Rabu, 23 Desember 2009

CERITA MENUJU AWAL PENCERAHAN

MULLAH NASHRUDDIN 1
(CERITA MENUJU AWAL PENCERAHAN)
Kala Anda sampai di samudera,
Anda tidak akan berbicara tentang arus sungai.
(Hakim Sanai, The Walled Garden of Truth)

Mullah (guru) Nashruddin adalah sosok klasik yang dirancang oleh para darwis;
sebagian untuk tujuan pemberhentian (jeda) karena situasi-situasi sesaat dimana
didalamnya keadaan-keadaan tertentu dari jiwa dibuat jelas. Kisah-kisah
Nashruddin, dikenal secara menyeluruh di Timur Tengah, merupakan (dalam
manuskrip The Subtleties of the Incomparable Nasrudin) satu dari sejumlah
pencapaian ganjil (ajaib) di dalam sejarah metafisika. Namun, secara dangkal
kisah-kisah Nashruddin lebih sering dikenal sebagai kisah humor atau bahan
lelucon. Kisah-kisah itu diceritakan kembali tanpa henti di warung-warung teh dan
di rombongan-rombongan pertunjukan, di rumah-rumah dan di siaran-siaran radio
Asia. Tetapi dalam cerita Nashruddin itu inheren untuk dipahami adanya
kedalaman makna. Terdapat lelucon, moral dan kelebihan lainnya yang membawa
kesadaran sedikit lebih jauh menuju proses penyadaran dari kekuatan spiritual
yang potensial.
Karena Sufisme merupakan sesuatu yang dijalani dan juga dipahami, cerita
Nashruddin tidak bisa menghasilkan pencerahan utuh kepada dirinya sendiri. Di sisi
lain, ia menjembatani celah antara kehidupan duniawi dan suatu perubahan
bentuk kesadaran dalam cara yang tidak bisa dicapai oleh bentuk kesusastraan
lainnya.
Manuskrip "Kepelikan" (the Subtleties) belum pernah dihadirkan secara utuh bagi
pembaca Barat. Kemungkinan karena cerita-cerita tersebut tidak bisa
diterjemahkan secara tepat oleh non-Sufi, atau dipelajari di luar konteksnya, dan
mempertahankan dampak esensialnya. Di Timur, kumpulan cerita tersebut ratarata
digunakan untuk maksud kajian semata oleh para Sufi pemula. Leluconlelucon
dari kumpulan tersebut secara individual telah menyebar ke hampir setiap
kepustakaan dunia. Dan sejumlah lelucon tertentu dari perhatian skolastik telah
dilekatkan pada cerita-cerita tersebut. Dalam penilaian ini sebagian sebagai
sebuah contoh gelombang kebudayaan, atau untuk mendukung argumen-argumen
yang menguntungkan identitas-dasar humor di mana saja. Tetapi jika karena daya
tarik humor perenialnya cerita-cerita itu telah membuktikan kekuatannya, maka
hal ini secara menyeluruh merupakan hal kedua bagi tujuan kumpulan cerita
tersebut, yang dimaksudkan untuk menyediakan suatu dasar bagi tersedianya sikap
Sufi terhadap kehidupan, dan memungkinkan pada pencapaian penyadaran Sufisme
dan pengalaman mistis.
Legenda Nashruddin (the Legend of Nasrudin), yang dibubuhkan pada manuskrip
the Subtleties dan paling tidak berasal dari abad ketiga belas, sebagian
dimaksudkan untuk memperkenalkan Nashruddin. Penyebaran humor Nashruddin

tidak bisa dihalangi, ia bisa masuk melalui pola-pola pemikiran yang dihasilkan
manusia melalui kebiasaan dan rancangan. Dalam sebagian sistem pemikiran yang
utuh, Nashruddin ada pada begitu banyak makna yang dalam sehingga
(keberadaan) dirinya tidak bisa dimusnahkan. Sebagai tolak ukur kebenaran, hal ini
mungkin bisa dilihat pada fakta bahwa organisasi-organisasi yang beragam dan
asing seperti the British Society for the Promotion of Christian Knowledge
(S.P.C.K) (Perkumpulan Inggris yang bergerak dalam Penyiaran Pengetahuan
Kristiani) dan juga pada pemerintah Soviet, keduanya telah memanfaatkan
Nashruddin. The S.P.C.K. telah menerbitkan beberapa cerita (Nashruddin) dengan
judul cerita-cerita tentang Khoja [Khwaja] (Tales of the Khoja); sementara orangorang
Rusia (mungkin dengan prinsip "Jika Anda tidak bisa mengalahkan mereka,
maka bergabunglah dengan mereka") telah membuat film tentang Nashruddin
dengan judul The Adventures of Nasrudin. Bahkan orang-orang Yunani, yang
menerima beberapa hal dari orang Turki, menganggap Nashruddin sebagai bagian
dari warisan kebudayaannya. Pemerintah sekular Turki, melalui departemen
penerangannya, telah menerbitkan sebuah kumpulan lelucon metafisis yang
dinisbatkan kepada tokoh yang dianggap sebagai guru Muslim ini yang merupakan
tipe-ideal mistik Sufi, meskipun Tarekat-tarekat Sufi ditindas melalui Undangundang
di Republik Turki.
Tak ada seorang pun tahu siapa sebenarnya Nashruddin itu, kapan dan di mana ia
hidup. Tujuan keseluruhan tulisan ini adalah menampilkan satu sosok yang tidak
bisa diberi karakter yang sesungguhnya, dan yang berada di luar waktu. Adalah
pesan, dan bukan orangnya, yang penting bagi para Sufi. Hal ini tidak menghalangi
masyarakat untuk memberikan suatu sejarah yang fiktif, dan bahkan sebuah
makam. Para sarjana -- berlawanan dengan orang yang terlalu formal dimana
dalam cerita-ceritanya seringkali memunculkan Nashruddin sebagai pemenang --
bahkan telah mencoba menjadikan manuskrip the Subtleties kedalam serpihanserpihan
terpisah dengan harapan menemukan bahan biografis yang memadai.
Salah satu "penemuan" mereka pastilah akan mengingatkan bahwa ia adalah
Nashruddin sendiri. Nashruddin mengatakan bahwa ia memandang dirinya sendiri
secara terbalik di dunia ini, demikian papar seorang sarjana. Dan pandangan ini ia
menarik kesimpulan bahwa tahun yang diduga merupakan saat kematian
Nashruddin, atau "nisannya" seharusnya tidak dibaca 386, tetapi 683. Profesor
lainnya merasa bahwa angka-angka Arab yang digunakan, jika benar-benar
terbalik, tampaknya lebih menyerupai angka 274 H. Dengan seksama ia mencatat
bahwa seorang darwis yang dimintainya bantuan dalam persoalan ini, "... sekadar
mengatakan, mengapa tidak memasukkan seekor laba-laba ke dalam tinta dan
melihat tanda apa yang dibuatnya di saat laba-laba itu merayap ke luar. Hal ini
akan memberikan waktu yang benar atau menunjukkan sesuatu."
Sesungguhnya angka 386 bermakna 300 + 80 + 6. Jika disesuaikan dengan abjadabjad
Arab, hal ini akan berbunyi Sy, W, F, yang membentuk kata SyaWaF:
"Menyebabkan seseorang melihat, untuk memperlihatkan sesuatu". Laba-laba
darwis tersebut akan "memperlihatkan" sesuatu, sebagaimana yang ia katakan
sendiri.
Jika kita melihat beberapa cerita klasik Nashruddin dengan cara seutuh mungkin,
kita segera menemukan bahwa keseluruhan pendekatan skolastik merupakan cara
terakhir yang diperbolehkan oleh Sufi:

Nashruddin, ketika menyeberangi perairan yang ganas bersama seorang sarjana
yang berpola pikir kaku dan formalistik, mengatakan sesuatu kepadanya yang
secara kaidah bahasa tidak sesuai. "Apakah Anda tidak pernah belajar kaidahkaidah?"
tanya si sarjana tersebut.
"Tidak," jawab Nashruddin.
"Maka separo kehidupan Anda sia-sia," ucapnya kepada Nashruddin seraya
bertanya, "Apakah Anda pernah belajar berenang?"
"Tidak, mengapa?"
"Maka seluruh kehidupan Anda sia-sia -- kita tengah tenggelam."
Ini merupakan penekanan terhadap Sufisme sebagai suatu aktivitas praktis, seraya
menolak bahwa pemikiran formal bisa sampai pada kebenaran, dan pola pemikiran
yang diperoleh dari dunia biasa (pengalamannya) bisa diterapkan pada realitas
yang sesungguhnya, yang bergerak ke dimensi lainnya.
Hal ini terlihat, bahkan lebih diperkuat oleh sebuah cerita konyol yang dilontarkan
di sebuah warung teh, sebuah istilah tempat Sufi untuk pertemuan para darwis.
Seorang pendeta masuk dan berkata:
"Guruku mengajariku untuk menyebarkan wejangan bahwa manusia tidak akan
pernah sempurna sampai seorang yang tidak dizalimi marah pada kezaliman itu,
semarah orang yang benar-benar dizalimi."
Orang-orang yang duduk sesaat merasa terkesan, kemudian Nashruddin berujar:
"Guruku mengajariku bahwa seharusnya tidak seorang pun menjadi marah tentang
sesuatu sampai ia merasa pasti bahwa apa yang dipikirnya sebagai suatu kesalahan
itu pada hakikatnya adalah salah -- dan bukan sekadar dugaan."
Nashruddin, dalam kapasitas sebagai guru Sufi, sering menggunakan teknik darwis
bagi dirinya sendiri dengan memainkan peranan orang yang belum tercerahkan
dalam sebuah cerita untuk menjelaskan suatu kebenaran. Sebuah cerita terkenal
yang menyangkal kepercayaan dangkal (superfisial) terhadap hukum sebab-akibat
menjadikan dirinya sebagai korban.
Suatu hari Mullah Nashruddin tengah berjalan di sebuah gang ketika seorang jatuh
dari atap rumah dan menimpa tubuhnya. Orang yang jatuh tersebut tidak terluka --
tetapi justru Mullah Nashruddin yang dibawa ke rumah sakit.
"Ajaran apakah yang bisa Tuan ambil dari peristiwa ini, Guru?" tanya salah satu
muridnya.
"Hindari kepercayaan terhadap kepastian atau sesuatu yang tidak bisa dihindari,
meskipun hukum sebab-akibat tampak tidak bisa ditolak! Ajukan pertanyaanpertanyaan
teoritis seperti: 'Jika seseorang jatuh dari atap, apakah lehernya akan
patah?' Ia yang jatuh -- tetapi justru leherku yang patah!"
68

Karena orang kebanyakan berpikir dalam pola-pola (baku) dan tidak bisa
menyesuaikan dirinya pada suatu cara pandang yang benar-benar berbeda, maka ia
kehilangan sejumlah besar makna kehidupan. Ia mungkin hidup, bahkan maju,
tetapi tidak bisa memahami semua yang terjadi. Cerita tentang penyelundup
menjadikan hal ini semakin jelas.
Nashruddin biasa membawa keledainya yang punggungnya dimuati kantong-kantong
penuh berisi sekam, menyeberangi perbatasan setiap hari. Karena mengaku
sebagai penyelundup kala berjalan pulang naik keledainya setiap malam, maka
para penjaga perbatasan memeriksanya berkali-kali. Mereka memeriksa orangnya,
menurunkan sekamnya, kemudian memasukkannya ke dalam air dan bahkan
membakarnya dari waktu ke waktu.
Meskipun demikian ia menjadi semakin makmur dan mencolok. Pada saatnya ia
berhenti dan pindah ke negeri lain. Di tempat baru ini ia sudah bertahun-tahun,
dimana salah satu petugas bea cukai bertemu dengannya.
"Sekarang Anda bisa menceritakan kepadaku, Nashruddin!" ucapnya. "Apa
sebenarnya yang Anda selundupkan dulu, sehingga kami tidak pernah bisa
menangkapnya?"
"Keledai," jawab Nashruddin.
Cerita ini juga menekankan salah satu dari kandungan besar Sufisme --bahwa
pengalaman yang tidak biasa dan tujuan mistik merupakan sesuatu yang lebih
dekat kepada manusia dibanding yang disadari. Anggapan bahwa sesuatu yang
esoteris atau transenden pastilah jauh atau rumit telah dianut oleh orang-orang
bodoh. Dan orang semacam ini tidak memiliki syarat untuk memberikan penilaian
terhadap persoalan. Ini menjadi " jauh" hanya dalam arah yang tidak ia sadari.
Nashruddin, seperti Sufi lainnya, tidak merusak kaidah-kaidah zamannya. Tetapi Ia
menambahkan suatu dimensi baru bagi kesadarannya, dengan menolak menerima
terhadap tujuan-tujuan khusus dan terbatas. Bahwa kebenaran, katakanlah
demikian, merupakan sesuatu yang bisa diukur sebagaimana sesuatu yang lain. Apa
yang disebut oleh masyarakat sebagai kebenaran adalah relatif pada situasi
mereka. Dan ia tidak bisa menekannya sampai menyadarinya. Salah satu cerita
Nashruddin, salah satu yang paling cerdik, memperlihatkan bahwa sampai
seseorang bisa melihat melalui kebenaran relatif, maka tidak ada kemajuan bisa
dibuat.
Suatu hari Nashruddin duduk di pengadilan. Raja mengeluh bahwa para pejabatnya
tidak jujur. "Paduka," ucap Nashruddin, terdapat kebenaran dan kejujuran. Orang
harus mempraktekkan kebenaran sejati, sebelum mereka bisa menggunakan
kebenaran relatif. Mereka selalu mencoba-coba cara lain. Akibatnya adalah bahwa
mereka berlaku lancang dengan kebenaran buatan-manusia, sebab secara naluri
mereka mengetahui bahwa itu hanyalah suatu ciptaan (manusia)."
Raja menganggap hal ini terlalu rumit, "Sesuatu harus benar atau salah. Aku akan
membuat orang berkata jujur dan dengan praktek ini mereka akan terbiasa jujur."

Ketika gerbang kota dibuka pada esok harinya, sebuah gantungan telah dipasang,
yang dipimpin oleh seorang kapten dari pengawal istana. Sebuah pengumuman
dilontarkan:
"Siapa saja yang memasuki kota, pertama-tama harus menjawab benar pertanyaan
yang akan dikemukakan kepadanya oleh kapten pengawal."
Nashruddin, yang tengah menunggu di luar, maju pertama.
Kapten tersebut berkata, "Mau ke mana engkau? Jawab dengan jujur --
alternatifnya adalah hukuman mati dengan digantung."
"Aku akan," jawab Nashruddin, "digantung di atas tiang gantungan itu."
"Aku tidak mempercayaimu."
"Jika demikian, baiklah. Jika aku berdusta, gantung aku."
"Tetapi hal itu akan menjadikannya (kebohongan) sebagai kebenaran."
"Tepat," ucap Nashruddin, "kebenaranmu."
Calon Sufi juga harus memahami bahwa tolok ukur kebaikan dan keburukan
didasarkan pada ukuran individu atau kelompok, bukan atas dasar fakta obyektif.
Sampai ia mengalami hal ini secara internal dan juga menerimanya secara
intelektual, ia tidak akan mampu mencapai pemahaman yang lebih dalam (batin).
Skala pengubahan ini digambarkan oleh cerita tentang perburuan:
Seorang raja yang senang bergaul dengan Nashruddin, dan juga senang berburu,
memerintahkannya untuk menyertainya dalam sebuah perburuan beruang.
Nashruddin merasa sangat ketakutan.
Ketika Nashruddin kembali ke desanya, seseorang bertanya kepadanya, "Bagaimana
berburunya?"
"Luar biasa!"
"Berapa ekor beruang yang Anda lihat?"
"Tidak seekor pun."
"Lantas, bagaimana bisa luar biasa?"
"Jika engkau berburu beruang, dan jika engkau adalah aku, tidak melihat satu pun
beruang merupakan pengalaman luar biasa."
Pengalaman internal tidak bisa disalurkan melalui pengulangan, tetapi harus
disegarkan kembali secara terus-menerus dari sumbernya. Banyak madzhab yang
tetap beroperasi lama setelah dinamika aktualnya telah kering, semata-mata
menjadi pusat pengulangan suatu doktrin yang semakin melemah. Nama ajaran

tersebut mungkin tetap sama. Ajaran tersebut mungkin tidak memiliki nilai lagi,
bahkan mungkin bertentangan dengan makna asalnya, yang hampir semuanya
selalu merupakan pendangkalan terhadap makna salah satu persoalan pokok dalam
ceritanya tentang "Kuah Sup Bebek".
Seorang kerabat jauh mengunjungi Mullah Nashruddin, dengan membawa seekor
bebek sebagai buah tangan. Karena gembira, Nashruddin memasaknya dan
menyantapnya bersama tamunya. Akan tetapi, akhir-akhir ini orang-orang
pedalaman silih berganti mengunjungi rumah Nashruddin, masing-masing orang
mengaku sahabat dari "orang yang membawakan bebek itu sebagai buah tangan".
Lama-kelamaan Nashruddin terkuras. Akan tetapi, pada suatu hari seorang asing
lainnya berkunjung, "Aku adalah sahabat dari sahabat dari sahabat kerabat yang
membawakan bebek kepada Anda."
Ia duduk, seperti semua tamu-tamunya, mengharapkan sebuah hidangan. Akhirnya
Nashruddin menghidangkan kepadanya semangkuk air panas.
"Apa ini?"
"Ini adalah sup dari sup dari sup bebek yang dibawa oleh kerabatku."
Persepsi tajam yang dicapai Sufi kadang-kadang memungkinkan dirinya mengalami
hal-hal yang tidak terlihat oleh orang-orang lain. Karena tidak mengetahui hal ini,
para anggota dari madzhab-madzhab lainnya secara umum memperlihatkan
kelemahan persepsinya dengan mengatakan atau melakukan sesuatu yang secara
jelas merupakan akibat dari ketidakmatangan spiritualnya, sehingga seorang Sufi
bisa membaca dirinya seperti sebuah buku. Oleh karena itu, persepsi tersebut
digambarkan oleh cerita Nashruddin lainnya:
Nashruddin memasuki sebuah rumah besar untuk mengumpulkan sedekah. Sang
pembantu berkata, "Tuanku sedang keluar."
"Baiklah, " ucap Nashruddin, "meskipun ia tidak bisa menyumbang, tolong
sampaikan nasehatku kepadanya. Katakan, 'Lain kali jika Tuan keluar, jangan
tinggalkan wajah Tuan di jendela -- seseorang mungkin bisa mencurinya'."
Orang tidak tahu ke mana harus menoleh kalau mereka mencari pencerahan.
Akibatnya, tidaklah mengejutkan jika mereka menempelkan dirinya pada suatu
cara penyembahan (kultus), menenggelamkan dirinya pada semua cara teori-teori,
dengan meyakini bahwa mereka memiliki kapasitas kebenaran dari yang salah
(yang sejati dari yang palsu).
Nashruddin mengajarkan hal ini dalam berbagai cara. Pada suatu kesempatan
seorang tetangga menemukannya tengah berlutut mencari sesuatu.
"Apa yang hilang, Mullah?"
"Kunciku," jawab Nashruddin.

