Minggu, 31 Mei 2009

REFORMASI INTELEKTUAL : Jalan menuju 'Kemerdekaan' Mahasiswa

DEWASA ini reformasi telah menjadi sebuah istilah yang gaungnya menggelegar menggema diseluruh persada nusantara, bak gemuruh yang setiap waktu siap menghancurkan dan menghentikan pelbagai kesombongan dan ketidakadilan. Mahasiswa, cendikiawan, seniman, rakyat, birokrat, dan tukang becak pun berbondong-bondong membonceng kata reformasi untuk mendesakkan harapannya. Sayang, reformasi yang merupakan mutiara tersebut kerapkali dijadikan tunggangan pihak-pihak tertentu demi vested interest. Sehingga mutiara yang indah, mengkilap, bersih, dan berharga tersebut sesekali bisa berubah seketika menjadi sebuah istilah yang menyeramkan, dan tidak mustahil bisa membuka peluang untuk timbulnya dan kesewenang-wenangan.
Kita terkadang tidak bisa lagi melihat reformasi sebagai suatu proses dialektika berpikir ke arah yang lebih baik, ke dalam suatu perubahan hakiki dari hal-hal yang tidak demokratis menuju hal-hal yang demokratis, dari orde penindasan ke orde kemanusiaan dan dari keterbelakangan menuju kemajuan. Fenomena tersebut diperparah dengan terbentuknya gelombang reformasi yang dielu-elukan berbagai lapisan masyarakat yang cenderung tidak dipahami secara proporsional sehingga terkesan anrkis. Argumentasi dan pertimbangan emosional, bahkan kerangka moralitas dan rasionalitas sebagai basic ( dasar ) pijakan terciptanya perubahan sosio-politik sudah tidak signifikan lagi keberadaannya. Terbukti semua pihak berlomba-lomba mencari prestise politik dengan memanfaatkan kondisi lingkungan yang represif.
Melihat gejolak reformasi yang tengah mengalami laissez fire ( Kebebasan yang tidak terkendali ) ini, perlu kiranya ada sebuah bentuk usaha untuk menggiringnya pada situasi yang demokratis, kondusif, dan penuh pengertian banyak pihak. Di satu pihak pemerintah sebagai objek sentral dari tuntutan perubahan hendaknya selalu mengusahakan secara sungguh-sungguh apa-apa yang menjadi harapan masyarakat yang kemudian meminimalisir kecurigaan psikologis yang berbuntut fitnah. Di lain fihak masyarakat mesti jeli menyikapi setiap dinamika sosial dan memfilter arus informasi yang berkembang. Ini penting dalam menyelaraskan reformasi tersebut dengan harapan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan menghindarkan dari tindakan-tindakan yang menghalalkan segala cara dengan mendompleng kedok reformasi.

