayaan, sekte, aliran, atau agama apa pun. Ini berarti bahwa Tuhan, bagi mereka, dalam semua kepercayaan, sekte, aliran, atau agama, adalah satu dan sama. Kata Ibn al-'Arabi, "Barangsiapa yang membebaskan-Nya [yaitu Tuhan] dari pembatasan tidak akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap bentuk tempat Dia mengubah diri-Nya."171

B. Tuhan Yang Sebenarnya

Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, tidak diketahui dan tidak dapat diketahui oleh akal manusia. Tuhan dalam arti ini oleh Ibn al-'Arabi disebut "Tuhan Yang Sebenarnya", "the Real God" (al-ilah al-haqq) "Tuhan Yang Absolut", "the Absolute God" (al-ilah al-muthlaq); dan "Tuhan Yang Tidak Diketahui", "the Unknown God" (al-ilah al-majhul). Tuhan dalam arti ini adalah munazzah (tidak dapat dibandingkan [dengan alam], sama sekali berbeda dengan alam, transenden terhadap alam. "Tidak sesuatu pun serupa dengan-Nya" (Q., s. al-Syura/42:11). "Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya, tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan" (Q., s. al-An'am/6: 103). Itulah Tuhan yang tidak bisa dipahami dan dihampiri secara absolut, yang sering disebut Dzat Tuhan. Itulah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya yang terlepas dari semua sifat dan relasi yang dapat dipahami manusia. Dia adalah "yang paling tidak tentu dari semua yang tidak tentu", "yang palingtidak diketahui dari semua yang tidak diketahui" (ankar al-nakirat). Dia adalah selama-lamanya suatu misteri, yang oleh Ibn al-'Arabi disebut "Misteri Yang Absolut" (al-ghayb al-muthlaq) atau "Misteri Yang Paling Suci" (al-ghayb al-aqdas). Dilihat dari sudut penampakan diri (tajalli) Tuhan, dikatakan bahwa Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya adalah pada tingkat "keesaan" (ahadiyah).

Karena Tuhan, yaitu Dzat Tuhan, tidak dapat diketahui oleh siapa pun, maka Nabi s.a.w. melarang orang-orang beriman untuk memikirkan Tuhan. Beliau bersabda: "Berpikirlah, tentang ciptaan Allah, tetapi jangan berpikir tentang Dzat Allah." Hadits ini cukup terkenal di kalangan orang-orang yang mempelajari ilmu tawhid. Larangan ini diperkuat oleh Ibn al-'Arabi dengan firman Tuhan yang berbunyi: "Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya" (Q., s. Alu 'Imran/3:28). Ibn al-'Arabi menegaskan sebagai berikut:

Berpikir (fikr) tidak mempunyai hukum dan daerah kekuasaan dalam [mengetahui, atau memahami] Zat al-Haqq, baik secara rasional maupun menurut Syara'. Syara' telah melarang berpikir tentang Zat Allah. Inilah yang disinggung oleh firman-Nya, "Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya," [Q., s. Alu 'Imran/3: 28] yaitu "Jangan kamu berpikir tentang-Nya [Zat-Nya)!" Larangan ini ditetapkan karena tidak ada hubungan antara Zat al-Haqq dan zat al-khalq.172

Dari segi diri-Nya, Zat Tuhan tidak mempunyai nama, karena Dzat itu bukanlah lokus efek dan bukan pula diketahui oleh siapa pun. Tidak ada nama yang menunjukkannya yang terlepas dari hubungan dan bukan pula dengan pengukuhan. Nama-nama berfungsi untuk pemberitahuan dan pembedaan, tetapi pintu [untuk mengetahui Zat Tuhan] dilarang bagi siapa pun selain Allah, karena tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah.173

Ibn al-'Arabi mengecam orang-orang yang melanggar larangan berpikir tentang Zat Tuhan dan menuduh mereka telah menambah kesalahan dengan al-khawdl (melakukan upaya spekulasi besar-besaran dan serampangan). Ia memandang bahwa upaya mereka itu adalah sia-sia.