Setelah beberapa menit mencari, tetangga itu bertanya, "Di mana Anda
menjatuhkannya?"
"Di rumah."
"Demi Allah, lantas mengapa Anda mencarinya di sini?"
"Sebab di sini lebih banyak cahaya."
Cerita ini merupakan salah satu yang paling terkenal dari semua cerita Nashruddin,
yang digunakan oleh para Sufi, untuk mengulas orang-orang yang mencari sumbersumber
lahiriah bagi pencerahan. Kisah ini merupakan bagian dari pertunjukan Karl
Vallentin, "badut metafisis" akhir dari Munich.
Mekanisme rasionalisasi merupakan salah satu penghalang efektif bagi pendalaman
persepsi. Dampak Sufistik mungkin seringkali disia-siakan karena individu tersebut
tidak akan menyerapnya secara tepat.
Seorang tetangga datang untuk meminjam tali jemuran Nashruddin.
"Maaf, aku tengah mengeringkan bubuk gandum di atasnya."
"Tetapi bagaimana engkau bisa mengeringkan bubuk gandum di atas tali jemuran?"
"Hal ini tidak sesulit yang Anda kira, jika Anda tidak ingin meminjamkannya."
Di sini Nashruddin menampilkan dirinya sendiri sebagai bagian jiwa/akal yang
selalu menolak, yang tidak akan menerima bahwa terdapat cara lain untuk
mendekati kebenaran selain pola-pola konvensional.
Dalam perkembangan pikiran manusia, terdapat perubahan konstan dan membatasi
kegunaan setiap teknik khusus. Karakteristik praktek Sufi ini terabaikan dalam
sistem-sistem yang bersifat pengulangan, yang mengondisikan pikiran dan
menciptakan suatu suasana pencapaian atau kedekatan pada pencapaian, tanpa
benar-benar menghasilkannya. Nashruddin menggambarkan karakteristik tersebut
dalam sebuah cerita yang berusaha memperjelas hal itu.
Mullah Nashruddin hampir terjatuh ke dalam kolam air. Seorang yang lewat
menyelamatkannya, di saat yang tepat. Setiap kali mereka bertemu, orang
tersebut mengingatkan Nashruddin betapa ia telah mencegahnya untuk tidak basah
kuyup.
Akhirnya karena tidak tahan lagi, Nashruddin membawa "dewa penolongnya"
tersebut ke kolam, kemudian ia menceburkan diri sampai sebatas leher, dan
berteriak, "Sekarang aku basah kuyup seperti seandainya tidak pernah bertemu
dengan Anda! Maukah Anda membiarkanku sendiri?"
Lelucon atau dongeng biasa, yang hanya mengandung satu persoalan atau
penekanan, tidak bisa dibandingkan dengan sistem Nashruddin -- secara ideal
merupakan suatu partisipasi-pembacaan yang menghasilkan pengaruh batin, begitu

juga pengaruh lahir atau superfisial. Dongeng dan lelucon biasa secara mistik
dipandang steril karena tidak memiliki kekuatan menembus atau regenerasi sejati.
Meskipun kepiawaian dan tujuan yang rumit dari cerita Nashruddin jauh lebih
tinggi, katakanlah dibanding tokoh Baldakiev bagi orang-orang Rusia, Joha bagi
orang-orang Arab, atau Bertoldo bagi orang-orang Italia -- semuanya adalah tokohtokoh
komik yang terkenal -- perbedaan tertentu dari kedalaman makna pada
cerita-cerita bisa dimasukkan melalui cara-cara lelucon Nashruddin dan
kesepadanannya pada peristiwa sporadis di mana saja.
Sebuah cerita Zen memberikan satu contoh menarik. Dalam cerita ini seorang
pendeta bertanya kepada seorang guru untuk memberikan suatu gambaran realitas
(yang ada) di luar realitas. Guru tersebut menggambar sebuah apel yang busuk,
dan pendeta tersebut menangkap kebenaran itu melalui tanda ini. Kita tetap
dalam kegelapan tentang apa yang ada di balik, atau yang membawa kepada,
pencerahan tersebut.
Cerita Nashruddin tentang apel mengisi sejumlah besar rincian yang hilang
tersebut. Nashruddin tengah duduk di antara murid-muridnya, ketika salah seorang
muridnya bertanya kepadanya tentang hubungan antara hal-hal yang ada di dunia
ini dan hal-hal yang ada di suatu dimensi yang berbeda. Nashruddin mengatakan,
"Engkau harus memahami tamsil!" Murid tersebut berkata, "Perlihatkan kepada
kami sesuatu yang praktis -- sebagai contoh sebuah apel dari Firdaus!"
Nashruddin memetik sebuah apel dan menyerahkannya kepada murid tersebut.
"Namun apel ini jelek di salah satu bagiannya -- apel surgawi seharusnya
sempurna."
"Sebuah apel surgawi seharusnya sempurna," ucap Nashruddin, "tetapi sejauh
engkau bisa menilainya, sementara kita berada di dunia yang tidak sempurna ini,
serta dengan kemampuanmu yang ada saat ini, apel ini mendekati apel surgawi
yang bisa engkau peroleh."
Murid tersebut memahami bahwa istilah-istilah yang kita gunakan untuk hal-hal
metafisis itu didasarkan atas istilah fisik. Dalam rangka menembus dimensi lain
dari pemikiran (pemahaman), kita harus menyesuaikan pada cara pemahaman bagi
dimensi tersebut.
Cerita Nashruddin, yang sangat mungkin merupakan asal dari tamsil apel tersebut,
dirancang untuk menambahkan suatu rasa bagi pemikiran pendengarnya yang
dibutuhkan untuk membangun kesadaran bagi pengalaman-pengalaman yang tidak
bisa dicapai sampai suatu jembatan (kesadaran) telah dicapai.
Pembentukan kesadaran-batin secara bertahap ini merupakan karakter dari
metode Sufistik Nashruddin. Kilatan pencerahan intuitif yang dihasilkan oleh
cerita-cerita tersebut sebagian merupakan suatu pencerahan kecil pada dirinya
sendiri, dan bukan suatu pengalaman intelektual. Ia juga merupakan batu loncatan
menuju pembentukan kembali persepsi mistik dalam suatu penulisan yang
menjebak, yang secara terus-menerus pemikiran dikondisikan oleh sistem-sistem
pelatihan dalam kehidupan material.

