Rabu, 08 Desember 2010

Akar Kebisuan Generasi Muda Sunda

Akar Kebisuan Generasi Muda Sunda


Oleh AHMAD ZAKIYUDDIN

PR 27 Peb 2002

MENANGGAPI tulisan Y. Herman Ibrahim (PR/30/1/2002) yang menggugat sekaligus mempertanyakan keberadaan nonoman Sunda kiwari sangat menarik untuk dikaji. Ia dengan bahasanya yang khas kembali mengulangi ungkapan-ungkapannya yang cukup provokatif mengenai perlunya gerakan kiri Sunda yang dimotori oleh nonoman Sunda untuk mengkritisi kebijakan pusat yang dirasakan tidak adil terhadap wilayah Jawa Barat. Membaca tulisan tersebut, penulis melihat ada kerinduan terhadap sebuah kebangkitan gerakan nonoman Sunda dalam konteks yang cukup radikal. Namun sayang, ia hanya mengutarakan ilustrasi sejarah sebatas radikalisme kekuasaan nonoman Sunda masa lalu yang terpinggirkan dalam wilayah kekuasaan birokrasi oleh alumni UGM yang banyak mengisi jabatan-jabatan di kota-kota kabupaten Jawa Barat. Padahal sebagai salah satu nonoman Sunda, penulis pun ingin mengetahui gerakan radikal lain dalam wilayah kesejarahan Sunda. Yang dalam pemikiran penulis masa sih sejarah perjuangan Sunda hanya sebatas itu, cukup terwakili hanya oleh Adeng-Ajam saja. Sedangkan Y Herman Ibrahim seolah-olah memandang sebelah mata bagi perjuangan-perjuangan radikal lain dengan menyebut "sejak itu orang Sunda berikut elitenya tidak ada lagi yang berani memperjuangkan nasib Ki Sunda", sebagai ilustrasai pasca perjuangan Adeng-Ajam, karena takut disebut sukuisme dan provinsionalisme.

Di sisi lain, penulis melihat apa yang diungkapkan Y. Herman Ibrahim tentang beberapa strategi untuk meningkatkan martabat, eksistensi dan bargaining position (daya tawar) orang Sunda sangat utopis untuk bisa mewujud, meskipun menjamurnya organisasi, LSM dan institusi kesundaan. Untuk itu perlu dicari penyebab kebisuan nonoman Sunda agar bisa dicarikan solusinya ke depan. Dalam pandangan penulis, selain tidak adanya kaderisasi yang jelas, faktor yang menjadi akar kebisuan generasi muda Sunda bisa diidentifikasikan sebagai berikut :

Pertama, kurangnya transformasi tauladan dari sesepuh Sunda untuk secara simultan memberikan contoh yang baik dalam berbagai bidang, baik dalam konteks politik, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya. Ide, gagasan, bahkan gugatan dari sesepuh Sunda semisal Y. Herman Ibrahim akhirnya ada kekhawatiran hanya akan merupakan angin lalu yang tidak mampu memberikan magic bagi perubahan sikap dan tingkah laku orang-orang Sunda sendiri. Terbukti, semenjak wacana mengenai kebangkitan Ki Sunda menggelinding akhir-akhir ini, belum terasa secara substansial langkah-langkah nyata dari berbagai pihak yang mengklaim sebagai institusi, LSM atau organisasi yang memperjuangkan nasib orang Sunda. Mereka yang mengatasnamakan pejuang Sunda hanya menjadikan Sunda sebatas komoditas ekonomi, politik, budaya bagi kepentingan individu dan kelompoknya masing-masing, sehingga tak heran jika gerakan apa pun yang dilakukan tidak pernah mampu memberikan arah, motivasi untuk mendorong semangat batin, ahlak, moral, dalam merekayasa terbentuknya masyarakat Sunda yang memiliki dimensi sumberdaya manusia yang handal. Yang ada hanya sebatas kerumunan bukan barisan yang dalam pandangan penulis sangat tidak mutualistik kalau hanya berupa gugatan, keluhan, dalam forum-forum seminar, diskusi dan simposium tokoh dan masyarakat Sunda yang sebatas simbolisme semata.

Kedua, kualitas Sumber Daya Manusia orang Sunda sangat lemah. Ini dilihat dari jiwa leadership nonoman bahkan sesepuh Sunda yang sangat sedikit memiliki kualifikasi kepemimpinan. Minimnya orang-orang Sunda yang punya kualitas kepemimpinan yang bisa dibanggakan, apalagi untuk menduduki jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan pusat cukup memprihatinkan. Bahkan di kandang sorangan (rumah sendiri) seperti di lembaga legislatif Provinsi Jawa Barat, orang-orang Sunda tidak mencapai angka 50 %. Padahal kalau melihat sejarah, dalam naskah Sunda Abad XV-XVI Masehi, yaitu Sanghyang Siksa Kandang Karesian dapat kita temukan berbagai pola dan strategi leadership masyarakat Sunda pada zaman itu yang sangat berkualitas untuk dicontoh pada zaman ini. Kitab babon orang Sunda tersebut mengutarakan mengenai bagaimana seharusnya bersikap, baik untuk diri sendiri maupun untuk umum yang disebut Tri Tangtu di Buana dalam kedudukan dan fungsi baik sebagai resi, rama, maupun ratu. Dalam pemerintahan Prabu Siliwangi yang memerintah Pajajaran 1482-1521 M sudah pula terkonsep leadership yang disebut dengan Parigeuing yang artinya "bisa memerintah orang lain dengan perilaku dan tutur kata yang baik", sehingga merasa senang yang diperintah. Sebelum bisa berparigeuing, seseorang harus mampu ber-Dasa Pasanta, yaitu kemampuan metode berinteraksi. Dikatakan pula bahwa seseorang akan bisa memimpin bawahan, bila sang leader mempunyai kualitas jati diri yang mumpuni.