Reformasi intelektual
Adalah sangat paradoks, ketika kita bicara reformasi dalam lingkup yang luas (nasional), sementara dalam realitas kehidupan keseharian kita terdapat pelbagai ketimpangan, penindasan, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mengutip lagu Roma Irama bahwa hal tersebut laksana semut di seberang lautan jelas kelihatan dan gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Mungkin bisa di katakan sebagai manusia yang kurang normal jika kita tidak mampu melihat gajah tersebut secara jelas. Entah kalau kita sudah terjebak penyakit "rabun" reformasi . Masih mending kita dihinggapi oleh "rabun" cantik, sehingga tidak mudah tergoda oleh yang cantik-cantik. Tetapi tatkala "rabun" reformasi menghinggapi diri kita, apa boleh dikata moralitas kita perlu dipertanyakan, kemanusiaan dan harga diri kita perlu dikonstruksi kembali.
Mengenai agenda reformasi ini ada beberapa aspek strategis yang luput dari perhatian dan ingatan kita. Aspek-aspek tersebut adalah aspek intelektual yang perlu di implementasikan melalui reformasi Intelektual. Berkenaan dengan reformasi ini, masih belum banyak kalangan yang concern dengan agenda reformasi intelektual. Padahal disadari betul bahwa tidak mungkin bangsa ini akan bangkit kembali jika tidak ditangani oleh mereka yang mempunyai kualitas intelektual tinggi. Bangsa kita masa mendatang membutuhkan kader-kader yang profesional. Yang diharapkan lahir dari dunia perguruan tinggi, yaitu kampus.
Merupakan tugas berat dari setiap institusi perguruan tinggi untuk membenahi basic intelektual para mahasiswanya. Salah satunya adalah membuka peluang selebar-lebarnya terhadap mahasiswa untuk selalu mempertajam daya pikir, sikap kritis dengan senantiasa berpegang terhadap nilai-nilai moralitas. Ini sangat urgent dilakukan untuk menghindari pelbagai kepentingan yang selalu mencari peluang untuk memanfaatkan gerakan mahasiswa.
Secara konseptual, reformasi intelektual dapat dimulai dengan beberapa strategi dengan secepatnya melakukan langkah-langkah sebagai berikut : Pertama, pihak perguruan tinggi sudah semestinya memposisikan lembaga-lembaga kemahasiswaan (mahasiswa) sebagai partner group dalam membangun progresivitas institusi kampus. Dalam hal ini pihak rektorat, pembantu rektor, dekan, pembantu dekan, dan dosen harus mampu menempatkan kedudukannya pada posisi yang seharusnya, yakni sebagai peran pendidik baik secara langsung atau pun tidak merupakan kewajibannya untuk selalu mengarahkan mahasiswa sebagai peserta didik dalam rel berpikir kritis.
Dari kontribusi pemikiran para dosen diharapkan mahasiswa tercetak sebagai golongan cerdik pandai sesuai dengan cita-cita tridarma perguruan tinggi, dan tercapainya sasaran tujuan pendidikan nasional. Yakni pendidikan sebagai usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan( kualitas ), serta kedewasaan yang dilakukan di dalam dan di luar kampus, yang berlangsung seumur hidup (GBHN 1973 PS. 3 ) .
Kedua, pihak rektor, pimpinan fakultas harus memberikan kebebasan sekaligus peluang kepada mahasiswa untuk selalu berdialektika dengan berbagai pihak seperti tokoh-tokoh kritis, dimana selama rezim orde baru yang di mulai dari periode Daud Joesoep dengan NKK/BKK (Normalisasi kehidupan kampus/ Badan Koordinasi kehidupan Kampus ), terkesan dianggap tabu untuk mengundang tokoh-tokoh kritis tersebut. Ketiga, hindarkan struktur kelembagaan perguruan tinggi yang cenderung menghambat daya kritis mahasiswa. Ini dibuktikan tatkala tahun 1983 Nugroho Notosusanto mengeluarkan ide institusionalisasi dan profesionalisasi melalui transpolitisasi kehidupan kampus. Dengan kebijakan tersebut berarti mahasiswa tidak menemukan kebebasan dalam mengekspresi potensi intelektualnya lantaran terkooptasi oleh aturan-aturan perguruan tinggi.
Berbeda dengan tahun 66 sampai era Dewan Mahasiswa ( DEMA ) dimana mahasiswa memiliki kebesan penuh dalam mepresentasikan peran sosialnya atau yang kemudian dikenal dengan Student Govertment. Dengan konsep Dema ini, kampus menemukan faktor dominannya untuk mensikapi berbagai dinamika yang terjadi menyangkut kepentingan rakyat dalam negara. Mahasiswa kembali menemukan jati dirinya, sedangkan selama ini eksistensi mahasiswa kerapkali dipertanyakan, karena mahasiswa dianggap bukan insan berkepribadian lagi, setelah hilangnya sikap idealismenya.
Kalau kita telaah kedudukan mahasiswa dalam dekade orde baru terutama ketika dikeluarkannya SK No. 0457/ U/ 1990 tentang pedoman umum organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi yang jelas-jelas memberangus kebebasan mahasiswa atau diposisikannya rektor sebagai penanggungjawab satu-satunya di perguruan tinggi.
Keempat, pihak perguruan tinggi harus memperhatikan fasilitas-fasiulitas penunjang bagi terwujudnya kader intelektual, seperti halnya perpustakaan kampus yang refresentatif. Ini dapat ditempuh dengan selalu melengkapi rak-rak perpustakaan kampus dengan buku-buku yang lengkap, referensi terbaru, atau buku-buku langka yang membantu mendukung kearah meningkatnya ilmu pengetahuan dan wawasan berpikir mahasiswa. Sebab matinya perpustakaan menunjukan matinya intelektualitas mahasiswa.
Kelima, mahasiswa hendaknya menghidupkan kembali kelompok-kelompok diskusi, pengkajian-pengkajian, dan enelitian-penelitian ilmiah. Disamping itu transfer informasi dari berbagai kalangan perguruan tinggi melalui media-media seperti pers mahasiswa, internet, dan lain-lain sangat memiliki akses besar untuk menambah daya kritis mahasiswa.
Bentuk strategi tersebut di atas adalah sebagai upaya untuk menuingkatkan kualitas mahasiswa, sehingga tidak ada anggapan sinis bahwa mahasiswa Indonesia, sebagian atau mayoritas alumni perguruan tinggi menjadi ""sarjana Traumatik " , karena keilmuan dan keterampilan yang dimilikinya dirasakan tidak mumpuni tatkala dihadapkan pada persoalan-persoalan riil yang terjadi di masyarakat. Hal ini karena adanya penyimpangan orientasi perguruan tinggi dan mahasiswa itu sendiri ke arah birokrasi bukan kearah keilmuan.

Tetapi perlu di ingat bahwa reformasi intelektual dimaksud bukan untuk memarjinalisasi sikap kritis, daya inovatif dan kreativitas mahasiswa. Justru dengan intelektualitas yang memadai yang ditunjang dengan pemahaman-pemahaman yang proporsional akan lebih membuka mata hati terhadap masyarakat. Di sisi lain reformasi intelektual tersebut tidak menafikan masalah sosio-politik, artinya partisipasi aktif mahasiswa dalam kehidupan sosial politik bisa saja dilakukan asalkan pada konteks dan kedudukannya sebagai mahasiswa dimana setiap langkah, gerakannya adalah dalam rangka memperjuangkan nilai-nilai moralitas bangsa dan negara, sebagai social control.
Jadi penulis beranggapan bahwa demonstrasi adalah salah satu dari cermin intelektualitas mahasiswa, jika demonstrasi itu berada pada posisi demi membela kepentingan rakyat. Maka dari itu penulis tidak sepakat jika ada anggapan bahwa silahkan boleh bicara politik dari rel akademis bahkan secara ilmiah tetapi jangan sampai demo-demoan. Pendapat ini jelas merupakan kunci mati mahasiswa dalam berpartisifasi aktif dalam kehidupan sosial politik. Jika pendapat diatas menjadi sebuah legalitas dan berbentuk kebijakan-kebijakan seperti halnya pernah dilakukan Mendikbud Nugroho Notosusanto tentang Transpolitisasi kampus, maka akan menciptakan kader-kader bangsa yang kurang antisifatif terhadap lingkungannya, kurang mempunyai kepedulian sosial dan rasa keprihatinan akan yang mendalam terhadap kondisi bangsanya.****