Sebuah lelucon Nashruddin, yang dipisahkan dari terminologi teknisnya
(kemungkinan akibat penterjemahan), masih bisa dirasakan nilai humornya. Dalam
hal ini sebagian besar dampaknya mungkin hilang. Contohnya adalah lelucon
tentang garam dan wool:
Nashruddin tengah membawa muatan garam ke pasar. Keledainya berjalan
menyeberangi sungai, dan garamnya pun meleleh. Ketika sampai di seberang
sungai, keledai tersebut berjalan lincah karena muatannya menjadi ringan. Maka
Nashruddin menjadi marah. Pada hari pasaran berikutnya ia memuati kantong
pelananya dengan wool. Keledainya hampir tenggelam dengan meningkatnya beban
ketika binatang tersebut keluar dari air.
"Bah!" ucap Nashruddin penuh kemenangan, "itu akan mengajari untuk berpikir
bahwa engkau akan memperoleh sesuatu setiap kali engkau melewati air."
Pada cerita asalnya, dua istilah teknis dipergunakan, garam dan wool. "Garam"
(milh) adalah homonim untuk "menjadi baik, bijak". Keledai adalah simbol untuk
manusia. Dengan menumpahkan beban kebajikan umumnya, seseorang akan
merasa lebih baik, karena kehilangan beban. Akibatnya ia kehilangan makanannya,
sebab Nashruddin tidak bisa menjual garam untuk membeli pakan ternaknya. Kata
"wool" tentu saja merupakan kata lain untuk "Sufi". Pada perjalanan keduanya,
keledai tersebut telah meningkatkan bebannya melalui wool, karena adanya
maksud dari sang guru, Nashruddin. Bebannya meningkat selama perjalanan
menuju pasar. Tetapi hasil akhirnya menjadi lebih baik, sebab Nashruddin menjual
wool basah, tentu saja lebih berat dari sebelumnya, dengan harga yang lebih tinggi
dari wool kering.
Lelucon lain, yang juga ditemukan pada Cervantes (Don Quixote, Bagian 5), tetap
menjadi sebuah lelucon meskipun istilah teknis "takut" semata-mata diterjemahkan
apa adanya dan tidak dijelaskan:
"Aku akan mengantungmu!" ucap seorang raja lalim dan bodoh kepada Nashruddin.
"Jika engkau tidak bisa membuktikan bahwa dirimu memiliki wawasan yang
mendalam seperti yang telah dinisbatkan kepadamu." Mendadak Nashruddin
menyatakan bahwa dirinya bisa melihat seekor burung emas di langit dan iblis di
dalam bumi. "Tetapi bagaimana engkau bisa melakukannya?" tanya sang raja. "Rasa
takut," jawab Nashruddin, "itulah yang Tuan perlukan."
"Takut" dalam kosa kata Sufi, merupakan pengaktifan kesadaran yang bisa
menghasilkan persepsi surga-inderawi (extra -sensory).
Ini merupakan suatu kawasan dimana akal-formal tidak dipergunakan, dan fakultas
lain dari jiwa (mind) didorong untuk bekerja.
Tetapi Nashruddin, dengan cara yang sama sekali unik, berusaha mempergunakan
pirantHntelektualitas yang sama untuk tujuan-tujuannya sendiri. Gema dari tujuan
ini bisa ditemukan pada the Legend of Nasrudin, dimana di dalamnya diriwayatkan
bahwa Hussein, pendiri sistem tersebut, mengambil utusannya yang telah
dirancang, Nashruddin, dari cengkeraman "Pendosa Tua" -- sistem pemikiran yang
mentah dimana hampir kita semua hidup di dalamnya.

"Hussein" dalam bahasa Arab dikaitkan dengan konsep kebajikan, "Hussein"
bermakna "kuat, sulit untuk dimasuki".
Ketika Hussein mencari ke seluruh dunia seorang guru yang akan membawa
pesannya ke seluruh generasi, ia hampir putus asa ketika mendengar suara ribut.
Sang Pendosa-Tua memakai salah satu muridnya karena menceritakan lelucon.
"Nashruddin" bentak sang Pendosa-Tua, "karena sikapmu yang keterlaluan aku
mengutukmu menjadi bahan kekonyolan dunia. Oleh sebab itu, jika satu dari
cerita-ceritamu yang rancu diceritakan, maka enam cerita lagi pasti akan
terdengar secara beruntun sampai engkau terlihat jelas sebagai sosok yang lucu."
Diyakini bahwa pengaruh mistis dari tujuh cerita Nashruddin, yang dipelajari
secara beruntun, adalah cukup untuk mempersiapkan seseorang menuju
pencerahan.
Hussein, yang menguping hal itu, menyadari bahwa dari setiap situasi akan muncul
pengobatannya sendiri, dan dengan demikian dari cara dimana kejahatankejahatan
Pendosa-Tua terjadi itulah bisa dibawa pada perspektifnya yang sejati.
Ia akan menjaga kebenaran melalui Nashruddin.
Ia memanggil Nashruddin dalam mimpi dan menanamkan sejumlah berkahnya
kedalam dirinya. Barakah merupakan kekuatan Sufi, menembus secara batin ke
dalam signifikansi-nominal dari makna. Dan sinilah semua cerita tentang
Nashruddin menjadi karya seni "independen". Mereka bisa dipahami sebagai
lelucon; mereka memiliki suatu makna metafisis; cerita-cerita itu demikian
kompleks dan mengandung sebagian dari sifat keutuhan dan kesempurnaan yang
telah dicuri dari kesadaran manusia karena aktivitas-aktivitas dari Pendosa-Tua
tersebut (sistem pemikiran yang mentah).
Dilihat dari sudut pandang biasa, barakah memiliki kualitas "magis" -- meskipun ia
secara esensial merupakan suatu kesatuan dan pendorong serta substansi dari
realitas obyektif. Salah satu dari kualitas ini adalah siapa saja yang diberi barakah,
atau setiap obyektif yang terkait dengannya, tidak menjadi soal berapa banyak ia
telah diubah karena dampak dari orang ini secara spiritual tercurahkan. Oleh sebab
itu, pengulangan semata-mata sebuah lelucon Nashruddin akan membawa barakah.
"Maka dengan cara inilah ajaran-ajaran Nashruddin dari jalur Hussein ditanamkan
selamanya di dalam suatu piranti yang secara keseluruhan tidak bisa
diselewengkan tanpa bisa diperbaiki kembali. Seperti air, secara esensial semuanya
adalah air, maka dalam pengalaman-pengalaman Nashruddin terdapat suatu
takaran minimum yang tidak teredaksi yang bisa memberikan jawaban suatu
panggilan, dan akan berkembang jika didorong." Takaran minimum tersebut adalah
kebenaran (truth), dan melalui kebenaran inilah dicapai kesadaran sejati.
Nashruddin merupakan cermin bagi seseorang untuk melihat dirinya sendiri. Tidak
seperti cermin kebanyakan, semakin sering dilihat, maka semakin tampak sosok
Nashruddin yang asli terproyeksikan di dalamnya. Cermin ini serupa dengan Cup of
Jamshid yang termasyhur, sang pahlawan Persia; yang mencerminkan seluruh
dunia, dan dalam cermin inilah para Sufi "melihat".

Karena Sufisme tidak dibangun diatas perilaku artificial, dalam pengertian tersurat
dengan rincian eksternal (lahiriah), tetapi di atas rincian komprehensif
(pemahaman), maka cerita-cerita Nashruddin harus dialami, begitu juga
direnungkan. Selain itu, merasakan kandungan setiap cerita melalui pengalaman
langsung akan mendorong "kehadiran" mistik. Salah satu dari perkembangan
pertama kehadiran tersebut adalah ketika seorang Sufi memperlihatkan tandatanda
persepsi superior. Sebagai contoh, ia akan mampu memahami suatu keadaan
melalui ilham, bukan melalui penalaran formal. Akibatnya, tindakan-tindakannya
kadang-kadang bisa membingungkan para pengamat yang bekerja pada tataran
kesadaran-biasa; meskipun demikian yang dihasilkannya akan tepat.
Sebuah cerita Nashruddin yang memperlihatkan bagaimana hasil yang tepat dicapai
seorang Sufi melalui suatu mekanisme khusus ("cara yang salah" dalam pandangan
orang-orang yang belum tercerahkan) bisa menjelaskan sebagian besar
eksentrisitas para. Sufi:
Dua orang menghadap Nashruddin ketika ia berperan dalam kapasitasnya sebagai
hakim. Salah satunya berkata, "Orang ini telah menggigit telingaku -- aku menuntut
qishas!" Yang lain bertutur, "Ia menggigitnya sendiri." Nashruddin menunda kasus
tersebut dan masuk kedalam ruangannya. Di sana ia menghabiskan waktu setengah
jam berusaha untuk menggigit telinganya sendiri. Seluruh upayanya hanya
mengakibatkannya terjerembab dan keningnya lecet. Kemudian ia kembali ke
ruang sidang.
"Periksa orang yang telinganya digigit!" perintahnya. "Jika keningnya lecet, berarti
ia melakukannya sendiri, dan kasus ditutup. Jika tidak, maka orang satunya yang
melakukannya, dan orang yang digigit tersebut mendapat ganti-rugi tiga keping
perak." Keputusan yang benar tersebut bisa dicapai melalui suatu cara yang
tampaknya tidak logis.
Di sini Nashruddin sampai pada jawaban tepat, tanpa melihat logika yang jelas dari
situasinya. Dalam cerita lainnya, dimana ia sendiri mengambil peranan orang
bodoh (bagi Sufi ini merupakan "Jalan Kehinaan") dalam bentuk yang ekstrim,
Nashruddin menggambarkan (cara) pemikiran manusia kebanyakan:
Seorang pelawak bertanya kepada Nashruddin untuk menebak apa yang ada dalam
tangannya.
"Beri aku suatu tanda," kata Mullah.
"Aku akan memberikan beberapa tandanya," tutur sang pelawak, "yang berbentuk
seperti telur, seukuran telur, penampilan, rasa dan baunya seperti telur. Di
dalamnya ada (benda) berwarna kuning dan putih. Benda di dalamnya tersebut cair
sebelum Anda memasaknya, tetapi lewat pemanasan akan mengeras. Selain itu,
benda ini dihasilkan seekor unggas piaraan ..." "Aku tahu!" sela Mullah, "ia sejenis
kue."
Saya pernah mencoba pertanyaan serupa di London. Kepada tiga orang penjual
rokok, secara beruntun saya menanyakan tentang, "Benda berbentuk silinder dari

kertas yang dipenuhi racikan tembakau, panjangnya sekitar tiga inci, dibungkus
dalam karton, kemungkinan dengan diberi gambar padanya."
Tidak satu pun dari orang-orang yang sehari-harinya menjual rokok tersebut bisa
mengenali apa yang saya inginkan. Dua orang dari mereka memberikan jawaban
sekenanya -- yang satunya mengarahkannya kepada grosir mereka, sementara yang
lain kepada sebuah toko yang khusus menjual barang-barang impor eksotik bagi
para perokok."
Kata "rokok" mungkin menjadi pelatuk, yang penting untuk menggambar benda
berbentuk silinder yang dibuat dari kertas dan dipenuhi tembakau. Tetapi
kebiasaan untuk memerlukan pelatuk tersebut, yang bergantung pada asosiasiasosiasi,
tidak bisa digunakan dengan cara yang sama dalam kegiatan-kegiatan
pemahaman. Kesalahannya adalah membawa satu bentuk pemikiran -- meskipun
mengagumkan pada tempatnya yang tepat -- ke dalam konteks yang berbeda, dan
berusaha menggunakannya di sana.
Rumi menceritakan sebuah kisah yang menyerupai cerita Nashruddin tentang telur
tersebut, tetapi dengan menekankan faktor penting lainnya. Seorang putra raja
telah dititipkan kepada para guru mistik yang melaporkan bahwa mereka tidak bisa
lagi mengajarinya. Untuk mengujinya, sang raja menanyakan apa yang ada di
dalam tangannya. "Benda ini bulat, keras dan berwarna kuning." "Ini pasti sebuah
ayakan," jawab si anak. Sufisme menekankan perkembangan imbang persepsibatin,
perilaku manusia wajar dan penggunaannya.
Anggapan bahwa hanya karena seseorang hidup maka ia memiliki persepsi, ditolak
oleh Sufisme, sebagaimana yang telah kita lihat. Seseorang mungkin secara klinis
hidup, tetapi secara perseptif mati. Logika dan filsafat tidak bisa membantunya
mencapai persepsi. Satu segi dari cerita berikut menggambarkan hal ini:
Mullah Nashruddin tengah berpikir keras.
"Bagaimana aku tahu apakah aku mati atau hidup?"
"Jangan bersikap bodoh," ucap istrinya, "jika engkau mati lenganmu akan dingin."
Segera setelah itu Nashruddin sudah berada di hutan memotong kayu. Saat itu
tengah musim angin. Tiba-tiba ia merasa tangan dan kakinya dingin.
"Aku pasti mati," pikirnya, "maka aku harus berhenti bekerja, sebab mayat tidak
bekerja."
Dan karena mayat tidak berjalan, ia berbaring di atas rerumputan.
Segera setelah itu sekawanan srigala muncul dan mulai menyerang keledainya yang
ditambatkan ke sebuah pohon.
"Ya, teruskan, ambillah keuntungan dari orang mati!" ucap Nashruddin dari
posisinya yang terlentang, "tetapi seandainya aku hidup, tidak akan membiarkan
kalian berbuat seenaknya terhadap keledaiku."

Persiapan pikiran Sufi tidak akan memadai sampai seseorang mengetahui bahwa ia
harus melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri -- dan berhenti berpikir bahwa
orang lain bisa melakukannya untuk dirinya. Nashruddin membimbing manusia
awam dengan menggunakan "kaca-pembesarnya":
Suatu hari Nashruddin pergi ke toko orang yang menjual segala jenis barang
(peralatan).
"Anda punya kulit?"
"Punya."
"Juga paku?"
"Punya."
"Juga zat pewarna?".
"Punya."
"Lantas mengapa Anda tidak membuat sepasang sepatu untuk diri Anda sendiri?"
Cerita tersebut menekankan peran guru mistik, yang esensial dalam Sufisme, yang
mempersiapkan titik awal bagi calon Salih (pencari) untuk melakukan sesuatu bagi
dirinya sendiri -- sesuatu tersebut adalah "kerja-diri" di bawah bimbingan tertentu
yang merupakan karakteristik utama dalam sistem Sufisme.
Pencarian Sufi tidak bisa dilakukan dalam persahabatan yang tidak lazim.
Nashruddin menekankan persoalan ini dalam kisahnya tentang undangan yang
salah-waktu:
Malam telah larut, dan Nashruddin tengah berbincang-bincang di warung teh
dengan para sahabatnya. Ketika mereka pergi, mereka menyadari bahwa mereka
lapar. "Datang dan makanlah di rumahku!" ucap Nashruddin, tanpa memikirkan
akibatnya.
Ketika rombongan tersebut hampir sampai di rumahnya, ia berpikir bahwa
seharusnya ia pergi lebih dulu untuk mengatakan kepada istrinya. "Kalian tunggu
sejenak di sini! Aku akan memberitahu istriku," tuturnya kepada mereka.
Ketika menceritakan kepada istrinya, ia berujar, "Di rumah tidak ada apa-apa!
Berani-beraninya kau mengundang semua temanmu ...!"
Nashruddin pergi ke loteng dan bersembunyi.
Para tamu yang kelaparan itu pun segera menghampiri rumahnya dan mengetuk
pintu.
Istri Nashruddin menjawab, "Mullah tidak ada di rumah!"

"Tetapi kami melihatnya masuk melalui pintu depan!" teriak mereka.
Ia tidak bisa berpikir apa-apa untuk menjawabnya.
Karena diliputi kecemasan, Nashruddin yang menyaksikan percakapan tersebut dari
jendela loteng, nongol dan berkata, "Aku bisa keluar lagi melalui pintu belakang,
bukankah demikian?"
Beberapa cerita Nashruddin menekankan akan kesalahan dari kepercayaan umum
bahwa manusia memiliki kesadaran yang stabil. Dengan adanya kekuatan
pengaruh-pengaruh batin dan lahir, perilaku semua orang akan berbeda-beda
sesuai dengan perasaan-hatinya dan kesehatannya. Meskipun kenyataan ini diakui
dalam kehidupan sosial, tetapi hal ini tidak diakui sepenuhnya dalam filsafat dan
metafisika formal. Paling jauh, seseorang diharapkan menciptakan suatu kerangka
kerja dari kesungguhan atau pemusatan dalam dirinya sendiri, dan melalui cara ini
diharapkan ia bisa mencapai pencerahan. Dalam Sufisme, kesadaran utuh itulah
yang pada akhirnya harus diubah, dimulai dari pengakuan bahwa orang yang 'belum
tercerahkan' itu sedikit lebih dari sekadar bahan mentah. Ia tidak memiliki sifat
yang pasti, tidak memiliki kesadaran tunggal. Di dalam dirinya terkandung "esensi".
Esensi ini belum menyatu dengan keseluruhan wujudnya atau bahkan belum
menyatu dengan kepribadiannya. Pada puncaknya, tidak seorang pun mengetahui
secara otomatis "siapa" sejatinya dirinya, meskipun terdapat gambaran semua yang
bertentangan dengan "kesejatian" tersebut. Hal ini ditekankan dalam cerita
Nashruddin berikut:
Suatu hari Nashruddin memasuki sebuah toko.
Pemilik toko menuju untuk melayaninya.
"Pertama-tama," ucap Nashruddin, "apakah Anda melihatku memasuki toko Anda?"
"Tentu."
"Apakah Anda pernah melihatku sebelumnya?"
"Belum pernah sama sekali."
"Lantas bagaimana Anda tahu bahwa ini adalah 'aku'?"
Betapapun kisah ini bernilai semata-mata sebagai lelucon, tetapi bagi mereka yang
memandangnya sebagai idea dari orang bodoh, dan tidak mengandung makna yang
lebih dalam, maka mereka tidak akan bisa memanfaatkan kekuatan pencerahan
yang terkandung dalam cerita tersebut. Anda memeras dari sebuah cerita
Nashruddin hanya sedikit lebih dari yang Anda curahkan. Jika cerita itu tampak
tidak lebih dari sekadar sebuah lelucon, maka orang tersebut perlu melakukan
"kerja-diri" (mujahadah) lebih jauh. Orang seperti ini digambarkan dalam
percakapan Nashruddin tentang rembulan:
"Apa yang mereka lakukan terhadap bulan kala ia tua?" seorang yang pandir
bertanya kepada Nashruddin.

Jawabannya disesuaikan dengan pertanyaannya, "Mereka memotong-motong setiap
bulan tua menjadi empat puluh bintang."
Banyak dari cerita Nashruddin menjelaskan kenyataan bahwa biasanya orang
mencari pencapaian mistis dengan mengharapkan hal itu diperoleh melalui
pemahaman mereka sendiri, dan oleh sebab itu secara umum menutup diri mereka
sendiri dari pencapaian tersebut sebelum memulainya. Tidak seorang pun bisa
berharap untuk sampai mengetahui apa sesungguhnya pencerahan itu dan meyakini
bahwa ia bisa mencapainya melalui suatu jalan yang telah ditetapkan dengan baik
yang bisa dibentuk sejak awal. Inilah inti persoalan yang digambarkan pada cerita
tentang perempuan dan gula berikut ini:
Ketika Nashruddin menjadi hakim, seorang perempuan menemuinya dengan
membawa anaknya. "Anak ini," tutur si ibu, "terlalu banyak makan gula. Aku tidak
bisa membiarkannya melakukan hal itu. Oleh sebab itu, aku meminta Anda secara
resmi melarang memakannya, sebab ia tidak akan mematuhiku!"
Nashruddin mengatakan kepadanya untuk kembali dalam waktu seminggu lagi.
"Sekarang," ucap Nashruddin kepada si anak. "Aku melarangmu memakan gula lebih
dari jumlah ini setiap hari!"
Pada akhirnya perempuan tersebut menanyakan kepadanya, mengapa begitu lama
diperlukan sebelum sebuah perintah sederhana bisa diberikan.
"Sebab aku harus membuktikan apakah aku sendiri dapat menghentikan kebiasaan
makan gula sebelum memerintahkan orang lain melakukannya."
Permintaan perempuan tersebut, selaras semata-mata didasarkan pada anggapananggapan
tertentu. Pertama, bahwa keadilan bisa dilaksanakan semata-mata
dengan memberikan perintah. Kedua, bahwa sesungguhnya seseorang bisa makan
sedikit gula sebagaimana yang ia inginkan kepada anaknya untuk memakannya.
Ketiga, bahwa sesuatu itu bisa disampaikan kepada orang lain oleh seseorang yang
tidak terlibat langsung dengan sesuatu tersebut.
Cerita ini bukan sekadar suatu cara mengubah "redaksi" pernyataan, "Kerjakan
seperti yang kukatakan, bukan seperti yang kulakukan!" Jauh dari wujud ajaran
etis, ini merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar.
Ajaran Sufi hanya bisa dilakukan oleh seorang Sufi, bukan oleh seorang teoritisi
atau eksponen intelektual.
Karena sejalan dengan realitas-sejati, maka Sufisme tidak bisa dibuat secara dekat
untuk menyerupai apa yang kita anggap sebagai realitas, tetapi ia benar-benar
merupakan aturan yang didasarkan atas pengalaman nyata yang lebih mendasar.
Sebagai contoh, kita cenderung melihat peristiwa-peristiwa secara sepihak. Kita
juga beranggapan tanpa suatu pembenaran, bahwa suatu peristiwa terjadi seolaholah
hal itu terjadi pada suatu "ruang hampa". Dalam hakikatnya, semua peristiwa
terkait dengan peristiwa-peristiwa lainnya. Hanya ketika kita telah mengalami
keterkaitan dengan organisme kehidupan itulah kita bisa memahami pengalaman
mistis. Jika Anda melihat tindakan yang Anda lakukan, atau yang dilakukan orang
lain, Anda akan menemukan bahwa hal itu didorong oleh salah satu dari berbagai
stimulan; dan Anda juga menyadari bahwa hal itu bukan suatu tindakan yang
"terkecil" -- ia memiliki akibat-akibat, kebanyakan justru yang tidak Anda
harapkan.

1 komentar:

  1. Bantu buat Kartu Kredit BANK BNI dengan beragam fasilitas dan diskon, free iuran tahun pertama di manapun anda berada di seluruh pelosok nusantara Kartu Kredit BNI, adalah Kartu Kredit BNI MasterCard dan BNI VISA, baik Kartu Biru, Emas
    maupun Platinum berikut Kartu Tambahannya.
    100% berkas aman cukup fc ktp.slip
    gaji/skp kartu kredit npwp
    khusus karyawan gaji min 3 jt perbulan.owner lampirkan fc ktp siup dan npwp bila memiliki kartu kredit bisa dilampirkan
    proses maks 10 hari kerja.Diskon 15% untuk makanan dan minuman dengan minimum transaksi Rp 150.000,- dan maksimum transaksi Rp 2.000.000,-.
    Diskon 20% untuk menu makanan Hot Kitchen (tidak termasuk Toast/Honey Toast/Beverage) dengan minimum transaksi Rp 150.000.- dan maksimum transaksi Rp 2.000.000,- (sebelum diskon, pajak dan servis).
    Garuda Indonesia Travel Fair 2014, kerjasama Bank Negara Indonesia dengan Garuda Indonesia, one stop shopping untuk paket wisata Anda dengan harga spesial menggunakan Kartu Kredit dan Kartu Debit BNI.
    Diskon cicilan 0% selama 3 & 6 bulan atau cicilan bunga ringan 0,8% selama 9 & 12 bulan dengan transaksi minimum Rp 1.000.000,-
    Hemat hingga 50% atau maksimum Rp 1.000.000,- dengan BNI Reward Points.
    Informasi lebih lanjut hubungi BNI Call 500046 atau 021-500046/68888 dari ponsel.atau dengan marketing kami cabang BNI SEMARANG
    chairul sarto utomo via sms telp
    085229348635, 085600125176 pin bb 3166854C. TELP KANTOR ( 024 ) 33051946 FAK 024 86455931

    BalasHapus