Pandangan bahwa Tuhan tidak dapat diketahui ditemukan pula dalam Bibel. Salah satu bagian Kitab Suci ini mengatakan bahwa Tuhan, meskipun hadir dalam alam dan manusia, adalah misteri yang tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Ketika Nabi Musa berada di Gunung Sinai, ia melihat dan menyaksikan dalam semak-semak yang menyala (tetapi tidak dimakan api) Kehadiran Tuhan yang memerintahkannya untuk menghadapi Fir'awn dan membebaskan bangsa Israel dari raja yang zalim itu. Lalu, Musa bertanya kepada Tuhan tentang nama-Nya untuk mengetahui siapa diri-Nya, Tuhan menjawab:

"Ehyeh asyer Ehyeh" (Keluaran 3:14). Terjemahan yang biasa dari ungkapan Ehyeh asyer Ehyeh adalah "Aku adalah Aku" ("I am that I am") atau "Aku akan jadi Aku" ("I will be that I will be"). Leo Schaya, seorang sarjana terkemuka tentang Kabbalisme (mistisisme Yahudi), menafsirkan bahwa Kehadiran Zat yang esa itu menyatakan diri-Nya kepada Musa sebagai Ehyeh, "Wujud ('Being') yang esa dan universal," sebagai "Wujud yang adalah Wujud" ("Being that is Being' (Ehyeh asyer Ehyeh), di luar dan di dalam seluruh eksistensi. Tetapi Ia juga menyatakan kepadanya [yaitu Musa] bahwa Ia bukan hanya Zat dan Prinsip eksistensi, tetapi secara serentak tetap dalam keadaan pada diri-Nya, dalam Supra-Wujud atau Bukan-Wujud Nya --yang dalam Kabbalah disebut Ain, "Ketiadaan" ilahi (the divine "Nothingness").174

Kaum Kabbalis, dalam keinginan besar mereka untuk menekankan ketakterpahaman (incomprehensibilty) Tuhan pergi begitu jauh sehingga mereka berbicara tentang Tuhan sebagai 'Ayn --"Dia Yang Bukanlah", "Dia Yang adalah Bukan" ("He Who is Not")-- yaitu untuk mengatakan bahwa sesungguhnya orang tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan ada [dan tentu pula sebaliknya tidak dapat mengatakan bahwa Tuhan tidak ada], karena mengatakan demikian adalah juga suatu deskripsi tentang yang tidak dapat dideskripsikan.175

Jawaban Tuhan tersebut, Ehyeh asyer Ehyeh, menunjukkan bahwa diri-Nya tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Karena itu, Musa diperingatkan oleh Tuhan agar tidak bertanya tentang diri-Nya, Dzat-Nya.

Catatan kaki:

163 Ibn al-'Arabi, Fushush al-Hikam, diedit oleh Abu al-'Ali' Afifi, 2 bagian (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1980), 1:121.

164 Fushush, 1:225-226.

165 Ibn al-'Arabi, al-Futhuhat al-Makkiyah, 4 vol. (Beirut: Daral-Fikr, t.th.), 4:446.

166 H. Diels W. Kram, Die Fragmente der Vorsokratiker, Griechisch und Deutsch, 3 vol. (Berlin, 1934-1937), fr. 15-16. Kedua fragmen ini dikutip oleh K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius,1989), h. 40.

167 Fushush,1:226.

168 Lihat Muslim, al-Shahih, Kitab al-Imam, no. 302 (Kairo: Muhammad 'Ali Shabih,1334/1916), 1:114-117. Bandingkan dengan Ibn al-'Arabi, Futuhat, 1:314; 2:311; idem, Fushush, 1:184.

169 Raffaele Pettazzoni, "The Supreme Being: Phenomenological Structure and Historical Development," dalam Mircea Eliade and Joseph M. Kitagawa, eds.., The History of Religion: Essays in Methodology (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1959, Seventh Impression, 1974), h. 64-65; Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama: Pengantar Psikologi Agama (Jakarta: Leppenas,1982), h. 36-37; idem, Psikologi Agama: Bapa & Ibu sebagai Simbol Allah (Yogyakarta & Jakarta: Gunung Mulia & Kanisius,1983), h. 43-45.

170 Fushush,1:113.

171 Fushush, 1:121.

172 Futuhat, 2:30.

173 Futuhat, 2:69.

174 Leo Schaya, "Contemplation and Action in Judaism and Islam," dalam Yusuf Ibish and Ileana Marculescu, eds., Contemplation and Action in World Religions (Seattle and London: Rothko Chapel, 1978), h.165.

175 Rabbi Louis Jacobs, We Have Reason to Believe (London: Vallentine, Mitchell, 1965), h.14.

Yang diketahui oleh manusia adalah perbuatan-perbuatan atau karya-karya Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Ini berarti bahwa Tuhan hanya bisa diketahui melalui perbuatan-perbuatan-Nya, tidak pernah diketahui sebagai Dia pada diri-Nya. Ketika Musa memohon kepada Tuhan agar memperlihatkan kemuliaanNya, Dia berfirman:

"Engkau tidak akan bisa memandang wajah-Ku, karena tidak ada orang yang bisa memandang wajah-Ku dan bisa hidup." Tuhan berfirman: "Ada suatu tempat dekat-Ku, tempat engkau dapat berdiri di atas batu. Apabila kemuliaanKu lewat, maka Aku akan menempatkan engkau dalam lekuk batu itu dan Aku akan menutupi engkau dengan tangan-Ku sehingga Aku lewat. Lalu, Aku akan menarik tangan-Ku, dan engkau akan melihat belakang-Ku, tetapi wajah-Ku tidak akan terlihat" (Keluaran 33:20-23).

Dalam Perjanjian Baru, tradisi mistis ini, meskipun tidak begitu tegas, mempunyai akar yang dapat tumbuh dengan subur dan kuat. St. Yohanes mengatakan: "Tidak seorang pun melihat Tuhan kapan saja" (Yohanes 1:18). Surat Paulus kepada Timotius membicarakan Tuhan "yang bersemayam dalam cahaya yang tak terhampiri. Tidak seorang pun pernah melihat-Nya; dan memang tidak seorang pun bisa pernah melihat-Nya" (1 Timotius 6:16). Ungkapan Paulus kepada Timotius ini, yang ditemukan menjelang akhir periode Perjanjian Baru dan menunjukkan pengaruh pemikiran Yunani, seperti dikatakan Bede Griffiths, menyatakan transendensi absolut Ketuhanan (Godhead). Ini telah dikembangkan oleh para bapa Yunani dalam konteks konsep tentang ketakterpahaman (incomprhensibility) Tuhan.176

Pandangan yang menekankan penegasian pengetahuan tentang Tuhan dikenal dalam, bahkan sangat akrab dengan, tradisi-tradisi keagamaan Timur, seperti Hinduisme dan Taoisme. Upanisad, Kitab Suci Hindu, mengatakan:

Dia yang tidak terlihat oleh mata, yang tidak terucapkan oleh lidah, dan yang tidak tertangkap oleh pikiran. Dia yang tidak kita ketahui, juga yang tidak mampu kita ajari. Berbedalah Dia dengan yang diketahui, dan berbedalah Dia dengan yang tidak diketahui. Demikian kita ketahui dari sang bijak. Yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata tetapi dengan-Nya lidah berbicara ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak dipahami oleh pikiran tetapi dengan-Nya pikiran memahami --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak dilihat oleh mata tetapi dengan-Nya mata melihat --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak didengar oleh telinga tetapi dengan-Nya telinga mendengar --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Yang tidak ditarik oleh nafas tetapi dengan-Nya nafas ditarik --ketahuilah itu adalah Brahman. Brahman bukanlah wujud yang disembah manusia. Jika engkau mengira bahwa engkau mengetahui dengan baik kebenaran Brahman, ketahuilah bahwa engkau mengetahui [hanya] sedikit. Apa yang anda kira sebagai Brahman pada diri anda, atau apa yang anda kira sebagai Brahman dalam tuhan-tuhan [atau dewa-dewa] --itu bukanlah Brahman" (Kena Upanisad).

Karena Brahman tidak dapat diungkapkan oleh apa pun dan selalu di luar kata-kata dan di luar pemikiran, maka Brihadaranyaka Upanisad mengatakan bahwa Brahman mustahil dibicarakan. Brahman adalah "bukan ini, bukan ini", "bukan ini, bukan itu" ("neti, neti"). Brahman tidak dapat dikatakan bagaimana, tidak bersifat ("nirguna"). Karena itu, Brahman pada tingkat ini disebut "nirguna Brahman". Pada tingkat ini Dia adalah Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya.

Prolog Tao Te Ching, Kitab Suci Taois, yang biasanya dianggap ditulis oleh Lao-Tze, dibuka dengan kata-kata: "Tao yang dapat dibicarakan bukanlah Tao yang sebenarnya atau kekal. Nama-nama yang dapat disebutkan bukanlah nama yang sebenarnya atau kekal" (Tao Te Ching 1:1). Chuang-Tze, penulis Cina abad keempat SM, dengan nada yang sama mengatakan:

Tao Yang Agung tidak dinamai/dinamakan;
Diskriminasi-diskriminasi Yang Agung tidak dibicarakan;
Kemurahan Hati Yang Agung bukanlah murah hati;
Kerendahan Hati Yang Agung bukanlah rendah hati;
Keberanian Yang Agung bukanlah menyerang;
Jika Tao dijelaskan, itu bukanlah Tao.
(Chuang-Tze, Bab 2)

Kutipan-kutipan ini menunjukkan bahwa Tao tidak dapat diungkapkan dan dijelaskan dengan kata-kata; Ia adalah di luar bahasa. Itulah Tao yang sebenarnya, yang merupakan Yang Absolut dalam keabsolutan-Nya. Yang Absolut itu oleh Laot-Tze disebut "Misteri di belakang segala misteri" ("hsuan chih yu hsuan") dan oleh Chuang-Tze disebut "Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa", "No-No-Nothing", atau "Bukan-Bukan-Bukan-Wujud", "Non-Non-Non-Being" ("wu-wu-wu"). "Tiada-Tiada-Tiada-Apa-apa" adalah Tao atau "Tiada-Apa-apa metafisis yang bukan suatu 'tiada-apa-apa' yang sederhana, tetapi suatu TiadaApa-apa yang berada di seberang 'wujud' dan 'bukan-wujud' sebagaimana biasanya dipahami".177 Yang Absolut dalam kebsolutan-Nya seperti ini dalam Sufisme Ibn al-'Arabi disebut "Misteri Yang Absolut" dan "Misteri Yang Paling Suci", dalam mistisisme Kristen disebut "Ketuhanan", dan dalam tradisi Hindu disebut "nirguna Brahman".

C. Teologi Apofatik

Dalam konteks ini, salah satu persoalan teologis-mistis yang selalu menggoda untuk dijawab adalah cara mendekati dan mencintai Tuhan. Bagaimana mungkin kita dapat mendekati dan mencintai Tuhan yang tidak diketahui? Bagaimana mungkin Tuhan yang sama sekali berbeda dengan alam dan manusia dapat hadir dalam alam dan manusia? Bagimana mungkin Tuhan yang transenden terhadap alam dan manusia adalah immanen dalam alam dan manusia? Menurut Thomas Merton (1915-1968), seorang teolog dan mistikus Katolik Roma berkebangsaan Amerika, para teolog mistis menghadapi persoalan ini sebagai persoalan "mengatakan apa yang sesungguhnya tidak dapat dikatakan" ("saying what cannot really be said").178 Persoalan ini dapat pula dideskripsikan dengan ungkapan-ungkapan paradoksikal lain, seperti membicarakan yang tidak dapat dibicarakan" ("speaking of the unspeakable"),179 "mengetahui Tuhan Yang Tidak Dapat Diketahui" ("knowing the Unknowable God"),180 "menamai yang tidak dapat dinamai," "menamakan apa yang tidak dapat dinamakan" ("naming the unnamable"),181 "mengungkapkan yang tidak dapat diungkapkan" ("expressing the inexpressible"),182 "memikirkan yang tidak dapat dipikirkan" ("thinking of the unthinkable"), "memahami yang tidak dapat dipahami" ("comprehending the incomprehensible"), "membayangkan yang tidak dapat dibayangkan" ("conceiving the unconceivable"), dan "melukiskan yang tidak dapat dilukiskan" ("describing the indescribable").

Salah satu cara terbaik untuk memecahkan persoalan ini adalah dengan suatu teologi yang disebut "teologi apofatik" ("apophatic theology"), teologi "tidak mengetahui" (the theology of "unknowing"), yang melukiskan pengalaman transenden tentang Tuhan dalam cinta sebagai suatu "mengetahui dengan tidak mengetahui" ("knowing by unknowing") dan suatu "melihat yang bukan melihat" ("seeing that is not seeing").183 Seorang mistikus dan penulis spiritual Inggris abad keempatbelas, penulis anonim The Cloud of Unknowing, adalah salah satu contoh terbaik wakil teologi apofatik karena kecenderungan teologinya itu menekankan bahwa Tuhan paling baik diketahui dengan penegasian: "kita dapat mengetahui lebih banyak tentang apa yang bukan Tuhan ketimbang tentang apa yang adalah Dia" ("we can know much more about what God is not than about what He is").184 Penulis The Cloud of Unknowing itu dengan konstan menggunakan tema paradoksikal "mengetahui" dan "tidak mengetahui." Menjelang bagian akhir karyanya itu, ia menegaskan intisari pandangan apofatiknya dengan mengutip kata-kata Dionysius orang Areopagus (St. Denis), "Dan karena itu St. Denis berkata, 'Mengetahui yang paling saleh [paling tinggi] akan Tuhan adalah [mengetahui] yang dikenal dengan tidak mengetahui'" ("And therefore St. Denis said 'The most godly knowing of God is that which is known by unknowing'").185

William Johnston, seorang Yesuit, memberikan sebuah komentar yang menarik tentang tema paradoksikal ini. Ia berkata: "Kita mengetahui Tuhan, namun tidak mengetahui-Nya; kita mengetahui-Nya dengan tidak mengetahui; kita mengetahui-Nya dalam kegelapan; kita mengetahui-Nya dengan cinta".186 Bagi penulis The Cloud of the Unknowing, Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Meskipun jiwa manusia tidak dapat menembus misteri Tuhan dengan pemahaman rasional, ia dapat bersatu dengan-Nya dengan cinta. "Karena mengapa, Dia [yaitu Tuhan] dapat dicintai dengan baik, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Dia dapat dicapai dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak".187 Menurut mistikus Inggris anonim ini, jika sang hamba mengosongkan pikirannya dari segala sesuatu dan segala gambaran, akan tumbuh dalam kalbunya "getaran buta dari cinta" ("the blind stirring of love") yang menembus "awan tidak mengetahui", "awan ketidaktahuan" ("The Cloud of Unknowing"), yang membawa sang hamba kepada suatu pengetahuan yang suprakonsepsual dan gelap; itulah kebijakan tertinggi.

Penulis The Cloud of Unknowing sangat dipengaruhi oleh Diosynisius orang Areopagus, yang menurut penelitian belakangan adalah seorang rahib Siria yang hidup pada ujung abad kelima dan permulaan abad keenam Masehi. Dionysius memandang bahwa pengetahuan rasional tentang Tuhan, baik dengan cara afirmatif maupun dengan cara negatif (meskipun yang terakhir ini ditekankannya karena ia menegaskan transendensi Tuhan), tidak memadai. Ia memilih pengetahuan mistis, yang menurut pandangannya lebih tinggi dari pengetahuan rasional yang diperoleh melalui spekulasi teologis dan filosofis dengan menggunakan akal. Pengetahuan mistis adalah pengetahuan yang diperoleh sebagai anugerah dari Tuhan. Pengetahuan mistis seperti ini tidak ditemukan dalam buku-buku, tidak juga diperoleh dengan usaha manusia, karena ia adalah suatu pemberian ilahi. Bagaimana pun, manusia dapat mempersiapkan diri menerimanya dengan doa dan penyucian.

Karena indera dan intelek manusia tidak mampu mencapai Tuhan, indera dan intelek harus "dikosongkan" dari semua makhluk dan disucikan supaya Tuhan dapat menuangkan cahaya-Nya ke dalam indera dan intelek itu. Dalam arti ini, indera dan intelek berada dalam kegelapan sempurna dalam hubungan dengan segala ciptaan tetapi pada saat yang sama dipenuhi dengan cahaya dari Tuhan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa "Kegelapan Ilahi" (the "Divine Darkness') adalah cahaya yang tidak dapat dihampiri yang dikatakan di dalamnya Tuhan bersemayam". Ketika semua daya dikosongkan dari semua pengetahuan manusiawi, maka berkuasalah dalam jiwa suatu "keheningan mistik" ("mystic silence") yang membawanya kepada klimaks, yaitu kesatuan dengan Tuhan dan visi tentang Dia sebagai Dia pada diri-Nya".188 Pengetahuan seperti ini adalah pengetahuan ilahi tentang Tuhan yang berlangsung dengan "tidak mengetahui" ("unknowing") atau "ketidaktahuan" ("ignorance"), yang berarti bahwa sang hamba harus mencampakkan pengetahuan konsepsual manusiawi untuk menerima pengetahuan anugerah ilahi.

Bagi Dionysius, satu-satunya jalan mengetahui Tuhan adalah dengan "tidak mengetahui", dengan menyeberang di luar konsep, di luar pikiran rasional dan dengan menerima suatu sinar "kegelapan ilahi". Mistikus ini menyerukan agar sang pencari Tuhan melepaskan diri dari persepsi, imaginasi, dugaan, nama, pembahasan, pemahaman, pemikiran, dan segala sesuatu yang membelenggu dan menjauhkannya dari jalan menuju Tuhan, agar sang pencari memasuki "kegelapan ilahi" yang melebihi segala sesuatu dan "mengetahui dengan tidak mengetahui".

Teologi apofatik Dionysius ini menjadi dasar mistisisme apofatik Kristen di kemudian hari. Pengaruh mistikus ini dapat ditemukan, misalnya, pada Maximus Sang "Confessor", Yohanes Scotus Erigena, Thomas Aquinas, Bonaventura, Dante, dan Penulis The Cloud of Unknowing.

Bagaimana tradisi mistis Yahudi memecahkan persoalan teologis yang rumit ini? Kaum Kabbalis, seperti dikemukan di atas, memandang bahwa Tuhan adalah rahasia yang tidak dapat dipahami oleh manusia. Namun, roh manusia, atau wujud rohani manusia, mampu membenamkan dirinya dalam jurang yang dalam sekali tanpa alas dari "Ketiadaan" ilahi. Ketika Musa melihat Kehadiran Tuhan di Gunung Sinai, ia mencapai pengalaman rohani seperti itu; "ketika ia naik selangkah demi selangkah sehingga masuk ke dalam kegelapan awan Tuhan".189 Ketika itu Musa menutup matanya kepada semua pengetahuan positif, menyingkirkan semua pikiran dan penglihatan, karena ia sepenuhnya milik Dia yang tidak terjangkau oleh pikiran dan penglihatan, sehingga ia bersatu dengan Dia yang tidak dapat ditangkap oleh pengetahuan. Itulah yang oleh kaum Kabbalis disebut bittul ha-yesy, "kemusnahan eksistensi" dalam Ain, "Ketiadaan" ilahi, yang berarti kemusnahan pikiran manusiawi dan "kontemplasi tentang Ketiadaan"190 Pengalaman spiritual seperti itu tidak dapat diperoleh melalui pikiran, tetapi diperoleh melalui pertolongan Tuhan. Agar pertolongan itu diperoleh, seseorang harus memusnahkan pikiran dan pada saat yang sama harus melakukan kontemplasi tentang Ketiadaan.

Bahasa apofatisme yang jauh lebih tua dapat ditemukan dalam Upanisad. Suatu bagian Kitab Suci ini berbunyi: "Orang yang dengan benar mengetahui Brahman adalah orang yang mengetahui-Nya sebagai di luar pengetahuan; orang yang mengira bahwa ia mengetahui[-Nya], tidak mengetahui. Orang bodoh mengira bahwa Brahman diketahui, tetapi orang bijak mengetahui-Nya di seberang pengetahuan" (Kena). Ini berarti bahwa pengetahuan yang benar tentang Tuhan adalah pengetahuan negatif: "mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya."

Menurut Ibn al-'Arabi, pengetahuan tentang Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat Tuhan, harus diperoleh dengan "peniadaan pengetahuan". Ini berarti bahwa mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya; pengetahuan positif tentang Tuhan adalah mustahil. Ia berkata: "Orang yang tidak mempunyai pengetahuan membayangkan bahwa ia mengetahui Tuhan, itu tidak betul", karena "pengetahuan kita tentang Tuhan adalah mustahil". "Orang yang mengetahui Tuhan tidak melampaui batas tingkatnya sendiri. Ia mengetahui apa yang ia ketahui bahwa ia adalah salah seorang di antara orang-orang yang tidak mengetahui".191

Dengan berkali-kali mengutip perkataan Abu Bakr r.a., Ibn al-'Arabi berkata: "Ketidakmampuan mencapai persepsi adalah persepsi" ["Ketidakmampuan mencapai pengetahuan adalah pengetahuan"] (Al-'ajz 'an dark al-idrak idrak).192 Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib yang tidak dapat diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa ia tidak dapat mengetahui Tuhan adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah orang yang bijak. Orang yang menganggap bahwa ia mengetahui Tuhan adalah orang yang tidak mengetahui-Nya; itulah orang yang bodoh. Bukankah Tuhan telah berfirman: "Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya [yaitu Tuhan], tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan" (Q., s: al-An'am/6:103)?

D. Catatan Akhir

Teologi apofatik menegaskan kemustahilan pengetahuan manusia tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya, Tuhan yang sebenarnya. Pengetahuan yang benar dan tertinggi tentang Tuhan adalah pengetahuan dengan "tidak mengetahui" atau "ketidaktahuan" karena Tuhan di luar jangkauan pengetahuan manusia dan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata dan bahasa manusia. Pengetahuan seperti ini tidak dapat diperoleh dengan pikiran, tetapi adalah pemberian Tuhan kepada hamba-Nya yang telah mempersiapkan diri untuk menerimanya dengan doa dan penyucian. Seperti disebut di atas, penulis The Cloud of Unknowing mengatakan bahwa Tuhan dapat dicintai, tetapi tidak dapat dipikirkan. Dengan cinta Tuhan dapat dihampiri dan dipegang, tetapi dengan pikiran tidak. Tuhan bukan untuk dipikirkan dengan akal, tetapi untuk dicintai dan "dirasakan" dengan Kalbu (qalb).

Semua orang yang percaya kepada Tuhan tentu saja ingin mencintai Tuhan. Cinta seorang hamba kepada Tuhan pasti dibalas. Tuhan mencintai hamba yang mencintai-Nya. Jika sang hamba mencintai Tuhan, ia harus mengikuti Tuhan dan panutan yang diutus-Nya. Tuhan berfirman: "Katakanlah: 'Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, nicaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah adalah Maha Pengampun dan Maya Penyayang." (Q. s. Alu 'Imran/3:31). "Aku menunjukkan cinta-Ku kepada beribu-ribu generasi, yaitu orang-orang yang mencintai-Ku dan mematuhi hukum-hukum-Ku." (Keluaran 20:6). Yesus menyerukan: "Jika kamu menuruti perintah-perintahku, kamu akan tetap dalam cintaku, seperti aku menuruti perintah-perintah Bapaku dan tetap dalam cinta-Nya" (Yohanes 15:10).

Cinta vertikal antara sang hamba dan Tuhannya tidak akan terwujud jika tidak disertai dengan cinta horisontal antara sang hamba dan sesamanya. Seperti disebutkan di atas, Nabi berkata: "Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan dikasihi oleh siapa yang di langit". Pada kesempatan lain beliau berkata: "Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri". Yesus membenarkan perkataan seorang ahli Taurat: "Cintailah tetanggamu seperti mencintai dirimu sendiri." (Lukas 10: 27).

Teologi apofatik, atau mistisisme apofatik, adalah suatu cara berpikir atau aktivitas mental yang digunakan oleh banyak mistikus atau Sufi untuk menempuh perjalanan menuju Tuhan dan sekaligus untuk menyuarakan protes keras terhadap kelancangan dan keangkuhan para teolog dan para filsuf yang menganggap bahwa mereka mempunyai konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan sebagaimana Dia pada diri-Nya. Teologi apofatik adalah peringatan bagi orang yang mereduksi Tuhan menjadi sesuatu yang rasional belaka. Teologi apofatik menunjukkan bahwa orang yang memandang bahwa dengan nalarnya ia mempunyai pengetahuan yang memadai tentang Tuhan adalah orang yang membatasi Tuhan dalam bentuk khusus menurut pengertian yang ditentukan oleh akalnya. Padahal Tuhan tidak dapat dibatasi. Bentuk Tuhan yang ditangkapnya adalah bentuk yang dicocokkan dengan "kotak" akalnya. Ia menolak bentuk Tuhan yang tidak cocok dengan bentuk dan ukuran "kotak" akalnya. Ia menyalahkan orang lain yang mempercayai Tuhan dalam bentuk lain. Ia tidak menerima apa pun sebagai kebenaran jika bertentangan dengan akalnya. Ia telah mempertuhankan akalnya. Orang seperti ini, kata Ibn al-'Arabi, adalah "hamba nalar" ('abd nazhar), bukan "hamba Rabb" ('abd rabb).

Wa 'l-Lah-u a'lam-u bi 'l-shawab.

Catatan kaki:

176 Bede Griffiths, A New Vision of Reality (Springfield, Illinois: Templegate,1990), h. 163-164.

177 Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosiphical Concepts (Los Angeles: University of California Press, 1983), 376, 379; idem, The Concept and Reality of Existence (Tokyo: The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971), h. 48-49.

178 Thomas Merton, "Foreword," dalam William Johnston, The Mysticism of The Cloud of Unknowing (Wheathampstead Hertfordshire, England: Anthony Clarke, 1978), h. viii.

179 Leszek Kolakowski, Religion (New York & Oxford: Oxford University Press, 1982), h. 161-206; James P. Carse, The Silence of God: Meditations on Prayer (New York: Macmillan, 1985), h. 9.

180 David B, Burrell, Knowing the Unknowable God: Ibn-Sina, Maimonides, Aquinas (Notre Dame, Indiana University of Notre Dame Press, 1986).

181 Samuel Rayan, "Naming the Unnamable," dalam Robert P. Scharlemann, ed., Naming God (New York: Paragon House, 1985), h. 3-28.

182 Martin Palmer, The Elements of Taoism (Brisbane Queensland: Element, 1993), h. 3; James P. Carse, The Silence of God, h. 9.

183 Thomas Merton, loc. cit. Kata "apofatik" ("apophatic") digunakan oleh Dionysius yang membicarakan "teologi negatif," sebagai lawan "teologi positif".

184 W. Johnston, op.cit., h.1.

185 The Cloud of Unknowing, edited by Justin McCann (London: Burns and Oates, Ltd., 1952), 125:11.

186 W. Johnston, op.cit, h.17.

187 The Cloud of Unknowing, 26;3.

188 W. Johnston, op.cit, h. 33-34.

189 Leo Schaya, op.cit, h.166.

190 Ibid.

191 Futuhat, 2:552.

192 Futuhat, 2:619; 3:132.