Jumat, 24 Desember 2010

konsepsi ibnu arabi tentang tuhan, kosmos dan penemuan diri

Saleh Rahmana, Yayasan Paramartha


Secara singkat dapat dikatakan bahwa tashawwuf memiliki suatu pandangan dunia (weltanschauung) yang melihat bahwa realitas terdiri dari hierarki ontologis dengan dunia terestrial hanyalah salah satu dan yang terbawah dari urutan hierarki tersebut. Dalam pandangan dunia hierarki ini, tentu saja, Tuhan pada Diri-Nya sendiri diidentifikasi sebagai Sumber Tertinggi dan Prinsip dari segala realitas yang berada di bawah-Nya, sedangkan segala sesuatu selain Tuhan didefinisikan sebagai makhluk-Nya atau kosmos.

Namun demikian, pemisahan antara Tuhan dengan kosmos, atau Khaliq dengan makhluk, nampaknya tidak bersifat ontologis, melainkan lebih sebagai kenyataan kemasuk-akalan (ma’quliyat atau rasional).1 Dikatakan demikian karena kedua istilah dalam setiap pasangan ungkapan tersebut-misalnya, Khaliq-makhluk, ilah-ma’luh, Rabb-hamba, dan seterusnya-merupakan relasi ma’quliyat yang masing-masing mengandaikan keberadaan satu sama lain. Eksistensi makhluk, misalnya, tidak dapat dipahami tanpa eksistensi Khaliq, dan demikian seterusnya. Pemisahan tersebut dikatakan non-ontologis karena wujud relasi tersebut tidak dapat ditemukan dalam keberadaan (eksistensi).

Walaupun begitu, ke-non-ontologis-an relasi bukan berarti suatu ketiadaan (kemustahilan) sama sekali, sebab jejak-jejak dan propertinya dapat dialami dan dirasakan. Aktivitas-aktivitas ritual, persembahan, harapan, rasa takut, kagum, misalnya, menunjuk kepada jejak-jejak yang terdapat pada diri seorang hamba yang merasa hina dan papa, serta menunjuk pada properti (kekuatan kontrol atau hukm) Rabb yang menuntut kemunculan jejak-jejak tersebut. Melalui jejak-jejak dan properti tersebut kita dapat memahami keberadaan relasi korelatif antara Rabb-hamba.


Relasi Ma’quliyat dan Penciptaan

Bagi Ibn ‘Arabi, pemisahan antara Khaliq dan makhluk tersebut merupakan fenomena imajinatif (khayyal) kosmos–di mana kosmos seolah-olah memiliki entitas wujudnya sendiri yang terlepas dari Wujud Ilahiyah 2–di samping aktivitas tawahhum (pembayangan) manusia. Dengan fenomena imajinatif ini, tentu saja Ibn ‘Arabi tidak bermaksud menghilangkan signifikansi eksistensi kosmos, sebab kehadiran imajinasilah yang pada kenyataannya memungkinkan kita menyaksikan kehadiran wujud (eksistensi).3 Tanpa pemisahan Rabb-hamba, dan karenanya tanpa tawahhum dan imajinasi (khayyal), maka apa yang dapat kita bayangkan adalah suatu Wujud Tunggal yang tidak dapat teridentifikasi sebagai ilah (tuhan) atau bukan-tuhan, sebab memang dalam kondisi tersebut tidak ada ma’luh (hamba) yang akan mengakui-Nya sebagai ilah. Wujud ini diidentifikasi Ibn ‘Arabi sebagai Wujud yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan kosmos; sebagai Wujud yang independen dari dan tidak tersentuh kosmos, ketika kosmos diandaikan keberadaannya. 4

Dalam kondisi ketunggalan-Nya, Wujud mengetahui dan menemukan Diri-Nya melalui Diri-Nya sendiri, sebab memang tidak ada hal lain selain Diri-Nya. Dari sudut pandang ini, apa yang sekarang kita sebut kosmos pada dasarnya bukanlah Wujud itu sendiri, atau merupakan bagian dari-Nya. Sementara itu apa pun dan siapa pun yang menemukan entitas dirinya dan entitas satu sama lainnya–yang kesemuanya tidak lain merupakan bagian-bagian yang membentuk kosmos–merupakan entitas-entitas permanen yang tidak atau belum (tetapi potensial untuk) menemukan dirinya sendiri. Dalam hal ini, entitas-entitas permanen berperan sebagai lokus manifestasi Wujud di mana Dia diketahui dan ditemukan oleh Diri-Nya sendiri.

Konsepsi bahwa entitas-entitas permanen pertama kali berada dalam kondisi ketiadaberadaan–dalam arti mereka belum menemukan dirinya–nampaknya mesti dipahami dalam hubungannya dengan konsepsi tentang Wujud Tunggal yang telah eksis sebelum terjadinya pemisahan antara Khaliq dan makhluk tersebut. Sementara konsepsi bahwa entitas-entitas permanen berpotensi untuk mengetahui dan menemukan dirinya mesti dipahami dalam hubungannya dengan kenyataan bahwa kosmos telah eksis, dan karenanya telah terjadi pemisahan antara Khaliq dan makhluk.

Dari sini entitas-entitas permanen dikatakan sebagai entitas-entitas kemungkinan atau ’segala hal yang-mungkin’ (mumkinat) karena di satu sisi mereka merupakan entitas-entitas yang tidak memiliki keberadaan (nonexistence), akan tetapi di sisi lain mereka juga tidak dapat dikatakan sebagai ketiadaan mutlak (nothingness) karena mereka berpotensi untuk memasuki, dan menemukan keberadaannya. Dengan demikian entitas-entitas permanen berada diantara Wujud Tunggal yang telah ada dan akan terus ada-yaitu Wujud yang biasa diidentifikasi sebagai Wujud Niscaya-dan kemustahilan (ketiadaan yang tidak akan pernah memasuki keberadaan). 5

Keberadaan entitas-entitas permanen dan kosmos saling mengandaikan satu sama lainnya. Ketika entitas-entitas permanen dikonsepsikan untuk berpotensi memasuki keberadaan, maka kosmospun berpotensi untuk menjadi ’selain-Tuhan’. Jika entitas-entitas permanen tidak dapat terkonsepsi keberadaannya, maka tentunya kosmos akan selamanya merupakan bukan selain-Tuhan dan tidak akan pernah kita temukan. Dan kenyataan bahwa entitas kosmos dapat kita temukan keberadaannya mengimplikasikan bahwa entitas-entitas permanen pun dapat kita konsepsikan keberadaannya. Sebaliknya, jika kosmos kita pandang sebagai bukan selain Tuhan, maka entitas yang kita konsepsikan bukanlah entitas-entitas permanen tersebut melainkan Entitas Tunggal Wujud itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa eksistensi (kosmos) hanya memiliki keniscayaan dalam kepermanenan (entitas-entitas), sementara Wujud (Tuhan) memiliki Keniscayaan dalam Wujud dan Kepermanenan. 6

Kemunculan kosmos ke dalam keberadaan atau ke-dapat-diketahui-annya kosmos, di satu sisi, merupakan pengenalan Wujud kepada entitas-entitas permanen, dan perkenalan ini merupakan hal niscaya bagi Wujud, sebab jika Dia tidak memperkenalkan Diri-Nya maka Dia tidak pernah akan ditemukan, dan karenanya bukan Wujud lagi namanya. Dalam kerangka perkenalan inilah, Dia memasuki tingkatan uluhiyah, dimana Dia mengambil posisi sebagai ilah, Rabb, dan nama-nama ilahiah lainnya. Di sisi lain, kemunculan kosmos merupakan realisasi dari tuntutan entitas-entitas permanen untuk menjalin relasi dengan Wujud dan membiarkan diri mereka mengetahui dan menemukan dirinya, setelahnya mereka hanya diketahui Wujud sendirian. Dan dalam penemuannya inilah, disadari atau tidak, mereka mengambil posisi sebagai ma’luh, marbub, dan nama-nama semisalnya. Dengan demikian kemunculan kosmos menandai terealisasinya hubungan antara Wujud yang turun dari ke-tak-terjangkauan-Nya ke tingkatan Uluhiyah untuk menjadi ilah dengan entitas-entitas permanen yang dalam posisinya sebagai hamba akan menjadi lokus terselenggaranya ke-uluhiyah-an tersebut. Dari sinilah relasi Rabb-hamba, Khaliq-makhluk, ilah-ma’luh, Ar-Rahman dan objek-Nya, Syadid al-’iqab dan objek-Nya menjadi terealisasi.

Penurunan Tuhan ke tingkatan Uluhiyah ini merupakan suatu keniscacayaan agar keinginan Wujud (Tuhan) untuk memperkenalkan diri-Nya, dan tuntutan entitas-entitas permanen untuk menemukan dirinya dapat terealisasi. Pengenalan Diri Tuhan kepada entitas-entitas permanen berlangsung tidak sebagaimana pengenalan Diri-Nya terhadap Diri-Nya-sebab hal ini sama artinya dengan kondisi ketunggalan Wujud-melainkan sesuai dengan kapasitas persiapan entitas-entitas permanen dalam menerima penyingkapan atau pengenalan Tuhan.

Persiapan entitas-entitas permanen tersebut merujuk pada kondisi mereka ketika mereka belum menemukan dirinya atau ketika hanya diketahui Tuhan. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang memasuki kosmos adalah persis seperti segala sesuatu yang berada dalam liputan pengetahuan Wujud sebelum mereka memasuki keberadaan. Pengenalan atau penyingkapan-diri Wujud Tuhan identik dengan pembawaan entitas-entitas permanen dari kondisi ketiada-beradaannya (ketika mereka belum menemukan dirinya) ke keberadaan. Dan inilah nampaknya maksud dari pernyataan bahwa penyingkapan-diri Tuhan kepada ciptaannya (kosmos) sesuai dengan persiapan entitas-entitas permanen-nama entitas permanen itu sendiri merujuk pada situasi ketidak-berubahan entitas tersebut dalam pengetahuan Tuhan baik sebelum atau sesudah memasuki keberadaan.

Apa yang memasuki keberadaan (kosmos) tersebut bukanlah entitas-entitas permanen sendiri melainkan jejak-jejak dan propertinya. Mesti diingat bahwa sebagai hamba, “keberadaan” entitas-entitas permanen harus dipahami dalam hubungannya dengan nama-nama yang terdapat dalam tingkatan Uluhiyah, yakni sebagai relasi ma’quliyat yang entitas wujudnya tidak ditemukan (non-ontologis). Dalam hubungannya dengan jejak-jejak dan properti tersebut, entitas-entitas permanen merupakan realitas dan akar bagi mereka. Hal ini disebabkan karena kemunculan jejak-jejak dan properti ke dalam keberadaan ditentukan oleh persiapan entitas-entitas permanen tersebut. Dengan realitas atau akar dimaksudkan bahwa hakikat sesuatu tidak dapat ditunjukan oleh jejak-jejak dan properti, melainkan oleh realitasnya. Dengan kata lain, hakikat sesuatu tidak terletak pada dimensi lahirnya (jejak-jejak dan properti) melainkan dalam dimensi batinnya (entitas-entitas permanen dalam relasinya dengan nama-nama ilahiyah). “Realitas” pengetahuan manusia, misalnya, adalah nama Yang-Maha Mengetahui-dalam relasinya dengan entitas manusia tersebut-sedang realitas kehidupan kosmik adalah nama Yang-Maha Hidup, dan demikian seterusnya.

Dalam hubungannya dengan entitas-entitas permanen, nama-nama ilahiyah merupakan bentuk-bentuk partikularisasi Wujud Ilahiyah dalam respons-Nya terhadap entitas-entitas permanen yang ingin mengetahui dan menemukan dirinya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa suatu nama ilahiyah dalam hubungannya dengan suatu entitas permanen tertentu merupakan realitas partikular dalam hubungannya dengan jejak-jejak dan properti entitas bersangkutan–yaitu, bentuk atau keadaan, fenomena kosmos–yang terdapat dalam keberadaan.

Jika realitas dari entitas-entitas yang eksis (jejak-jejak dan properti) dalam kosmos kembali kepada entitas-entitas permanen dan nama-nama-di sini kosmos telah dikonsepsikan eksistensinya–maka realitas seluruh nama-nama, tanpa hubungannya dengan entitas-entitas permanen, akan kembali pada Wujud Esensi Ilahiyah sendiri sebagai Dzat al-Asma` (pemilik nama-nama)–di sini kosmos masih sebagai bukan selain Tuhan dan belum terkonsepsikan keberadaannya. Berkenaan dengan Wujud ini kita tidak dapat berdiskusi apapun selain mengatakan bahwa pengetahuan tentang-Nya adalah bahwa Dia tidak dapat diketahui.

Jika hubungan antara satu nama dengan entitas permanen tertentu kita konsepsi sebagai merujuk pada realitas partikular maka hubungan keseluruhan nama-nama dengan entitas-entitas permanen dapat kita konsespsikan sebagai merujuk pada Realitas Universal atau Realitas segala realitas. Di dalam Realitas tersebut termuat seluruh relasi nama-nama dan entitas-entitas permanen. Sebagai himpunan relasi-relasi, Realitas Universal juga memiliki karakter ma`qul dan karenanya dapat terkonsepsi kendatipun ia tidak bereksistensi. 7

Pada dirinya sendiri, Realitas Universal tidak dapat diidentifikasi sebagai eksis atau tidak-eksis, baru atau abadi. Di satu sisi, Realitas ini tidak dapat memasuki keberadaan kecuali jika objek-objek yang dideskripsikannya juga memasuki keberadaan. Di sisi lain, tidak ada objek pengetahuan (obejek deskripsi), apakah baru atau abadi, kecuali jika realitas ini diketahui (dideskripsikan). Dengan demikian, kita tidak dapat mengetahui Realitas Universal sebagai terpisah dari bentuk yang dideskripsikanya, baik melalui demonstrasi rasional ataupun melalui bukti-bukti.

Realitas ini juga tidak dapat dideskripsikan sebagai berada sebelum kosmos, tidak juga dapat dikatakan bahwa kosmos muncul setelahnya. Akan tetapi ia adalah akar segala sesuatu yang eksis, sfera kehidupan, ia adalah Al-Haqq Yang Melalui-Nya Ciptaan Tercipta’ (al-haq al-makhluq bihi). Ia menjadi berkualitas sebagai baru jika menjadi atribut sesuatu yang baru, yakni sesuatu yang keberadaannya didahului ketiada-beradaan, yaitu makhluk. Akan tetapi ia juga dapat menjadi berkualitas sebagai abadi jika menjadi atribut sesuatu yang abadi, yakni Dzat yang keberadaan-Nya tidak didahului ketiada-beradaan (non-eksitensi), yaitu Al-Haqq. Pengetahuan, misalnya, ketika ia diatributkan pada makhluk maka ia tampil sebagai baru; jika diatributkan pada Tuhan ia tampil sebagai abadi. Akan tetapi pengetahuan pada dirinya sendiri tidak baru ataupun abadi.

Realitas Universal juga dapat menjadi plural melalui pluralitas individu-individu (yang dikenai deskripsinya). Ia juga dapat menjadi kualitas yang tidak memiliki tandingan melalui ketak-terbandingan Tuhan (yang dikenai deskripsinya). 8 Misalnya, pengetahuan dimiliki bersama oleh A, B, C, dan seterusnya, akan tetapi Pengetahuan Tuhan tidak tertandingi oleh siapa dan apapun. Eksistensi entitas-entitas yang muncul secara temporal/baru (jejak-jejak dan properti), yakni sesuatu yang keberadaannya didahului ketiada-beradaaannya, dan Wujud Abadi (wujud al-qadim), yakni sesuatu yang keberadaannya tidak didahului ketiada-beradaan (Al-Haqq), terikat satu sama lainnya melalui korelasi dan properti, dan bukan melalui eksistensi entitas (wujud al-’ayn). 9

Karena Tuhan memiliki eksistensi yang mendahului eksistensi makhluk-Nya, maka dari segi atribut-Nya pun Dia memiliki prioritas (kemendahuluan) ketimbang atribut makhluk-Nya yang muncul setelah-Nya (posterior). Berkenaan dengan Al-Haqq kita katakan bahwa Dia adalah Esensi yang Maha Hidup, Mengetahui, Berkehendak, Berbicara, Mendengar, Melihat, sementara berkenaan dengan manusia, misalnya, kita katakan yang hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat. 10 Proses eksistensiasi (ijad) kosmos dengan demikian terjadi melalui properti (ahkam), relasi (nisab), dan atribusi (idhafah). 11


Keniscayaan Tuhan dan Kemungkinan manusia

Dalam permasalahan ini, pertanyaan “kapan Tuhan menciptakan kosmos?” adalah tidak tepat, sebab “kapan” merupakan ungkapan yang mempersoalkan masalah waktu, sementara waktu hanya terkonsepsi dalam dunia relasi (yaitu, setelah adanya kosmos itu sendiri]. 12 Waktu dipahami Ibn ‘Arabi sebagai relasi yang entitas atau objek yang dinamainya tidak ditemukan dalam wujud kendatipun propertinya dapat terpahami secara rasional; 13 misalnya kapan Zayd merupakan ayah bagi ‘Amr? Maka jawabannya adalah “ketika” ‘Amr merupakan anak bagi Zayd. Karenanya, waktu ke-ayahan Zayd adalah waktu ke-anakan ‘Amr, dan ke-anakan ‘Amr adalah waktu ke-ayahan Zayd. Waktu ayah adalah anak dan waktu anak adalah ayah. Demikian pula dengan waktu Rabb adalah hamba (marbub) dan sebaliknya, mengingat properti masing-masing tidak dapat diberlakukan tanpa keberadaan satu sama lain. 14

Kemunculan waktu berkaitan dengan munculnya segala hal secara baru. Munculnya berbagai hal secara baru berlangsung secara sinambung (perpetual, dawam), dalam arti berlangsung dalam kesinambungan waktu ‘keadaan yang hadir (present / hal) secara terus menerus. Karenanya waktu juga merupakan sesuatu yang berkaitan dengan kesinambungan (perpetuality). Keadaan yang hadir (hal) atau yang juga disebut sebagai “saat sekarang” (instant, al-an) adalah seperti suatu titik yang kita andaikan dalam suatu keliling lingkaran; di manapun kita mengandaikan titik tersebut maka awal dan akhir menjadi tergambar untuk keliling tersebut. Melalui karakter kesinambungan sang waktu, “saat sekarang” merupakan batasan untuk waktu yang menjadi masa lampau dan waktu yang menjadi masa depan. Entitas wujud yang menjadi wadah semua ini ditemukan hanya dalam imajinasi, dan bukan dalam nalar atupun pengindraan; dan melalui imajinasi pula wadah ini sendiri, pada gilirannya, dapat dipandang sebagai isi dari suatu wadah tak terbatas yang dapat terimajinasikan, dan seterusnya. 15 Dengan demikian, apa yang kemudian dipahami dari waktu adalah suatu rentangan imajinasi (mutawahham) 16 yang tidak berujung pada kedua sisi/ujungnya. Keabadian tanpa permulaan (azal) dan keabadian tanpa akhir (abad) merupakan deskripsi tentang ketiadaan dua sisi atau ujung waktu tersebut. Ia tidak memiliki awal dan akhir, sebab hanya kesinambunganlah yang terdapat dalam imajinasi. 17

Itulah sebabnya mengapa pertanyaan tentang “Kapan kosmos diciptakaan?” atau dengan kata lain “Kapan berawalnya kosmos?” atau juga “Kapan relasi antara Pencipta dan ciptaan mulai terjadi?” adalah absurd. Kosmos tidak memasuki keberadaan (exist) “setelah” wujud Al-Haqq, sebab tidak ada ke-setelah-an; tidak juga bahwa Tuhan eksis “sebelum” kosmos, sebab “sebelum” merupakan salah satu modalitas waktu, sementara dalam hal ini tidak ada waktu (sebelum adanya kosmos atau sebelum adanya relasi); tidak juga bahwa kosmos eksis “bersama” wujud Al-Haqq, sebab Al-Haqq merupakan Agen dan Perencana kosmos ketika ia bukan sebagai sesuatu yang ada. Karenanya, tepatlah jika dikatakan bahwa Al-Haqq eksis melalui Esensi-Nya sendiri, sementara kosmos eksis melalui-Nya. 18

Hingga di sini kita melihat hubungan jelas antara waktu-waktu (zaman) dan nama-nama. Kemunculan suatu relasi waktu seiring dengan kemunculan relasi nama-nama dengan beragam corak atau bentuk properti dan jejak-jejaknya di dalam kosmos. Ciptaan-ciptaan baru yang bermunculan secara konstan ke dalam kosmos terjadi dalam (atau seiring dengan munculnya) saat tak-terbagi yang identik dengan hitungan waktu terpendek yang biasa disebut sebagai waktu-tersendiri (zaman al-fard) atau “Hari Tugas” (yawm al-sya’n) sebagaimana dirujuk oleh salah satu ayat Al-Quran. 19 Hari-hari tersebut menjadi terentifikasi (menjadi entitas) oleh properti nama-nama Tuhan di dalam kosmos. Masing-masing nama ilahiyah memiliki suatu hari 20 yang merupakan properti-propertinya, atau merupakan waktu dari properti nama-nama tersebut. 21

Manakala waktu (zaman) diimajinasikan dengan ketiada-berpermulaan dan ketiada-berakhirannya secara total maka yang demikian inilah yang disebut sebagai al-dahr, yakni Hari tunggal Tuhan yang tidak-berpermulaan dan tidak memiliki akhir dan tanpa pembagian siang dan malam hari. Dan hari-hari yang memanifestasi dalam kosmos merupakan pendiferensiasian properti al-dahr ini yang dimungkinkan oleh properti nama-nama dan atribut-Nya. 22 Dalam al-dahr ini berlangsung pemanifestasian keteraturan, prioritas (kemendahuluan) sebagian hal-hal yang-mungkin yang bermunculan secara baru ke dalam eksistensi (keberadaan) dan posterioritas (keterkemudianan) sebagian hal lainnya. 23 Demikian pula prioritas dan posterioritas juga berlangsung dalam bentuk-bentuk di mana hal-hal yang-mungkin tersebut memasuki keberadaan. 24 Suatu properti, entah itu bercorak bentuk, warna ataupun aktivitas atau juga keadaan-keadaan (jejak-jejak) dan sebagainya, muncul setelah properti lainnya atau muncul untuk kemudian digantikan oleh bentuk properti lainya dalam saat yang tidak terbagi, dalam arti bahwa waktu lenyapnya corak suatu properti dari suatu entitas merupakan waktu manifestasinya bentuk lainnya.

Melalui nama al-dahr, fluktuasi dan transmutasi bentuk-bentuk terjadi secara konstan. 25 Dalam eksistensi, segala sesuatu yang nampak seolah-olah tetap dan diam, transmutasi selalu terjadi dalam setiap saat, kendatipun mata dan indra tidak dapat mempersepsinya. 26 Tuhan membawa keserupaan-keserupaan (amsal) [bentuk] secara terus menerus sehingga terjadi transmutasi dalam setiap saat yang tidak terbagi. 27 Keserupaan tidak berarti keidentikan, 28 kendatipun faktor-faktor yang memisahkan antara keserupaan tersebut tidak mudah untuk dipersepsi. 29 Penyingkapan-diri Tuhan berlangsung dalam bentuk-bentuk yang tidak pernah berakhir, tidak pernah berulang dalam dua saat, dan tidak pernah sama untuk dua individu yang berbeda. 30 Semua ini adalah karakter imajinatif realitas, yakni gambaran realitas yang senantiasa mengalami transmutasi dari suatu keadaan ke keadaan lainnya atau dari suatu bentuk ke bentuk lainnya; tidak ada sesuatupun yang tetap dalam satu keadaan tunggal atau memiliki kesamaan dengan sesuatu yang lainnya. Transmutasi ini berlaku baik di dunia, di akhirat, di antara keduanya, dan juga berlaku pada ruh, jiwa dan segala sesuatu selain Tuhan. 31

Dan ketika Tuhan menamai diri-Nya dengan al-dahr maka, dari sudut pandang ini, hari-hari, sebagaimana juga properti dan jejak-jejak, yang memanfestasi dalam kosmos tidak lain adalah hari-hari, properti dan jejak-jejak yang dimiliki Tuhan sendiri. Sehingga apa yang sebenarnya kita imajinasikan, pahami, dan inderai tidak lain kecuali Wujud Al-Haqq yang menopang kita dalam wujud kita. 32 Kehadiran wujud tidak lain merupakan Kehadiran Imajinasi. 33

Dari sini apa yang dipandang sebagai baru (Kalam Ilahi atau kosmos) oleh segala sesuatu yang muncul secara baru atau temporal (termasuk manusia) dikarenakan kebaru-mengetahuiannya akan hal-baru yang sebelumnya tidak diketahuinya, maka bagi Tuhan hal-baru itu adalah abadi sebab, sejak keabadian tanpa permulaan sampai keabadian tanpa akhir, ia selalui berada dalam liputan pengetahuan-Nya, apakah dalam keadaan ketiada-beradaannya ataupun keberadaannya, termasuk relasinya dengan mereka yang muncul secara temporal tersebut. 34

Dengan cara yang sama, masuknya entitas-entitas kemungkinan ke dalam kosmos dengan keragaman-bentuknya tidak berarti menjadikan mereka luput dari liputan pengetahuan Tuhan, sebab bagi-Nya tidak ada perbedaan antara kondisi ketiada-beradaan dengan keberadaan entitas-entitas tersebut. Dan itulah sebabnya mereka disebut ‘entitas-entitas permanen’ (’ayan al-tsabita), yaitu permanen dalam pengetahuan Tuhan. Karenanya, masuknya mereka ke dalam eksistensi, dari sudut pandang Tuhan, tidak berarti bahwa mereka meninggalkan kondisi ketiada-beradaannya. Mereka tetap sebagai entitas-entitas kemungkinan yang berperan hanya sebagai lokus manifestasi properti dan jejak-jejak nama-nama ilahiyah.

Sementara dari sudut pandang entitas-entitas permanen, kenyataan ke-dapat-terpahami-annya properti dan jejak-jejak-yang termanifestasi di dalam kosmos dengan segala corak-ragamnya melalui relasi waktu dan nama-nama ilahiyah sehingga entitas-entitas tersebut dapat menemukan dirinya masing-masing-maka properti dan jejak-jejak serta hari-hari atau waktu tersebut merupakan milik mereka, sesuai dengan persiapan-persiapan yang mereka miliki masing-masing. Di sinilah tepatnya karakter ambiguitas eksistensi (keberadaan). Dalam satu kesempatan, Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa entitas-entitas kemungkinan merupakan lokus bagi termanifestasinya jejak-jejak dan properti nama-nama-Nya dan di kesempatan lain mengatakan bahwa Tuhan menjadi lokus manifestasi properti entitas-entitas sesuai dengan persiapan masing-masingnya. 35

Namun demikian, satu hal yang jelas dalam ambiguitas ini adalah bahwa Tuhan berposisi sebagai Entitas Wujud yang Niscaya melalui Diri-Nya, sementara entitas-entitas kemungkinan hanya wujud niscaya melalui yang lainya, yakni Wujud Tuhan itu sendiri. 36 Inilah mungkin apa yang dimaksudkan Sachiko Murata 37 ketika mengatakan bahwa rumusan ontologis yang biasa dipegang dalam pandangan Islam [termasuk oleh Ibn ‘Arabi] merupakan suatu ontologi yang secara tegas membedakan antara Yang-Nyata dan yang tidak-nyata, antara Yang Mutlak dan yang relatif.

Makna dan Ilustrasi Kesatuan Tuhan-manusia Apa yang kita lihat dengan penglihatan-mata dan kita anggap sebagai realitas indrawi pada kenyataannya adalah hal-hal imajinal (mutakhayyal). Segala sesuatu adalah bersifat imajinal kendatipun ia terbagi menjadi hal indrawi dan imajinal. Ini berlaku untuk semua fakultas spiritual dan jasmaniah, sebab semua kosmos merupakan bentuk-bentuk imaji-imaji yang memperdaya (matsal manshubah).40 Karakter imajinal kosmos berarti bahwa ia nampak seolah-seolah memiliki realitas sendiri yang mandiri dan terlepas dari Al-Haqq padahal kenyataannya ia tidak memiliki entitasnya dalam wujud. 41

Untuk mengetahui watak sebenarnya dari kosmos tentu saja kita harus “melenyapkan” tawahhum yang notabene bertanggung jawab atas terealisasinya pemisahan antara Al-Haqq dan ciptaan, antara Khalik dan makhluk, Tuhan dan hamba dan seterusnya. Ibn ‘Arabi menganalogikan pemisahan antara Khalik dan makhluk oleh wahm dan pelenyapannya ini dengan sebuah lingkaran yang terbagi menjadi dua lengkungan busur oleh diameter yang diidentifikasi sebagai garis yang terwahmkan, sebagai sesuatu yang tampak ada akan tetapi sebenarnya tidak memiliki wujud dalam entitasnya.

Ketika garis yang terwahamkan lenyap, maka yang tinggal hanyalah sebuah lingkaran sementara kedua lengkungan tadi tidak lagi terentifikasi. Pelenyapan ini dirujuk dalam QS An-Najm [53]: 9,

“Maka jadilah dia dekat (sejarak) dua busur, atau lebih dekat (lagi).”

Kedekatan ini merupakan “maqam-munazalat” yang memungkinkan pertemuan antara titik pusat dengan keliling lingkaran. Ketika pusat dan lingkaran bertemu, maka lenyaplah apa yang ada di antaranya. Ini merupakan pelenyapan kosmos di dalam wujud Al-Haqq. Pelenyapan ini meniadakan pembedaan antara pusat dengan lingkaran sebab keduanyapun menjadi hilang. Yang tinggal hanyalah suatu entitas wujud yang membuat propertinya sendiri lenyap sebagaimana lenyapnya properti kosmos. Inilah pelenyapan universal yang meliputi entitas maupun properti. Dari sini jelas bahwa sejak semula Ke-Dia-an Tuhan identik dengan lingkaran yang tidak lain dari dua lengkungan itu sendiri. Karenanya dari segi Ke-Dia-an, lengkungan yang satu identik dengan lengkungan lainnya, dan kita adalah garis wahm yang memisahkan keduanya. 42

Sementara itu dalam hubungannya dengan kita (selain Diri-Nya), kembalinya urusan ke kondisi semula (utuhnya kembali lingkaran setelah pemisahan) tidak berarti serupa dengan kondisi awal (keutuhan lingkaran) sebelum terjadinya pemisahan. Hal ini disebabkan karena properti yang ditegaskan diameter tidaklah lenyap, bahkan kendatipun garisnya lenyap, jejak-jejaknya tetap ada. Di sini Tuhan menegaskan entitas-entitas kita melalui pendeskripsian ke-Dia-an Diri-Nya sebagai pendengaran, penglihatan, kaki, tangan dan semua fakultas kita.

Kita menjadi tahu, setelah sebelumnya tidak mengetahui, bahwa lingkaran dapat terbagi, sehingga tak henti-hentinya kita tahu, kendatipun setelahnya lingkaran tersebut begabung, bahwa ia memiliki dua porsi, apapun bagian-bagiannya yang kita bayangkan di dalamnya, dan menerima pembagian, apapun batasan yang kita bayangkan di dalamnya-yakni, pembagian antara ketuhanan dan kehambaan. Ini misalnya melalui berita-berita ilahiyah yang memberikan petunjuk-petunjuk tentang terkualifikasinya Al-Haqq oleh atribut-atribut cipataan, dan terkualifikasinya ciptaan oleh atribut-atribut Al-Haqq. 43

Pelenyapan garis wahm tersebut dapat juga dijelaskan dengan gagasan terbakarnya segala sesuatu yang terpersepsi penglihatan-mata oleh kemegahan (subbuhat) wajah Tuhan manakala selubung kosmos yang menyebabkan manusia terselubung dari Tuhan dan Tuhan terselubung dari manusia, atau yang menyebabkan keterpisahan makhluk dari Tuhannya, terangkat. Ini didasarkan pada hadits Nabi,

“Ketika selubung-selubung tersebut terangkat maka kemegahan (subbuhat) wajah-Nya akan membakar seluruh segala sesuatu yang terpersepsi penglihatan-mata (bashar) makhluk-makhluk-Nya.”

“Pembakaran” disini bukan berarti peniadaan (nonexistence) melainkan perubahan keadaan suatu entitas, sehingga nama entitas tersebut hilang dengan peralihan atau perubahan propertinya. Kayu, misalnya, berubah menjadi arang ketika ia terbakar, walaupun substansinya tetap satu.

“Pembakaran” merujuk pada ketercakupan cahaya yang lebih rendah yang menjadi tempat beradanya segala sesuatu-atau segala sesuatu itu adalah cahaya tersebut-dalam cahaya yang lebih tinggi, seperti tercakupnya cahaya bintang-bintang dalam cahaya matahari. Cahaya bintang dikatakan terbakar manakala ia berada dalam liputan cahaya matahari, kendatipun cahayanya tetap eksis dalam esensinya, kendatipun kita tidak dapat mempersepsinya akibat lemahnya persepsi. 44 Dalam hal ini tidak ada entitas-entitas yang hilang, akan tetapi juga tidak ada satupun entitas yang memanifestasi. Jadi mereka terlihat dan tidak-terlihat, sebab mereka berada dibalik selubung Cahaya Yang Maha Besar, yang memiliki properti pengaturan atas urusan yang termanifestasi. Sementara cahaya bintang memiliki properti pengaturan di dalam urusan non-manifestasi yang tercakup di dalam Cahaya Yang Maha Besar. 45

Pengangkatan selubung bagi sebagian pengetahuan Tuhan dapat membawa dirinya pada suatu titik di mana ia melihat dirinya sebagai identik dengan-Nya, dan melihat esensi dirinya sebagai satu esensi. Sehingga dalam kondisi inilah bahwa seseorang mengatakan “Aku adalah Tuhan” (ana’l haqq, Al-Hallaj) “Maha megahlah Aku” (Subhani, Abu Yazid al-Busthami), dan lain-lain. 46

Tempat “Penyatuan” Sebagaimana telah sedikit disinggung di atas, penyingkapan selubung terjadi dalam apa yang disebut Ibn ‘Arabi sebagai maqam-munazzalat, yaitu tempat pertemuan antara penurunan Tuhan kepada seseorang hamba–tawajjuhnya suatu nama ilahiyah–dan kenaikan hamba kepada-Nya dengan himmah yang Tuhan berikan kepadanya. 47 Dalam maqam-jalan bersama inilah visi terhadap Al-Haqq terjadi. 48 Dalam pertemuan ini teraktualisasilah kebaikan yang dicari hamba dari nama dan kebaikan yang dicari nama dari hamba. Dari pertemuan ini, nama kembali kepada Yang-Dinamai dan hamba kembali ke tempat ia muncul. Atau nama tersebut menyuruh dan menyertai hamba kembali ke tempat ia muncul. Atau si hamba membawa serta nama ilahiyah tersebut dan menaik kepada Yang-Dinamainya. 49

Ketika seseorang naik ke maqam-khithab bersama, yaitu antara dia dan Al-Haqq, ia tidak menyaksikan sesuatupun kecuali bentuk-bentuk yang berperan sebagai selubung sekaligus penanda atas Tuhan. Baginya bentuk-bentuk merupakan juru bicara tentang realitas dan rahasia-rahasia. Dan semua ini berlangsung dalam bahasa fahwaniyah (bahasa yang elok/jernih). 50 Fahwaniyah didefinisikan Ibn ‘Arabi sebagai pembicaraan (khithab) Al-Haqq, melalui pertemuan langsung, di dunia imajinasi. 51 Maqam-munazalat adalah situasi di mana Tuhan berbicara kepada hamba “secara langsung” akan tetapi dari belakang selubung imajinasi. 52 Di sinilah tepatnya berlaku firman Tuhan

“dan tidak ada bagi seorang basyarpun bahwa Allah berbicara dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang hijab, atau dengan mengutus seorang Rasul lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki” (QS Asy-Syuura [42]: 51).

Demikianlah, kendatipun terjadi pertemuan dan pembicaraan langsung antara Tuhan dan manusia, akan tetapi hal ini tidak berarti lenyapnya bentuk-bentuk (imajinal atau yang terimajinasikan). Bagaimanapun juga, Tuhan tidak mungkin melakukan komunikasi dengan makhluk-Nya kecuali melalui bentuk-bentuk. Namun demikian, fakultas ilahiyah yang telah Tuhan anugrahkan kepada seseorang gnostik (’arifin) mampu menembus makna-makna atau maksud ilahiyah yang terselubung dalam atau yang tersembunyi di balik bentuk-bentuk tersebut. 53

Manakala selubung basyar tersingkap dari mata hati, maka hati mempersepsi semua bentuk-bentuk pengada yang tengah berbicara dan mendengar kepada satu sama lainnya. Di sini aktivitas pembicaraan, pandengaran, memegang, lari, merasa, berimajinasi, memberi-bentuk, mengingat dan semua fakultas yang yang diatribusikan kepada basyar menjadi terpadu-satu (unified). Seseorang tidak lagi mendengar pembicaraan Tuhan kecuali melalui pendengaran-Nya, tidak juga mendengar pembicaraan suatu bentuk kecuali melalui pendengaran bentuk tersebut. Sementara Pendengar berada di belakang pendengaran, Pembicara berada di balik pembicaraan dan seterusnya.

“Padahal Allah mengepung mereka dari belakang mereka” (QS Al-Buruuj [85]: 20). 54

Visi terhadap Al-Haqq yang terjadi di dalam dunia atau Kehadiran Imajinasi ini disebut sebagai ru`yah (visi-mimpi). Ru’yah ini dapat berlangsung baik pada waktu tertidur ataupun terjaga namun yang jelas bukan di dalam dunia indrawi (fisik). Bentuk-bentuk yang terlihat secara imajinal boleh jadi terletak di dalam atau diluar fakultas imajinasi, atau juga boleh jadi bentuk-bentuk tersebut hadir dari luar melalui imajinalisasi makhluk spiritual atau penyingkapan-diri (Tuhan) dalam bentuk manusia. 55


Epilog

Subjektivitas Teomorfik Di satu sisi, jejak-jejak dan properti atau bentuk-bentuk penyingkapan-diri Tuhan adalah identik dengan Tuhan sendiri. Tidak ada sesuatupun yang terlihat kecuali Tuhan. Adalah Dia sendiri yang terlihat dalam keragaman bentuk-bentuk. Secara absolut pada Diri-Nya sendiri, Tuhan merupakan Wujud Yang Tak Terbatas (tanzih). Akan tetapi secara paradoks hal ini berarti bahwa Ketidak-terbatasan Tuhan tidak menghalangi-Nya untuk memasuki setiap bentuk keterbatasan dengan tanpa menjadi terbatasi oleh bentuk keterbatasan apapun (tasybih). 56 Di sisi lain keragaman bentuk atau keyakinan-keyakinan adalah sama dengan bentuk-yang dilihat dan dirasakan seorang individu tidak dilihat sebagai identik dengan-Nya, melainkan kembali kepada proyeksi keyakinannya sendiri tentang Tuhan. Dalam hal ini individu tersebut boleh jadi dapat mengenali Tuhan dalam segala bentuk keyakinan dan bentuk-bentuk proyeksi dirinya, seperti dalam kasus seorang gnostik. Atau hanya mengenali-Nya secara terbatas dalam bentuk keyakinan persepsinya tentang Tuhan, dan tidak mengenali-Nya apabila Dia tersingkap dalam bentuk yang berbeda dari bentuk keyakinannya, seperti dalam kasus selain gnostik. 57

Dalam kasus seorang gnostik, kendatipun ia dapat meyakini setiap keyakinan, namun demikian ia sendiri tidak dapat mengungkapkan akar fudamental keyakinannya tentang Tuhan. Bagi mereka, penyaksian terhadap Al-Haqq merupakan pengalaman yang diperoleh berdasarkan pengecapan (dzauq). Dan pengecapan yang terjadi selama berlangsungnya penyaksian tersebut merupakan pengecapan tentang rahasia-rahasia (asrar) yang berbeda dengan pengecapan yang dialami dalam hal-hal objek dan kesenangan indrawi atau konsideratif.

Segala sesuatu selain Tuhan (hal-hal indrawi) memiliki kemiripan atau keserupaan satu dengan yang lainnya sehingga memungkinkan mereka yang mengecapnya untuk menciptakan terminologi teknis bersama tentang objek-objek kecapan tersebut sedemikian sehingga memungkinkan seseorang untuk dipahami yang lainnya. Akan halnya Tuhan, karena Dia tidak memiliki keserupaan atau kemiripan, maka mustahilah bagi mereka yang berkesempatan mengecap-Nya untuk menciptakan istilah-istilah teknis tentang-Nya, sebab apa yang disaksikan tentang-Nya oleh seseorang tidaklah sama dengan yang disaksikan orang lain. Cara-pandang inilah yang menjadi pegangan para gnostik. Karenanya, tidak ada seorang gnostik pun yang mampu menyampaikan apa yang ia saksikan tentang Rabbnya kepada gnostik lainnya sebab keduanya sama-sama menyaksikan Dia yang tidak memiliki keserupaan. Mereka menyadari bahwa Tuhan tidak pernah menyingkapkan Diri-Nya dalam dua bentuk kepada dua individu, tidak pula dalam satu bentuk untuk dua kali penyingkapan.

Ketika Tuhan menyingkapkan Diri-Nya dalam suatu bentuk, maka seorang individu memperoleh pengatahuan tentang-Nya melalui bentuk itu. Selanjutnya, ketika Dia menyingkapkan diri-Nya dalam bentuk kedua, individu tadi akan memperoleh pengetahuan tentang-Nya yang tidak ditemukannya dalam bentuk pertama, demikian seterusnya. Dan hal ini berlaku untuk semua orang. Masing-masing individu memperoleh penyingkapan-diri Tuhan yang khas untuk dirinya sendiri melalui dirinya sendiri. Karenanya, tidak ada satupun bentuk yang menjadi tempat penyingkapan diri Tuhan kepada seseorang yang menyerupai bentuk penyingkapan lain-Nya-baik kepada dirinya maupun kepada orang lain. Kesadaran inilah yang membuat para gnostik untuk tidak membuat-buat istilah teknis yang dapat menghasilkan pengetahuan positif tentang bentuk penyingkapan-Nya.

Keberbedaan atau ketiada-serupaan penyingkapan bentuk-bentuk ini pada gilirannya menandai aspek ketak-terbatasan Tuhan, kendatipun situasi aktualnya tidak dapat dideskripsikan sebagai terbatas atau tidak-terbatas. Ketakterbatasan Tuhan justru berarti bahwa Tuhan dapat memasuki segala bentuk keterbatasan tanpa perlu terikat oleh suatu bentuk yang terbatas. Karena itu situasinya menunjuk pada Wujud yang Maha Meliputi (wujud ‘amm). Sehingga Dia adalah identik dengan segala sesuatu, akan tetapi segala sesuatu tidak identik dengan-Nya. Barangsiapa yang menyatakan Dia sebagai tak-terbatas maka ia berarti tidak mengetahui-Nya. Demikian pula, barang siapa yang menyatakan-Nya sebagai terbatas berarti ia tidak mengetahui-Nya. [58] “Jika kamu mengatakan tanzih (tak-terbatas), kamu membatasi[-Nya]. Jika mengatakan dengan tasybih [serupa, terbatas], kamu juga membatasi-Nya. Jika kamu mengatakan keduanya kamu benar.” 59


Catatan kaki:
1. Muhyiddin Ibn ‘Arabi, al Futuhat al Makiyyah, 4 volume, t.th, Dar as Sadir, II 516.34., III 362.5 (Selanjutnya karya ini disebut Futuhat).
2. Futuhat, III 525.23, Fushush, 103,104.
3. Ibid, III 525.25.
4. Ibid. III 46.27., 29, .47.31.
5. Ibid. III 46.27.,29, . 47.31.
6. Ibid, III 314.7.
7. William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn ‘Arabi`s Metaphisic of Imagination, 1989, Albany: State University of New york, hal 135-36.
8. Futuhat, I 119.3.
9. Ibid, III 363.32; I 119.3.
10. Ibid, II 432.35.
11. Ibid, IV 294.11.
12. Ibid, I 90.13.
13. Ibid, III 546.24.
14. Ibid, III 547.31.
15. Hitungan waktu yang biasa dinamakan ‘hari’ merujuk pada gerakan yang terdapat dalam sfera yang paling besar. Gerakan matahari yang memunculkan pembedaan antara siang dan malam hari serta pembedaan yang memunculkan hitungan waktu yang biasa kita sebut ‘hari,’ merupakan salah satu dari Wujud hal-hal yang bergerak yang mengisi wujud yang terentifikasi-dan pada kenyatataannya tidak ada selain gerakan-gerakan tersebut yang mengisinya-yang pada dirinya sendiri tidak dapat diidentikkan dengan waktu. Walhasil waktu merupakan persoalan imajiner yang tidak ditemukan realitasnya. Dan hari yang terdapat dalam imajinasi dan pemahaman ini kemudian menjelma seolah-olah sebagai waktu yang benar-benar ada (existent time), sehingga melaluinya hitungan minggu, bulan, tahun dan al-dahr menjadi maujud. Dalam hubungannya dengan hitungan waktu-waktu ini, hari merupakan hitungan waktu terpendek. Ibid, I 291.35.
16. Makna mutawahham juga dimengerti sebagai khayyal (imajinasi), sehingga keduanya nampaknya dapat digunakan secara bergantian. Lihat Ibn ‘Arabi, Fushus al-hikam, hal. 103.
17. Futuhat, III 546.24.
18. Ibid, I 90.13.
19. Ibid, I 292.16, II 82.6, III 434.3 (SPK 392) (IV 425.7).
20. Ibid, II 441.34 (SPK 392).
21. Ibid, III 201.12 (SPK 393).
22. Ibid, III 201.12; 202.4.
23. Ibid, III 280.26.
24. Ibid, IV 62.2
25. Ibid, III 198.33, III.315.11, 16.
26. Ibid, III 198.26.
27. Ibid, III 452.24.
28. Ibid, II 432.12.
29. Ibid, II 500.6.
30. Ibid, IV 19.22,34., II 313.17.
31. Ibid, II 313. 17.
32. Ibid, III 547.5.
33. Ibid, III 525.25.
34. Ibid, II 63.2, II 666.34.
35. Ibid, IV 211.7.
36. Suatu urusan, dari sudut pandang dirinya sendiri, nampak (appear) sebagai suatu kemungkinan, akan tetapi tidak demikian halnya dari sudut pandang Tuhan yang mengetahui mana dari kemungkinan-kemungkinan suatu urusan tersebut yang akan terjadi dan dari sudut pandang-Nya yang Kehendak-Nya adalah satu mengikuti objek pengetahuan-Nya. Jika Kehendak-Nya berhubungan dengan sesuatu maka sesuatu itu tidak bisa tidak terjadi dan karenanya ia tidak lagi terkualifikasi “kemungkinan.” Itulah sebabnya mengapa seseorang yang melihat situasi tersebut tidak lagi menyebut suatu urusan sebagai “sesuatu yang mungkin” melainkan “urusan yang eksis secara niscaya melalui selain-Nya”. Ibid, II 334.24
37. Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, 1999, Bandung : Mizan, hal. 415.
38. Futuhat, II 334.24.
39. Ibid, II 56. 16.
40. Ibid, III 525.23.
41. Fushush, 103,104.
42. Futuhat, IV 39.24
43. Ibid, III 543.19
44. Ibid, IV 72.20.
45. Ibid, II 184.26.
46. Ibid, IV 72.20.
47. Ibid, II 577.32.
48. Ibid, III 117.3.
49. Ibid, II 578.1.
50. Ibid, III 523.18; 524.15.
51. Dikutip William C. Chittick dalam The Self-Disclosure of God : Principles of Ibn al-’Arabi`s Cosmology, 1998, Albany : State University of New York Press, hal. 115.
52. Ibid, hal. 115.
53. Futuhat, II 529.22.
54. Ibid, III 524.17. Dengan pencapaian seperti ini seseorang dapat terbebas dari cacat spiritual yang berwajah-dua: mencintai (menyembah) objek tanpa transendensi atau menyalah-pahami transendensi dengan melepaskannya dari objek tercinta (sembahan) yang memungkinkan termanifestasinya transendensi itu. Bdk. Henry Corbin, Creative Imagination In the Sufism of Ibn ‘Arabi, 1969, Princeton: Princeton University Press, hal. 133-34.
55. Futuhat, III 38.23. Dalam keadaan terjaga sebagian orang (ahli kasyaf) dapat melihat apa yang dilihat orang pada saat tertidur (IV 99.8). Ibn ‘Arabi membedakan antara imajinasi yang berhubungan dengan subjek dan yang tidak berhubungan dengan subjek. Bagi imajinasi pertama visi terjadi dalam fakultas imajinasi itu sendiri, mimpi misalnya. Sementara bagi yang kedua, visi terjadi di luar fakultas tersebut, misalnya visi terhadap malaikat yang mengimajinalisasikan dirinya sebagai Dahya al-Qalbi.
56. Ibid, III 162.23.
57. Ibid, III 132.15,24.
58. Ibid, III 384.18.
59. Fushus, hal. 70. Futuhat, I 290.5.

Do-a Ali Bin Abi Talib

Ya Allah, peliharalah kehormatan wajahku dengan kecukupan. Jangan jatuhkan martabatku dengan kemiskinan, sehingga aku terpaksa mengharapkan rizki dari manusia, yang justru mengharapkan rizki-Mu, atau memohon belas kasihan dari hamba-hambamu yang jahat. Atau tertimpa bala’ sehingga memuji siapa yang memberiku atau mencela siapa yang menolakku. Sedangkan Engkau, Engkaulah yang ada di balik semuanya itu, yang sebenarnya memberi atau menolak. Sesungguhnya Engkau, Engkaulah yang Mahakuasa atas segala-galanya.

Allahumma, Engkaulah yang paling dekat menghibur para wali-Mu, yang paling menjamin kecukupan bagi siapa saja yang bertawakkal kepada-Mu. Engkau melihat sampai ke lubuk hati mereka, menembus jauh ke dalam nurani mereka. Semua rahasia mereka telanjang dihadapan Engkau, semua bisikan hati mereka mendamba dan mengharap dari-Mu. Bila tersiksa dengan keterasingan, mereka terhibur dengan sebutan-Mu. Dan bila tercurah atas mereka aneka ragam musibah, mereka pun berlindung kepada-Mu. Mereka sungguh-sungguh mengerti bahwa kendali atas segalanya ada di tangan-Mu, sebagaimana pula bahwa segala kemunculannya berasal dari ketentuan-Mu.

Allahumma, bila aku tak mampu mengutarakan permohonanku, atau tak mampu melihat keinginanku, tunjukilah aku sesuatu sejauh yang akan mendatangkan maslahat bagiku. Sebab, itu semua bukanlah hal yang menakjubkan jika ada di antara jalan-jalan hidayah-Mu, bukan pula itu adalah sesuatu yang baru diantara kekuasaan-kekuasaan-Mu.

Allahumma, sikapilah daku dengan ampunan-Mu, dan jangan perlakukan aku dengan keadilan-Mu.” (Nahjul Balagoh)

Rabu, 08 Desember 2010

sabda Nabi Muhammad tentang Kejujuran

  1. Tentang Kenegaraan “Musyawarahkanlah urusanmu itu diantara kamu, dan jangan membuat keputusan dengan satu pendapat saja”.
  2. Tentang Oposisi “Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran, hendaknya ia merusaknya dengan tangannya, apabila ia tidak mampu maka hendaknya dengan lidahnya, dan apabila ia tidak mampu, maka hendaknya dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman”.
  3. Tentang Sogok “Barangsiapa menyenangkan hati seorang penguasa atas perbuatan buruknya yang dibenci oleh Tuhannya, maka sesungguhnya orang itu telah keluar dari agama Allah”.
  4. Tentang Korupsi “Khianat yang terbesar ialah tindakan seorang wali (pejabat) yang memperdagangkan milik rakyatnya”.
  5. Tentang Kejujuran “Seorang pembesar apabila pembesar itu mati, sedang ia tidak jujur terhadap rakyatnya, niscaya dia diharamkan Allah SWT masuk Syurga”.
  6. Tentang Kepemimpinan Aparatur Negara “Seseorang yang telah ditugaskan Allah memerintah rakyat, kalau dia tidak memimpin rakyat dengan jujur, niscaya dia tidak memperoleh bau Syurga”.
  7. Tentang Jabatan Kenegaraan “Wahai Allah, siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan umatku lalu ia menyulitkan mereka, maka persulit pulalah ia, dan siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan umatku, berusaha menolong umatku, maka tolong pulalah dia”.
  8. Tentang Pejabat Negara “Bila suatu jabatan ditempati oleh orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”.
  9. Kepada sahabat-sahabat beliau “Sesungguhnya kamu sangat mengharapkan jabatan Negara, tetapi di hari kiamat hal itu menjadi penyesalan…, Engkau ini lemah, sedangkan pekerjaan itu amanah yang pada hari kiamat kelak dipertanggungjawabkan dengan resiko penuh kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang-orang yang memenuhi syarat dan dapat melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya dengan baik”.

Apakah Bangsaku Tidak Lagi Diperhitungkan?

Ustad Yusuf Mansyur.

Apakah Bangsaku Tidak Lagi Diperhitungkan?

2004 saya jalan ke Brunei. Karena saya pikir dkt, saya cuma bawa 1
kantong plastik saja. Ternyata di perjalanan, bawaan saya bertambah.
Begitu masuk bandara Brunei, saya berniat membli tas. saya tawarlah 1
tas di 1 toko. Setelah dikurskan ke rupiah, angkanya jd 4,2jt. saya
terbelalak, dan setengah bercanda saya bilang bahwa di Indonesia, tas
kayak gini palingan 300-400rb atau paling mahal 1jt dah. Eh, si penjaga
toko memasang muka merendahkan gitu, dan bilang: "No no no... Bukan tas
kami yang mahal, tapi you punya rupiah yang tak ada harga!".

Ya Allah, seperti ditampar rasanya muka saya. Segitunyakah rupiahku?
Segitunya kah negeriku? Mata uangnya tak ada harga. Lalu, pegimana
bangsanya? Bagaimana negerinya? Adakah martabatnya?

2008 ini entah yang keberapa kali saya mengadakan prjalanan keluar
negeri. Sudah tidak saya hitung lg saking seringnya, he he he. Nikmat
ini saya syukuri. Saya tringat, dulu saban saya dimandiin dan
dipakaikan pakaian oleh ibu saya, ibu saya hampir selalu berdoa dg doa
yang relatif sama. Ya, hampir selalu. Doanya biar saya, katanya,
gampang bulak balik ke mekkah, seperti ke pasar. Terus biar bisa
keliling dunia. Yusuf kecil saat itu, sempat pula bertanya sambil
ketawa, masa iya ke mekkah segampang ke pasar? Lagian mana mungkin sih
keliling dunia? Ibu saya menjawab, eeeehhhh... Allah Punya Kuasa. Kalo
DIA mau, gampang buat DIA mah. Nabi Muhammad aja diterbangin isra
mi'raj.

Ya itulah doa ibu saya. Alhamdulillah. Trnyata betul. Sekarang saya
alami sendiri. Pergi haji buat saya pribadi udah benar-benar gampang.
Alhamdulillah. Biar pintu pendaftaran dah ditutup, saya masih bisa
pergi dengan undangan kerajaan punya, atau dengan cara-cara yang
tahu-tahu saya udah di sana! Subhaanallaah memang. tapi saya ga aji
mumpung. Waktu ibu saya, mertua dan rombongan keluarga ga dapat nomor
haji, banyak orang dekat bilang, pake dong power ente. Ah, saya mah
malah bilang, sabar ya bu. Sabar ya wahai keluargaku. Pergi haji mah
urusan Allah. Ga usah dicari-cari. Kalo dah waktunya, ya waktunya.

Dan alhamdulillah, pergi ke luar negeri pun sekarang ini saya yang
susah payah menolak undangannya. Masya Allah. And I speak not only in
bahasa; but both in arabic and english as an international language.

Saya bersyukur dengan keadaan ini, tapi sekaligus ada yang membuat saya
menjadi tertegun. Betapa "Jakarta" dah ga dianggap. Di hampir semua
bandara internasional; baik asia, maupun non asia, nama "Jakarta" ga
ada lagi di board penunjuk waktu.. Yang ada: London, Paris, New York,
dan kota-kota besar dunia. Bahkan ada nama Kuala Lumpur! Sedang
Jakarta, yang mewakili satu nama besar: Indonesia, ga ada lagi di board
tersebut.

Apa yang sedang terjadi dengan bangsa kita, kita semua tahu...

REFORMASI INTELEKTUAL Jalan menuju 'Kemerdekaan' Mahasiswa

REFORMASI INTELEKTUAL
Jalan menuju 'Kemerdekaan' Mahasiswa



DEWASA ini reformasi telah menjadi sebuah istilah yang gaungnya menggelegar menggema diseluruh persada nusantara, bak gemuruh yang setiap waktu siap menghancurkan dan menghentikan pelbagai kesombongan dan ketidakadilan. Mahasiswa, cendikiawan, seniman, rakyat, birokrat, dan tukang becak pun berbondong-bondong membonceng kata reformasi untuk mendesakkan harapannya. Sayang, reformasi yang merupakan mutiara tersebut kerapkali dijadikan tunggangan pihak-pihak tertentu demi vested interest. Sehingga mutiara yang indah, mengkilap, bersih, dan berharga tersebut sesekali bisa berubah seketika menjadi sebuah istilah yang menyeramkan, dan tidak mustahil bisa membuka peluang untuk timbulnya dan kesewenang-wenangan.
Kita terkadang tidak bisa lagi melihat reformasi sebagai suatu proses dialektika berpikir ke arah yang lebih baik, ke dalam suatu perubahan hakiki dari hal-hal yang tidak demokratis menuju hal-hal yang demokratis, dari orde penindasan ke orde kemanusiaan dan dari keterbelakangan menuju kemajuan. Fenomena tersebut diperparah dengan terbentuknya gelombang reformasi yang dielu-elukan berbagai lapisan masyarakat yang cenderung tidak dipahami secara proporsional sehingga terkesan anrkis. Argumentasi dan pertimbangan emosional, bahkan kerangka moralitas dan rasionalitas sebagai basic ( dasar ) pijakan terciptanya perubahan sosio-politik sudah tidak signifikan lagi keberadaannya. Terbukti semua pihak berlomba-lomba mencari prestise politik dengan memanfaatkan kondisi lingkungan yang represif.
Melihat gejolak reformasi yang tengah mengalami laissez fire ( Kebebasan yang tidak terkendali ) ini, perlu kiranya ada sebuah bentuk usaha untuk menggiringnya pada situasi yang demokratis, kondusif, dan penuh pengertian banyak pihak. Di satu pihak pemerintah sebagai objek sentral dari tuntutan perubahan hendaknya selalu mengusahakan secara sungguh-sungguh apa-apa yang menjadi harapan masyarakat yang kemudian meminimalisir kecurigaan psikologis yang berbuntut fitnah. Di lain fihak masyarakat mesti jeli menyikapi setiap dinamika sosial dan memfilter arus informasi yang berkembang. Ini penting dalam menyelaraskan reformasi tersebut dengan harapan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan menghindarkan dari tindakan-tindakan yang menghalalkan segala cara dengan mendompleng kedok reformasi.

Reformasi intelektual
Adalah sangat paradoks, ketika kita bicara reformasi dalam lingkup yang luas (nasional), sementara dalam realitas kehidupan keseharian kita terdapat pelbagai ketimpangan, penindasan, korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mengutip lagu Roma Irama bahwa hal tersebut laksana semut di seberang lautan jelas kelihatan dan gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Mungkin bisa di katakan sebagai manusia yang kurang normal jika kita tidak mampu melihat gajah tersebut secara jelas. Entah kalau kita sudah terjebak penyakit "rabun" reformasi . Masih mending kita dihinggapi oleh "rabun" cantik, sehingga tidak mudah tergoda oleh yang cantik-cantik. Tetapi tatkala "rabun" reformasi menghinggapi diri kita, apa boleh dikata moralitas kita perlu dipertanyakan, kemanusiaan dan harga diri kita perlu dikonstruksi kembali.
Mengenai agenda reformasi ini ada beberapa aspek strategis yang luput dari perhatian dan ingatan kita. Aspek-aspek tersebut adalah aspek intelektual yang perlu di implementasikan melalui reformasi Intelektual. Berkenaan dengan reformasi ini, masih belum banyak kalangan yang concern dengan agenda reformasi intelektual. Padahal disadari betul bahwa tidak mungkin bangsa ini akan bangkit kembali jika tidak ditangani oleh mereka yang mempunyai kualitas intelektual tinggi. Bangsa kita masa mendatang membutuhkan kader-kader yang profesional. Yang diharapkan lahir dari dunia perguruan tinggi, yaitu kampus.
Merupakan tugas berat dari setiap institusi perguruan tinggi untuk membenahi basic intelektual para mahasiswanya. Salah satunya adalah membuka peluang selebar-lebarnya terhadap mahasiswa untuk selalu mempertajam daya pikir, sikap kritis dengan senantiasa berpegang terhadap nilai-nilai moralitas. Ini sangat urgent dilakukan untuk menghindari pelbagai kepentingan yang selalu mencari peluang untuk memanfaatkan gerakan mahasiswa.
Secara konseptual, reformasi intelektual dapat dimulai dengan beberapa strategi dengan secepatnya melakukan langkah-langkah sebagai berikut : Pertama, pihak perguruan tinggi sudah semestinya memposisikan lembaga-lembaga kemahasiswaan (mahasiswa) sebagai partner group dalam membangun progresivitas institusi kampus. Dalam hal ini pihak rektorat, pembantu rektor, dekan, pembantu dekan, dan dosen harus mampu menempatkan kedudukannya pada posisi yang seharusnya, yakni sebagai peran pendidik baik secara langsung atau pun tidak merupakan kewajibannya untuk selalu mengarahkan mahasiswa sebagai peserta didik dalam rel berpikir kritis.
Dari kontribusi pemikiran para dosen diharapkan mahasiswa tercetak sebagai golongan cerdik pandai sesuai dengan cita-cita tridarma perguruan tinggi, dan tercapainya sasaran tujuan pendidikan nasional. Yakni pendidikan sebagai usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan( kualitas ), serta kedewasaan yang dilakukan di dalam dan di luar kampus, yang berlangsung seumur hidup (GBHN 1973 PS. 3 ) .
Kedua, pihak rektor, pimpinan fakultas harus memberikan kebebasan sekaligus peluang kepada mahasiswa untuk selalu berdialektika dengan berbagai pihak seperti tokoh-tokoh kritis, dimana selama rezim orde baru yang di mulai dari periode Daud Joesoep dengan NKK/BKK (Normalisasi kehidupan kampus/ Badan Koordinasi kehidupan Kampus ), terkesan dianggap tabu untuk mengundang tokoh-tokoh kritis tersebut. Ketiga, hindarkan struktur kelembagaan perguruan tinggi yang cenderung menghambat daya kritis mahasiswa. Ini dibuktikan tatkala tahun 1983 Nugroho Notosusanto mengeluarkan ide institusionalisasi dan profesionalisasi melalui transpolitisasi kehidupan kampus. Dengan kebijakan tersebut berarti mahasiswa tidak menemukan kebebasan dalam mengekspresi potensi intelektualnya lantaran terkooptasi oleh aturan-aturan perguruan tinggi.
Berbeda dengan tahun 66 sampai era Dewan Mahasiswa ( DEMA ) dimana mahasiswa memiliki kebesan penuh dalam mepresentasikan peran sosialnya atau yang kemudian dikenal dengan Student Govertment. Dengan konsep Dema ini, kampus menemukan faktor dominannya untuk mensikapi berbagai dinamika yang terjadi menyangkut kepentingan rakyat dalam negara. Mahasiswa kembali menemukan jati dirinya, sedangkan selama ini eksistensi mahasiswa kerapkali dipertanyakan, karena mahasiswa dianggap bukan insan berkepribadian lagi, setelah hilangnya sikap idealismenya.
Kalau kita telaah kedudukan mahasiswa dalam dekade orde baru terutama ketika dikeluarkannya SK No. 0457/ U/ 1990 tentang pedoman umum organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi yang jelas-jelas memberangus kebebasan mahasiswa atau diposisikannya rektor sebagai penanggungjawab satu-satunya di perguruan tinggi.
Keempat, pihak perguruan tinggi harus memperhatikan fasilitas-fasiulitas penunjang bagi terwujudnya kader intelektual, seperti halnya perpustakaan kampus yang refresentatif. Ini dapat ditempuh dengan selalu melengkapi rak-rak perpustakaan kampus dengan buku-buku yang lengkap, referensi terbaru, atau buku-buku langka yang membantu mendukung kearah meningkatnya ilmu pengetahuan dan wawasan berpikir mahasiswa. Sebab matinya perpustakaan menunjukan matinya intelektualitas mahasiswa.
Kelima, mahasiswa hendaknya menghidupkan kembali kelompok-kelompok diskusi, pengkajian-pengkajian, dan enelitian-penelitian ilmiah. Disamping itu transfer informasi dari berbagai kalangan perguruan tinggi melalui media-media seperti pers mahasiswa, internet, dan lain-lain sangat memiliki akses besar untuk menambah daya kritis mahasiswa.
Bentuk strategi tersebut di atas adalah sebagai upaya untuk menuingkatkan kualitas mahasiswa, sehingga tidak ada anggapan sinis bahwa mahasiswa Indonesia, sebagian atau mayoritas alumni perguruan tinggi menjadi ""sarjana Traumatik " , karena keilmuan dan keterampilan yang dimilikinya dirasakan tidak mumpuni tatkala dihadapkan pada persoalan-persoalan riil yang terjadi di masyarakat. Hal ini karena adanya penyimpangan orientasi perguruan tinggi dan mahasiswa itu sendiri ke arah birokrasi bukan kearah keilmuan.

Tetapi perlu di ingat bahwa reformasi intelektual dimaksud bukan untuk memarjinalisasi sikap kritis, daya inovatif dan kreativitas mahasiswa. Justru dengan intelektualitas yang memadai yang ditunjang dengan pemahaman-pemahaman yang proporsional akan lebih membuka mata hati terhadap masyarakat. Di sisi lain reformasi intelektual tersebut tidak menafikan masalah sosio-politik, artinya partisipasi aktif mahasiswa dalam kehidupan sosial politik bisa saja dilakukan asalkan pada konteks dan kedudukannya sebagai mahasiswa dimana setiap langkah, gerakannya adalah dalam rangka memperjuangkan nilai-nilai moralitas bangsa dan negara, sebagai social control.
Jadi penulis beranggapan bahwa demonstrasi adalah salah satu dari cermin intelektualitas mahasiswa, jika demonstrasi itu berada pada posisi demi membela kepentingan rakyat. Maka dari itu penulis tidak sepakat jika ada anggapan bahwa silahkan boleh bicara politik dari rel akademis bahkan secara ilmiah tetapi jangan sampai demo-demoan. Pendapat ini jelas merupakan kunci mati mahasiswa dalam berpartisifasi aktif dalam kehidupan sosial politik. Jika pendapat diatas menjadi sebuah legalitas dan berbentuk kebijakan-kebijakan seperti halnya pernah dilakukan Mendikbud Nugroho Notosusanto tentang Transpolitisasi kampus, maka akan menciptakan kader-kader bangsa yang kurang antisifatif terhadap lingkungannya, kurang mempunyai kepedulian sosial dan rasa keprihatinan akan yang mendalam terhadap kondisi bangsanya.****

Akar Kebisuan Generasi Muda Sunda

Akar Kebisuan Generasi Muda Sunda


Oleh AHMAD ZAKIYUDDIN

PR 27 Peb 2002

MENANGGAPI tulisan Y. Herman Ibrahim (PR/30/1/2002) yang menggugat sekaligus mempertanyakan keberadaan nonoman Sunda kiwari sangat menarik untuk dikaji. Ia dengan bahasanya yang khas kembali mengulangi ungkapan-ungkapannya yang cukup provokatif mengenai perlunya gerakan kiri Sunda yang dimotori oleh nonoman Sunda untuk mengkritisi kebijakan pusat yang dirasakan tidak adil terhadap wilayah Jawa Barat. Membaca tulisan tersebut, penulis melihat ada kerinduan terhadap sebuah kebangkitan gerakan nonoman Sunda dalam konteks yang cukup radikal. Namun sayang, ia hanya mengutarakan ilustrasi sejarah sebatas radikalisme kekuasaan nonoman Sunda masa lalu yang terpinggirkan dalam wilayah kekuasaan birokrasi oleh alumni UGM yang banyak mengisi jabatan-jabatan di kota-kota kabupaten Jawa Barat. Padahal sebagai salah satu nonoman Sunda, penulis pun ingin mengetahui gerakan radikal lain dalam wilayah kesejarahan Sunda. Yang dalam pemikiran penulis masa sih sejarah perjuangan Sunda hanya sebatas itu, cukup terwakili hanya oleh Adeng-Ajam saja. Sedangkan Y Herman Ibrahim seolah-olah memandang sebelah mata bagi perjuangan-perjuangan radikal lain dengan menyebut "sejak itu orang Sunda berikut elitenya tidak ada lagi yang berani memperjuangkan nasib Ki Sunda", sebagai ilustrasai pasca perjuangan Adeng-Ajam, karena takut disebut sukuisme dan provinsionalisme.

Di sisi lain, penulis melihat apa yang diungkapkan Y. Herman Ibrahim tentang beberapa strategi untuk meningkatkan martabat, eksistensi dan bargaining position (daya tawar) orang Sunda sangat utopis untuk bisa mewujud, meskipun menjamurnya organisasi, LSM dan institusi kesundaan. Untuk itu perlu dicari penyebab kebisuan nonoman Sunda agar bisa dicarikan solusinya ke depan. Dalam pandangan penulis, selain tidak adanya kaderisasi yang jelas, faktor yang menjadi akar kebisuan generasi muda Sunda bisa diidentifikasikan sebagai berikut :

Pertama, kurangnya transformasi tauladan dari sesepuh Sunda untuk secara simultan memberikan contoh yang baik dalam berbagai bidang, baik dalam konteks politik, ekonomi, sosial budaya dan lain sebagainya. Ide, gagasan, bahkan gugatan dari sesepuh Sunda semisal Y. Herman Ibrahim akhirnya ada kekhawatiran hanya akan merupakan angin lalu yang tidak mampu memberikan magic bagi perubahan sikap dan tingkah laku orang-orang Sunda sendiri. Terbukti, semenjak wacana mengenai kebangkitan Ki Sunda menggelinding akhir-akhir ini, belum terasa secara substansial langkah-langkah nyata dari berbagai pihak yang mengklaim sebagai institusi, LSM atau organisasi yang memperjuangkan nasib orang Sunda. Mereka yang mengatasnamakan pejuang Sunda hanya menjadikan Sunda sebatas komoditas ekonomi, politik, budaya bagi kepentingan individu dan kelompoknya masing-masing, sehingga tak heran jika gerakan apa pun yang dilakukan tidak pernah mampu memberikan arah, motivasi untuk mendorong semangat batin, ahlak, moral, dalam merekayasa terbentuknya masyarakat Sunda yang memiliki dimensi sumberdaya manusia yang handal. Yang ada hanya sebatas kerumunan bukan barisan yang dalam pandangan penulis sangat tidak mutualistik kalau hanya berupa gugatan, keluhan, dalam forum-forum seminar, diskusi dan simposium tokoh dan masyarakat Sunda yang sebatas simbolisme semata.

Kedua, kualitas Sumber Daya Manusia orang Sunda sangat lemah. Ini dilihat dari jiwa leadership nonoman bahkan sesepuh Sunda yang sangat sedikit memiliki kualifikasi kepemimpinan. Minimnya orang-orang Sunda yang punya kualitas kepemimpinan yang bisa dibanggakan, apalagi untuk menduduki jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan pusat cukup memprihatinkan. Bahkan di kandang sorangan (rumah sendiri) seperti di lembaga legislatif Provinsi Jawa Barat, orang-orang Sunda tidak mencapai angka 50 %. Padahal kalau melihat sejarah, dalam naskah Sunda Abad XV-XVI Masehi, yaitu Sanghyang Siksa Kandang Karesian dapat kita temukan berbagai pola dan strategi leadership masyarakat Sunda pada zaman itu yang sangat berkualitas untuk dicontoh pada zaman ini. Kitab babon orang Sunda tersebut mengutarakan mengenai bagaimana seharusnya bersikap, baik untuk diri sendiri maupun untuk umum yang disebut Tri Tangtu di Buana dalam kedudukan dan fungsi baik sebagai resi, rama, maupun ratu. Dalam pemerintahan Prabu Siliwangi yang memerintah Pajajaran 1482-1521 M sudah pula terkonsep leadership yang disebut dengan Parigeuing yang artinya "bisa memerintah orang lain dengan perilaku dan tutur kata yang baik", sehingga merasa senang yang diperintah. Sebelum bisa berparigeuing, seseorang harus mampu ber-Dasa Pasanta, yaitu kemampuan metode berinteraksi. Dikatakan pula bahwa seseorang akan bisa memimpin bawahan, bila sang leader mempunyai kualitas jati diri yang mumpuni.

Ketiga, jargon Silih Asah, Silih Asih, dan Silih Asuh yang merupakan filosofi dan jati diri orang Sunda, tidak memiliki implementasi yang jelas di masyarakat. Konsep yang sangat bagus tersebut hanya dihargai sebatas memperbincangkannya dalam berbagai forum diskusi, tetapi tidak dicarikan solusi untuk menjadikannya membumi dan melekat di setiap individu orang Sunda di bumi pasundan ini. Silih Asah yang menawarkan transformasi intelektual, transformasi pengalaman jarang ditemukan, sekalipun ada hanya berupa gelombang sesaat yang tidak memiliki kontinyuitas. Andai konsep Silih Asah ini menjadi sebuah jati diri orang Sunda, maka akan terlihat perwujudannya berupa kualitas berpikir, kreatif dalam mencipta. Silih Asih yang merefleksikan empati, humanisme, dan kasih sayang, akan berdampak cukup signifikan pula pada etos kerja yang tinggi, aktif, disiplin, gotong royong, solidaritas dan bertanggungjawab.

Begitu halnya dengan Silih Asuh lebih pada proses membimbing, mendidik, saling menasihati yang dijiwai kasih sayang sehingga efeknya akan terasa pada timbulnya suasana kebersamaan, saling menghormati dan saling memberi dan menerima.

Solusi Cerdas Membangun Generasi Baru Sunda

Solusi akar kebisuan nonoman Sunda menurut hemat penulis adalah sebagai berikut:

Pertama, harus dibangun paradigma transformasi yang positif secara berkesinambungan antara generasi tua dan generasi muda Sunda berupa transformasi pengalaman, dan transformasi intelektual. Ini penting untuk membendung gerakan modernisme yang cenderung hedonis-pragmatis dan mematikan socio-cultural masyarakat Sunda, terutama pada perubahan prilaku generasi mudanya. Bahkan lebih jauh lagi modernisme yang tidak dibarengi dengan kesadaran socio cultural tadi akan membumihanguskan potensi moral dan kebersamaan. Sebab gencarnya pembangunan infra struktur modern di tengah format struktur masyarakat Sunda yang rapuh dan tradisional akan memicu sikap afektivitas, yaitu yang memandang individu atau kelompok secara emosional yang pada akhirnya akan timbul intoleransi, reaksioner dan tak mempunyai harkat dan martabat.

Kedua, mulailah dengan contoh yang baik dari berbagai kalangan organisasi kesundaan, LSM, tokoh-tokoh, ataupun sesepuh Sunda dalam mewarnai dinamika pembangunan bangsa. Caranya adalah dengan terjun secara bersama-sama ke lingkungan masyarakat untuk melakukan proses penyadaran melewati pendidikan. Penulis berpendapat bahwa ilmu pengetahuan atau pendidikan adalah alat yang vital dan efektif untuk membebaskan dari kebisuan nonoman Sunda. Untuk itu akan sangat baik jika elemen-elemen Sunda mampu menyalurkan generasi baru Sunda untuk terus melanjutkan pendidikan melalui orang tua asuh, pemberian beasiswa dalam mengenyam pendidikan, baik di dalam maupun di luar negeri. Sementara dewasa ini sangat sedikit para tokoh Sunda, pengusaha dan birokrat dari Sunda yang mempunyai kepedulian terhadap nasib pendidikan generasi baru Sunda.

Ketiga, harus disudahi segala bentuk perpecahan di antara elite Sunda, dengan lebih mengedepankan kesadaran primordial kesundaan bukan egoistis pribadi sang tokoh. Karena sadar atau tidak, semua bentuk egoisme dan perpecahan di kalangan elite Sunda akan berpengaruh terhadap refresifitas generasi baru Sunda.

Pertanyaan terakhir yang ingin penulis kemukakan, sampai kapan para tokoh Sunda, LSM dan institusi kesundaan coba berpolemik mengenai nasib orang Sunda, sementara nasib jutaan masyarakat Sunda masih saja tertindas dan membutuhkan sesegera mungkin dewa penolong yang tidak pernah butuh retorika, gugatan, keluhan. Bahkan mereka tidak peduli dengan institusi apa pun yang mengklaim memperjuangkan kesundaan. Bagi mereka, peningkatan tarap kehidupan, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya adalah kebutuhan nyata yang mendesak dan tidak bisa diobati hanya sebatas retorika di forum diskusi dan seminar manapun.***

Spirit Baru Ki Sunda

Spirit Baru Ki Sunda

Oleh Ahmad Zakiyuddin

Pada tanggal 26 Juli s.d 27 Juli 2010 Paguyu- ban Pasundan baru saja melaksanakan kongresnya yang ke- 41. Kongres tersebut sejatinya memunculkan harapan dan inovasi baru tidak sebatas rutinitas pergantian kepemimpinan Paguyuban Pasundan. Kongres seharusnya memunculkan spirit baru bagi perubahan harkat dan martabat Ki Sunda, yaitu menjadi fasilitator, dinamisator, dan katalisator perubahan sosial masyarakat Sunda menuju masyarakat unggul dina sagala widang kahirupan sebagaimana filosofi urang Sunda anu nyunda, nyantri, nyakola sareung nyantika.

Paguyuban Pasundan semenjak berdiri sesungguhnya telah menorehkan semangat perubahan bagi Ki Sunda, khususnya terhadap generasi muda Sunda. Hal ini tercermin dari sosok dan karakter Oto Iskandardinata yang memiliki perhatian luar biasa terhadap generasi muda Sunda. Oto Iskandardinata menunjukkan jati diri orang Sunda anu sajati, anu teu unggut kalinduan teu gedag kaanginan tur leber wawanen.

Oto Iskandardinata menganjurkan, "Pemuda Sunda! Kalau kalian tidak sungguh-sungguh mengasah diri, bukan mustahil, kalian di tanah air sendiri tidak akan mendapat bagian, terpaksa terus berkosong tangan, sebab kalah oleh golongan lain. Oleh sebab itu, para pemuda Sunda, cepat buka mata, cepat kumpulkan tenaga dan senjata, yang dibangun dengan pengetahuan adat tabiat yang kokoh, yaitu kesungguhan, kemauan, ketekunan, niat yang kuat, dan keberanian. Kalau tidak demikian, sia-sialah, pasti pemuda Sunda terdesak di medan perang dalam mencari penghidupan."