Ketiga, jargon Silih Asah, Silih Asih, dan Silih Asuh yang merupakan filosofi dan jati diri orang Sunda, tidak memiliki implementasi yang jelas di masyarakat. Konsep yang sangat bagus tersebut hanya dihargai sebatas memperbincangkannya dalam berbagai forum diskusi, tetapi tidak dicarikan solusi untuk menjadikannya membumi dan melekat di setiap individu orang Sunda di bumi pasundan ini. Silih Asah yang menawarkan transformasi intelektual, transformasi pengalaman jarang ditemukan, sekalipun ada hanya berupa gelombang sesaat yang tidak memiliki kontinyuitas. Andai konsep Silih Asah ini menjadi sebuah jati diri orang Sunda, maka akan terlihat perwujudannya berupa kualitas berpikir, kreatif dalam mencipta. Silih Asih yang merefleksikan empati, humanisme, dan kasih sayang, akan berdampak cukup signifikan pula pada etos kerja yang tinggi, aktif, disiplin, gotong royong, solidaritas dan bertanggungjawab.

Begitu halnya dengan Silih Asuh lebih pada proses membimbing, mendidik, saling menasihati yang dijiwai kasih sayang sehingga efeknya akan terasa pada timbulnya suasana kebersamaan, saling menghormati dan saling memberi dan menerima.

Solusi Cerdas Membangun Generasi Baru Sunda

Solusi akar kebisuan nonoman Sunda menurut hemat penulis adalah sebagai berikut:

Pertama, harus dibangun paradigma transformasi yang positif secara berkesinambungan antara generasi tua dan generasi muda Sunda berupa transformasi pengalaman, dan transformasi intelektual. Ini penting untuk membendung gerakan modernisme yang cenderung hedonis-pragmatis dan mematikan socio-cultural masyarakat Sunda, terutama pada perubahan prilaku generasi mudanya. Bahkan lebih jauh lagi modernisme yang tidak dibarengi dengan kesadaran socio cultural tadi akan membumihanguskan potensi moral dan kebersamaan. Sebab gencarnya pembangunan infra struktur modern di tengah format struktur masyarakat Sunda yang rapuh dan tradisional akan memicu sikap afektivitas, yaitu yang memandang individu atau kelompok secara emosional yang pada akhirnya akan timbul intoleransi, reaksioner dan tak mempunyai harkat dan martabat.

Kedua, mulailah dengan contoh yang baik dari berbagai kalangan organisasi kesundaan, LSM, tokoh-tokoh, ataupun sesepuh Sunda dalam mewarnai dinamika pembangunan bangsa. Caranya adalah dengan terjun secara bersama-sama ke lingkungan masyarakat untuk melakukan proses penyadaran melewati pendidikan. Penulis berpendapat bahwa ilmu pengetahuan atau pendidikan adalah alat yang vital dan efektif untuk membebaskan dari kebisuan nonoman Sunda. Untuk itu akan sangat baik jika elemen-elemen Sunda mampu menyalurkan generasi baru Sunda untuk terus melanjutkan pendidikan melalui orang tua asuh, pemberian beasiswa dalam mengenyam pendidikan, baik di dalam maupun di luar negeri. Sementara dewasa ini sangat sedikit para tokoh Sunda, pengusaha dan birokrat dari Sunda yang mempunyai kepedulian terhadap nasib pendidikan generasi baru Sunda.

Ketiga, harus disudahi segala bentuk perpecahan di antara elite Sunda, dengan lebih mengedepankan kesadaran primordial kesundaan bukan egoistis pribadi sang tokoh. Karena sadar atau tidak, semua bentuk egoisme dan perpecahan di kalangan elite Sunda akan berpengaruh terhadap refresifitas generasi baru Sunda.

Pertanyaan terakhir yang ingin penulis kemukakan, sampai kapan para tokoh Sunda, LSM dan institusi kesundaan coba berpolemik mengenai nasib orang Sunda, sementara nasib jutaan masyarakat Sunda masih saja tertindas dan membutuhkan sesegera mungkin dewa penolong yang tidak pernah butuh retorika, gugatan, keluhan. Bahkan mereka tidak peduli dengan institusi apa pun yang mengklaim memperjuangkan kesundaan. Bagi mereka, peningkatan tarap kehidupan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya adalah kebutuhan nyata yang mendesak dan tidak bisa diobati hanya sebatas retorika di forum diskusi dan seminar manapun.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar