Sabtu, 20 Februari 2010

KONSEP-KONSEP KEBAHAGIAAN DAN KESENGSARAAN

Pembuangan asumsi-asumsi  adalah  fase  pembebasan  yang  amat
sulit dalam menempuh jalan menuju hakikat. Kesulitan itu dapat
dipahami antara lain dari peringatan Ibn 'Arabi dalam sebuah
syair kesufiannya,

Barangsiapa mengaku dengan pasti bahwa Allah bergaul dengan
dirinya, dan ia tidak lari (dari pengakuan itu), maka itu
adalah tanda bahwa ia tak tahu apa-apa.

Tidak ada yang tahu Allah kecuali Allah sendiri, maka
waspadalah, sebab yang sadar di antaramu tentulah tidak
seperti yang alpa.

Ketiadaan kemampuan menangkap pengertian adalah ma'rifat
begitulah memang pandangan akan hal itu bagi yang berakal
sehat. Dia adalah Tuhan yang sebenarnya, yang pujian
kepada-Nya tidak terbilang, Dia adalah Yang Maha Suci, maka
janganlah kamu buat bagi-Nya perbandingan.

(Ibn 'Arabi, al-Futuhat al-Makkiyah, 1:270).

Jadi perasaan tahu Tuhan adalah justru pertanda tidak tahu
apa-apa. "Mengetahui Tuhan" mengesankan adanya hasil pencarian
rasional yang luar biasa. Tetapi sekali orang menginsafi bahwa
Tuhan adalah Wujud Mutlak, yang berarti tidak akan terjangkau
wujud nisbi seperti manusia dan seluruh alam raya ciptaan-Nya,
maka ia pun akan paham bahwa perasaan, apalagi keyakinan,
bahwa bila ia tahu Tuhan adalah kebodohan yang tiada taranya.

Dalam gambaran Ibn 'Arabi, bahkan seandainya seseorang dapat
mengetahui alam gaib, maka saat alam gaib itu tersingkap
baginya adalah juga saat ia tertutup baginya. Jadi, sejalan
dengan sifat paradoksal kenyataan-kenyataan, justru saat
seseorang tahu alam gaib adalah juga saat ia tidak tahu.

Jika matahari ilmu telah terbenam. maka bingunglah
akal-pikiran yang kemampuannya hanya dalam teori pembuktian.
Kalau seandainya alam gaib itu dapat disaksikan oleh mata
penglihatan, maka saat munculnya alam gaib itu adalah juga
saat ia terbenam. (Ibn 'Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, 3:57)

Maka perjalanan mencari Tuhan mengikuti garis lurus atau
al-shirath al-mustaqim adalah perjalanan yang mensyaratkan.
kekosongan pikiran perbandingan mengenai Tuhan dan bebas dari
asumsi-asumsi, yang diistilahkan dalam ilmu tasawuf sebagai
akhalli, pengosongan diri. Inilah tawhid dalam tingkatnya yang
amat tinggi, sekaligus amat abstrak (mujarrad).

Kemudian ada isyarat dalam al-Qur'an bahwa Nabi sendiri pun
melakukan takhalli Nabi diperintahkan agar menyatakan bahwa
beliau hanyalah seorang Utusan Tuhan, antara lain untuk
mengajarkan kepercayaan pada adanya alam gaib, namun beliau
hanyalah seorang manusia yang diutus Allah, dengan mengikuti
ajaran yang diwahyukan pada beliau dan menyampaikan ajaran itu
kepada masyarakat manusia,

Katakan (Muhammad): "Aku tidak pernah mengaku kepadamu bahwa
aku memiliki perbendaharaan Allah juga tidak aku mengetahui
alam gaib. Aku pun tidak pernah mengaku kepadamu bahwa aku
adalah seorang malaikat. Aku hanyalah mengikuti apa yang
diwahyukan kepadaku." Katakan (Muhammad): "Apakah sama antara
orang yang melihat dan orang buta? Apakah kamu tidak
berpikir?" (QS. al-An'am/6:50)

Lebih lanjut, senafas dengan prinsip-prinsip di atas, Nabi
juga diperintahkan Allah menyatakan bahwa beliau tidaklah
bermaksud membuat hal-hal baru terhadap apa yang telah
diwariskan pada Rasul terdahulu, dan bahwa beliau sendiri juga
tidak tahu apa yang akan diperbuat Allah terhadap beliau
(misalnya, mengingat bahwa sebagai Rasul terdahulu ada yang
menjadi korban, sampai terbunuh, oleh misi sucinya) Nabi
hanyalah mengikuti wahyu yang diterimanya, dan beliau hanyalah
seorang pembawa peringatan yang tidak meragukan,

Katakan (Muhammad): "Aku bukanlah seorang pembuat bid'ah di
antara Rasul-rasul (yang sudah-sudah), dan aku tidak pula tahu
apa yang akan diperbuat (oleh Tuhan) kepadaku, juga tidak (apa
yang diperbuat) kepadamu. Aku hanyalah mengikuti apa yang
diwahyukan kepadaku dan aku hanyalah seorang pembawa
peringatan yang jelas tidak meragukan. (QS. al-Ahqaf/46:9)

Bagi seorang yang menerima pengajaran langsung dari Tuhan dan
bertugas menjadi utusan-Nya, Nabi pasti mengetahui apa yang
benar dan apa yang salah. Beliau pasti mengetahui pula siapa
yang mendapat petunjuk Tuhan dan siapa pula yang sesat di
antara manusia ini, termasuk di antara beliau sendiri
berhadapan dengan kaum yang menolak kebenaran yang beliau
ajarkan. Namun Allah masih mengajari beliau agar menerapkan
apa yang disebut (dalam bahasa Inggris) the benefit of the
doubt atau hikmah keraguan, sebagai metodologi pencarian
kebenaran,

Katakan (Muhammad): "Siapa yang memberi kamu semua rizqi, baik
yang dari langit maupun yang dari bumi? Katakan: "Allah! Dan
boleh jadi kami, atau kamu, yang pasti berada di atas petunjuk
kebenaran, atau pasti berada dalam kesesatan yang terang."
(QS. Saba'/34:24)

Semuanya itu dalam pandangan kesufian dan filsafat Islam,
adalah jalan sebenarnya menuju dan menemukan kebahagiaan.
Metafor yang telah disebutkan bahwa "mata air" di surga itu
dinamakan "sal sabil-an" atau "tanyalah jalan" melukiskan
bahwa kebahagiaan tidaklah bersumber dari perasaan kepastian
dalam pengalaman pencarian Kebenaran. Justru pengalaman rohani
ketika dengan penuh ketulusan hati dan niat yang murni
sungguh-sunggah mencari, dalam ketegangan antara kecemasan dan
harapan (khawf-an wa thama'-an) yaitu kecemasan kalau-kalau
gagal menemukan Kebenaran, dan harapan bahwa dengan Kebenaran
itu akhirnya bakal terjadi perjumpaan (liqa). Seraya dengan
itu, terJadi pula perlibatan diri dalam usaha perbaikan bumi
dan menjaganya dari kerusakan yang mungkin menimpa. Itulah
inti jalan menuju kebenaran, dan sumber sejati cita-rasa piala
melimpah (ka's-an dihaq-an) penuh minuman kebahagiaan. Semua
itu dapat kita timba dari petunjuk Ilahi dalam al-Qur'an, yang
patut sekali kita renungkan:

Serulah Tuhanmu sekalian, dengan kerendahan hati dan suara
sunyi sesungguhuya Allah tidak suka kepada mereka yang kelewat
batas. Dan janganlah kamu merusak bumi setelah bumi itu
diperbaiki. Lalu serulah Dia dalam kecemasan dan harapan.
Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat
kebaikan. (QS. al-A'raf/7:54-55)

RAHMAT ALLAH DAN KERIDLAAN-NYA

Dengan mengutip sebuah firman Allah di bagian terdahulu dan
tafsir atau komentarnya Sayyid Quthub, kita mengetahui bahwa
keridlaan Allah adalah ganjaran kebahagiaan yang tertinggi dan
paling agung kepada kaum beriman dan bertaqwa. Dan keridlaan
(Indonesia: kerelaan, yakni, perkenan) Allah itu tidak
terpisah dari rahmat atau kasih Allah kepada manusia.
Kebahagiaan tertinggi adalah pengalaman hidup karena adanya
rahmat dan keridlaan Allah. Seperti ditafsirkan banyak ahli
pikir Islam, termasuk Sayyid Quthub tersebut di muka, sebagai
puncak pengalaman kebahagiaan, keridlaan Allah membuat segala
kenikmatan yang lain menjadi tidak atau kurang berarti. Rahmat
dan keridlaan Allah itulah yang dijanjikan kepada orang-orang
beriman dan berjuang di jalan-Nya, seperti difirmankan,

Mereka yang beriman, berhijrah, dan berjihad dijalan Allah
dengan harta dan jiwa mereka adalah lebih agung derajatnya
disisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang berbahagia. Tuhan
mereka menjanjikan kabar gembira kepada mereka, dengan rahmat
dan keridlaan-Nya dari Dia, serta surga-surga yang di sana
mereka peroleh kenikmatan yang mapan. (QS. Al-Tawbah/9:20-21)

Lebih menarik lagi adanya keterangan bahwa keridlaan itu
sesungguhnya suatu nilai yang timbal balik antara Allah dan
seorang hamba-Nya. Sesungguhnya hal ini adalah sangat masuk
akal belaka, karena dengan sendirinya Allah akan rela kepada
seorang hamba, jika hamba itu rela kepada-Nya. Dan kerelaan
seorang hamba kepada Khaliqnya tak lain adalah salah satu
wujud nilai kepasrahan (Islam) hamba itu kepada-Nya. Inilah
gambaran tentang situasi mereka yang telah mencapai tingkat
amat tinggi dalam iman dan taqwa, seperti gambaran mengenai
mereka itu dari masa lalu.

Dan mereka, para pelopor pertama, yang terdiri dari para
Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak
mereka dengan baik, Allah rela kepada mereka, dan mereka pun
rela kepada-Nya. Dan Dia menyediakan untuk mereka surga-surga
yang sungai-sungai mengalir di bawahnya, dan mereka kekal di
sana selama-lamanya. Itulah kebahagiaan yang agung. (QS.
al-Tawbah/9:100)

Juga seperti lukisan tentang jiwa yang mengalami ketenangan
sejati (muthma'innah), yang dipersilakan dengan penuh kasih
sayang kembali kepada Tuhannya dalam keadaan saling merelakan
antara Tuhan dan hamba-Nya, kemudian dipersilakan pula agar
masuk ke dalam kelompok para hamba Tuhan, dan akhirnya
dipersilakan masuk ke surga, lingkungan kebahagiaan,

Wahai jiwa yang tenang-tenteram, kembalilah engkau kepada
Tuhanmu, merelakan dan direlakan, kemudian masuklah engkau ke
dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah engkau ke dalam
surga-Ku. (QS. al-Fajr/89:27-30)

Jadi keridlaan Allah itulah tingkat kebahagiaan tertinggi.
Maka kaum sufi senantiasa menyatakan, "Oh Tuhanku, Engkaulah
tujuanku, dan keridlaan Engkaulah tuntutanku." Bagi kaum sufi,
kebahagiaan yang lain tak sebanding dengankeridlaanAllah
sampai-sampai, seperti didendangkan Rabi'ah al-'Adawiyah,
"masuk neraka" pun mereka bersedia, karena mereka rela kepada
Allah dan mengharapkan kerelaan-Nya.

--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Tidak ada komentar:

Posting Komentar