Namun, saat ini, spirit Oto Iskandardinata hanya menjadi kertas sejarah, bahkan semangat kaderisasi regenerasi di Paguyuban Pasundan kian memudar. Salah satu indikasinya, Paguyuban Pasundaan belum maksimal melakukan transformasi regenerasi Ki Sunda.

Moralitas kolektif

Hasil Kongres ke-41 Paguyuban Pasundan harus dijadikan arena pendidikan politik bagi masyarakat Jawa Barat dengan mewujudkan kepemimpinan Paguyuban Pasundan ke depan yang berketeladanan dan berkarakter. Kongres semestinya menunjukkan performa demokrasi sejati yang senantiasa menjunjung tinggi moralitas kolektif demi kepentingan masyarakat, bukan mempertahankan ambisi sempit kelompok elite Paguyuban Pasundan.

Proses demokrasi yang menjunjung tinggi moralitas kolektif perlu ditegakkan dalam memajukan dan dalam pengambilan keputusan organisasi Paguyuban Pasundan. Alasannya, pertama, Paguyuban Pasundan adalah organisasi tertua Sunda yang merupakan milik publik. Keterlibatan kolektivitas publik sesungguhnya modal utama dalam memberikan asupan gizi bagi pertumbuhan Paguyuban Pasundan. Asupan gizi tersebut diharapkan memberikan spektrum warna pelangi yang akan berdampak keseimbangan organisasi. Warna pelangi membuat Paguyuban Pasundan terlihat menawan dan tidak kaku.

Kedua, berdirinya Paguyuban Pasundan sejatinya wujud "ijtihad kolektif" tokoh-tokoh Sunda masa lalu agar Paguyuban Pasundan menjadi "obor" dalam mengangkat harkat dan martabat Ki Sunda. Ijtihad kolektif akan lebih memiliki makna substansial untuk kesejahteraan masyarakat seandainya Paguyuban Pasundan membuka ruang seluas-luasnya untuk hadirnya dialektika lintas generasi, termasuk kritik, saran, dan masukan konstruktif sehingga elemen-elemen Ki Sunda merasa memiliki dalam memajukan Paguyuban Pasundan.

Ketiga, dengan moralitas kolektif, segala tindakan organisasi akan mampu memberi manfaat yang luas bagi masyarakat. Apa pun konsekuensi logis dari semua keputusan yang diambil yang melibatkan moralitas kolektif akan menjadikan nasihat dan pelajaran terbaik bagi kelangsungan kehidupan sosial berikutnya.

Keteladanan

Terwujudnya kepemimpinan yang berketeladanan merupakan fokus prasyarat utama dan terpenting bagi pemulihan Ki Sunda dari deraan multikrisis berkepanjangan. Ketua Umum Paguyuban Pasundan ke depan harus mengembangkan dan mencontohkan kepemimpinan yang berketeladanan. Pertama, keteladanan dalam membangun hubungan yang harmonis dan sinergis dengan berbagai pihak. Kedua, keteladanan dalam menjalankan kebijakan dengan komitmen dan konsistensi tinggi dalam menjalankan amanah organisasi. Ketiga, keteladanan dalam mewujudkan keberpihakan nyata kepada masyarakat Sunda. Keempat, keteladanan untuk menghindarkan dan menjauhkan Paguyuban Pasundan dari sikap pragmatis dengan hanya menyandarkan roda organisasi pada figur yang memiliki jabatan untuk diangkat menjadi pengurus Paguyuban Pasundan daripada menciptakan pengaderan generasi muda Sunda. Pendekatan pragmatisme memunculkan kesan, Paguyuban Pasundan hanya alat politik pihak-pihak tertentu untuk menjadi bemper politik dan hukum, padahal secara real tidak memiliki implikasi manfaat apa pun terhadap proses peningkatan SDM dan regenerasi Ki Sunda.

Sudah saatnya Paguyuban Pasundan bangun dari tidur panjangnya. Sudah saatnya Paguyuban Pasundan tidak terjebak pada pragmatisme politik dan menjadikan lembaga sebagai underbow partai politik dan tokoh tertentu. Paguyuban Pasundan yang dinantikan adalah Paguyuban Pasundan yang memiliki sense of crisis terhadap masyarakat dan peduli memperjuangkan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan dan peduli terhadap pemberdayaan Ki Sunda.***


Keutamaan Puasa di Hari Asyura (10 Muharram)

Keutamaan Puasa di Hari Asyura (10 Muharram)

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

[Di dalam kitab beliau Riyadhus Shalihin, Al-Imam An-Nawawi -rahimahullah- membawakan tiga buah hadits yang berkenaan dengan puasa sunnah pada bulan Muharram, yaitu puasa hari Asyura / Asyuro (10 Muharram) dan Tasu’a (9 Muharram)]

Hadits yang Pertama

عن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم صام يوم عاشوراء وأمر بصيامه. مُتَّفّقٌ عَلَيهِ

Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-, “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya”. (Muttafaqun ‘Alaihi).

Hadits yang Kedua

عن أبي قتادة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم سئل عن صيام يوم عاشوراء فقال: ((يكفر السنة الماضية)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.

Dari Abu Qatadah -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura. Beliau menjawab, “(Puasa tersebut) Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu”. (HR. Muslim)

Hadits yang Ketiga

وعن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُما قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم: ((لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.

Dari Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada (hari) kesembilan” (HR. Muslim)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura, beliau menjawab, ‘Menghapuskan dosa setahun yang lalu’, ini pahalanya lebih sedikit daripada puasa Arafah (yakni menghapuskan dosa setahun sebelum serta sesudahnya –pent). Bersamaan dengan hal tersebut, selayaknya seorang berpuasa ‘Asyura (10 Muharram) disertai dengan (sebelumnya, ed.) Tasu’a (9 Muharram). Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Apabila (usia)ku sampai tahun depan, maka aku akan berpuasa pada yang kesembilan’, maksudnya berpuasa pula pada hari Tasu’a.

Penjelasan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa pada hari sebelum maupun setelah ‘Asyura [1] dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi karena hari ‘Asyura –yaitu 10 Muharram- adalah hari di mana Allah selamatkan Musa dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan para pengikutnya. Dahulu orang-orang Yahudi berpuasa pada hari tersebut sebagai syukur mereka kepada Allah atas nikmat yang agung tersebut. Allah telah memenangkan tentara-tentaranya dan mengalahkan tentara-tentara syaithan, menyelamatkan Musa dan kaumnya serta membinasakan Fir’aun dan para pengikutnya. Ini merupakan nikmat yang besar.

Oleh karena itu, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Madinah, beliau melihat bahwa orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura [2]. Beliau pun bertanya kepada mereka tentang hal tersebut. Maka orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Hari ini adalah hari di mana Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta celakanya Fir’aun serta pengikutnya. Maka dari itu kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.

Kenapa Rasulullah mengucapkan hal tersebut? Karena Nabi dan orang–orang yang bersama beliau adalah orang-orang yang lebih berhak terhadap para nabi yang terdahulu. Allah berfirman,

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِإِبْرَاهِيمَ لَلَّذِينَ اتَّبَعُوهُ وَهَذَا النَّبِيُّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ

“Sesungguhnya orang yang paling berhak dengan Ibrahim adalah orang-orang yang mengikutinya dan nabi ini (Muhammad), serta orang-orang yang beriman, dan Allah-lah pelindung semua orang-orang yang beriman”. (Ali Imran: 68)

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling berhak terhadap Nabi Musa daripada orang-orang Yahudi tersebut, dikarenakan mereka kafir terhadap Nabi Musa, Nabi Isa dan Muhammad. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia untuk berpuasa pula pada hari tersebut. Beliau juga memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘Asyura, dengan berpuasa pada hari kesembilan atau hari kesebelas beriringan dengan puasa pada hari kesepuluh (’Asyura), atau ketiga-tiganya. [3]

Oleh karena itu sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim dan yang selain beliau menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura terbagi menjadi tiga keadaan:

1. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan Tasu’ah (9 Muharram), ini yang paling afdhal.

2. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan tanggal 11 Muharram, ini kurang pahalanya daripada yang pertama. [4]

3. Berpuasa pada hari ‘Asyura saja, sebagian ulama memakruhkannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak menganggapnya makhruh). [5]

Wallahu a’lam bish shawab.

(Sumber: Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin terbitan Darus Salam – Mesir, diterjemahkan Abu Umar Urwah Al-Bankawy, muraja’ah dan catatan kaki: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Rifai)

CATATAN KAKI:

[1] Adapun hadits yang menyebutkan perintah untuk berpuasa setelahnya (11 Asyura’) adalah dha’if (lemah). Hadits tersebut berbunyi:

صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما و بعده يوما . -

“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya. (HR. Ahmad dan Al Baihaqy. Didhaifkan oleh As Syaikh Al-Albany di Dha’iful Jami’ hadits no. 3506)

Dan berkata As Syaikh Al Albany – Rahimahullah- di Silsilah Ad Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Penyebutan sehari setelahnya (hari ke sebelas. pent) adalah mungkar, menyelisihi hadits Ibnu Abbas yang shahih dengan lafadz:

“لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع” .

“Jika aku hidup sampai tahun depan tentu aku akan puasa hari kesembilan”

Lihat juga kitab Zaadul Ma’ad 2/66 cet. Muassasah Ar-Risalah Th. 1423 H. dengan tahqiq Syu’aib Al Arnauth dan Abdul Qadir Al Arna’uth.

لئن بقيت لآمرن بصيام يوم قبله أو يوم بعده . يوم عاشوراء) .-

“Kalau aku masih hidup niscaya aku perintahkan puasa sehari sebelumnya (hari Asyura) atau sehari sesudahnya” ((HR. Al Baihaqy, Berkata Al Albany di As-Silsilah Ad-Dha’ifah Wal Maudhu’ah IX/288 No. Hadits 4297: Ini adalah hadits mungkar dengan lafadz lengkap tersebut.))

[2] Padanya terdapat dalil yang menunjukkan bahwa penetapan waktu pada umat terdahulu pun menggunakan bulan-bulan qamariyyah (Muharram s/d Dzulhijjah, Pent.) bukan dengan bulan-bulan ala Eropa (Jan s/d Des). Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa hari ke sepuluh dari Muharram adalah hari di mana Allah membinasakan Fir’aun dan pengikutnya dan menyelamatkan Musa dan pengikutnya. (Syarhul Mumthi’ VI.)

[3] Untuk puasa di hari kesebelas haditsnya adalah dha’if (lihat no. 1) maka – Wallaahu a’lam – cukup puasa hari ke 9 bersama hari ke 10 (ini yang afdhal) atau ke 10 saja.

Asy-Syaikh Salim Bin Ied Al Hilaly mengatakan bahwa, “Sebagian ahlu ilmu berpendapat bahwa menyelisihi orang Yahudi terjadi dengan puasa sebelumnya atau sesudahnya. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam,

صوموا يوم عاشوراء و خالفوا فيه اليهود صوموا قبله يوما أو بعده يوما .

“Puasalah kalian hari ‘Asyura dan selisihilah orang-orang Yahudi padanya (maka) puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”.

Ini adalah pendapat yang lemah, karena bersandar dengan hadits yang lemah tersebut yang pada sanadnya terdapat Ibnu Abi Laila dan ia adalah jelek hafalannya.” (Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhus Shalihin II/385. cet. IV. Th. 1423 H Dar Ibnu Jauzi)

[4] (lihat no. 3)

[5] Asy-Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,

والراجح أنه لا يكره إفراد عاشوراء.

Dan yang rajih adalah bahwa tidak dimakruhkan berpuasa ‘Asyura saja. (Syarhul Mumthi’ VI)

Wallaahu a’lam.