Minggu, 13 September 2009

MUTIARA-MUTIARA CINTA AL-HIKAM (2)

Allah Mengenalkan DiriNya

Kapan pun Allah memberikan sesuatu padamu, dalam rangka Dia memperlihatkan kebajikanNya padamu, dan kapan pun Dia menghalangi keinginanmu dalam rangka Dia memperlihatkan sifat Maha MemaksaNya. Dua hal di atas, masing-masing dalam rangka mengenalkan padamu sekaligus menghadapkan sifat Maha Lembutnya padamu.Sesuatu yang berbeda dalam perjalanan takdir Allah, naik turun dan bahkan bergolak dalam diri kita, sesungguhnya itu semua merupakan cara Allah mengenalkan ma'rifatNya, dan keduanya adalah rahmat dan kelembutan dariNya. Tidak bisa kita sebutkan dibalik sifat perkasaNya lalu kita merasa terjauhkan dari Maha LembutNya? Bukan begitu. Namun dibalik sifat perkasaNya yang bisa menghalangi kehendak kita pun, sesungguhnya tersembunyi Sifat Rahmat dan LembutNya. Orang yang beriman, baik diberi atau dihalangi apa yang diinginkan, mestinya sama saja nilainya. Orang beriman harus disibukkan memuji kepada Allah, baik dalam kondisi suka maupun duka. Namun hawa nafsu kita serta ketidakfahaman jiwa kita, membuat kita merasa pedih terhadap hal-hal yang kita rasakan gagal. Banyak orang yang memahami bahwa Kelembutan Ilahi serasa hilang ketika Allah memberikan cobaan yang bertubi-tubi. Salah faham yang luar biasa manakala kita memahaminya sedemikian sempit. Karena pada saat yang sama ia merasa su'udzon kepada Allah Ta'ala, dan cintaNya tak berpihak padanya. Padahal sesuatu yang terhalang, gagal, atau pun hal-hal yang tak memenuhi tarjet cita-cita anda, adalah anugerah Allah pula. "Keterhalangan itulah hakikat pemberianNya." Allah Maha Tahu kondisi dan situasi batin kita, apakah Allah harus membentak kita, karena kita banyak lalai dan sering meremehkanNya, ataukah Allah harus memberikan "bisikan halus" yang indah karena jika "dibentak" Allah, si hamba malah celaka? Inilah yang harus difahami dengan benar. Bagaimana Allah mendidik kita dengan PengetahuanNya Yang Paripurna agar kita mengenal DiriNya, dan caranya hanya Allah yang menginteraksikan bentuk, ruang waktu dan metode yang "langsung" dariNya melalui kebahagiaan dan pepahitan.

Ibadah Kok Cari Untung

Siapa pun yang beribadah kepada Allah karena motivasi kepentingan tertentu dengan harapan dariNya, atau beribadah dalam rangka menolak bencana dari Allah, maka sesungguhnya orang tersebut tidak berpijak dengan benar sesuai SifatNya. Kenapa demikian?Karena betapa banyaknya orang beribadah kepada Allah tidak didasari keikhlasan (Lillaahi Ta'ala), tetapi demi yang lain, kepentingan duniawi, naiknya jabatan, dagangannya laku, bahkan demi menolak balak dan bencana atau siksa.
Apakah Allah Ta'ala memerintahkan kita melakukan ibadah dan menjauhi laranganNya karena sebuah sebab dan alasan-alasan tertentu? Bukankah kita beribadah karena kita harus melakukan atau menyambut sifat RububiyahNya melalui sifat Ubudiyah kita?
Bukankah segalanya sudah dijamin Allah, dan segalanya dariNya, bersamaNya, menuju kepadaNya?
Apakah Allah tidak layak disembah, tidak layak menjadi Tuhan, tidak layak diabdi dan diikuti perintah dan laranganNya, manakala Allah tidak menciptakan syurga dan neraka?
Bukankah Rasulullah saw, mengkhabarkan, "Janganlah diantara kalian seperti budak yang buruk, jika tidak diancam ia tak pernah bekerja. Juga jangan seperti pekerja yang buruk, jika tidak diberi upah ia tidak bekerja…." Dalam kitab Zabur Allah berfirman, "Adakah orang yang lebih zalim dibanding orang yang menyembahKu karena syurga atau takut neraka? Apakah jika Aku tidak menciptakan syurga dan neraka, aku tidak pantas untuk ditaati?" Suatu hari Junaid Al-Baghdady dibangunkan oleh pamannya sekaligus gurunya, Sary as-Saqathy. "Ada apa paman?" "Aku melihat seakan-akan aku ada dihadapan Allah dan Dia berkata kepada saya….Wahai Sary, Aku menciptakan makhluk mereka merasa mencintaiKu. Begitu Aku menciptakan dunia, mereka lari semua dariKu dan tinggal sepuluh persen. Lalu Aku menciptakan syurga, sisa makhluk itu pun lari semua (ke syurga), tinggal satu persen saja. Lalu Aku memberikan cobaan kepada mereka ini, mereka pun lari semua dariKu tinggal 0,9 persen. Aku bicara pada makhlukKu yang tersisa itu yang masih bersamaKu.
"Bukan dunia yang kalian kehendaki, juga bukan syurga yang kalian inginkan, juga bukan neraka yang membuat kalian lari, lantas apa yang kalian mau?" "Engkau lebih Tahu apa yang kami mau…" jawab mereka. "Aku hendak memnindihkan bencana cobaan pada kalian sebanyak nafas kalian, yang bisa menghancurkan gunung-gunung, apakah kalian masih bersabar?" TanyaKu pada mereka. Dan mereka pun menjawab, "Manakala Engkau Sendiri Yang memberi cobaan, lakukanlah sekehendakMu…." Mereka itulah hamba-hambaKu yang sebenarnya. Semua ini jadi renungan kita agar dalam setiap niat dan motivasi ibadah kita agar semata hanya menuju Allah, Lillahi Ta'ala, agar kitaterbebas dari penjara kemakhlukan, dan menyatu dalam Musyahadah denganNya. Ikhlas, adalah ruh dari seluruh ibadah kita. Bukan yang lainnya.

Allah Tidak Pernah Menunda BalasanNya

"Maha Besar Allah manakala si hamba melakukan amal ibadah kontan, lalu Allah menunda balasannya" Allah senantiasa membalas amal hamba seketika, sama sekali tidak pernah menunda, walau pun kelak di akhirat masih diberi balasan lebih besar lagi. Adapun balasan seketika yang kita terima adalah bertambahnya dekat kita kepada Allah, bertambah baik hati kita, bertambah terpuji akhlak kita, bertambah sabar, tawakkal, ridlo, ikhlas, yaqin, ma'rifat dan mahabbah kita kepada Allah Ta'ala.' Dunia ini kotor, dan karena itu Allah ingin membalasnya dengan keagungan yang luhur yang kelak bisa kita rasakan ketika di akhirat yang merupakan wilayah yang agung. Balasan yang kita terima di dunia adalah balasan langsungnya berupa pencahayaan iman kita di sini, karena memang itulah yang kita butuhkan di dunia. Kenapa demikian? Menurut Syeikh Zarruq, karena ada tiga alasan utama : Pertama, Allah Maha Murah dan Mulia dan Yang Maha Murah nan Mulia itu manakala memberikan anugerah pasti sempurna, dan memberikan keutamaan pasti sampai. Kedua, seorang hamba sesungguhnya sangat faqir kepada Allah, membutuhkan hajat seketika dan hajat yang akan datang, lalu Allah memberikan yang dibutuhkan hambanya berupa pahala dan kebajikan kelak di akhirat. Ketiga, maksud Allah Ta'ala pada hamba-hambaNya yang ikhlas adalah menunggalkan DiriNya dalam hati hamba, kemudian Allah mempertegas apa yang harus dihadapi si hamba. Dan kalau toh pun balasannya dibalik ketaatan hamba berupa Taufiq, maka itu klebih dari cukup bagi si hamba. Karena itu Ibnu Athaillah as-Sakandary melanjutkan: "Cukuplah bahwa yang disebut balasan bagimu, adalah, bahwa Allah Ridlo padamu sebagai hamba yang taat kepadaNya."Sebab yang layak bagi kita semua tak lebih adalah serba kurang yang melekat pada diri kita, sifat kurang yang lazim dan niscaya. Sedangkan hasrat untuk meraih kesempurnaan diri kita tidak akan pernah bisa diraih kecuali berkat rahmat dan fadhalNya, sebagaimana dalam Al-Qur'an dijelaskan: "Kalau bukan karena fadlanya Allah padamu dan rahmatNya, kalian tidak akan pernah bisa bersih dari dosa." (an-Nuur 21) "Kalau bukan karena fadhal Allah dan rahmatNya, niscaya kalian mengikuti syetan, kecuali hanya sedikit (yang tidak mengikuti)." (an-Nisa, 23) "Tetapi sesungguhnya Allah menganugerahi kamu dengan memberikan hidayah bagi iman, manakala kamu jujur." (Al-Hujurat 17)

Penjelasannya:

  • Taat merupakan kesempurnaan bagimu yang didalamnya ada TaufiqNya dalam rangka menyempurnakan dirimu.
  • Taat merupakan rasa aman bagimu di dunia dan akhirat, dan segala apa yang anda raih bermula dari rasa aman anda.
  • Bahwa anda bisa taat, berarti itu merupakan kemuliaan bagimu di dunia dan di akhirat, berupa keistemewaan, disamping adanya pahala.

Bahkan beliau melanjutkan:
"Cukuplah balasan bagi orang-orang yang beramal ibadah, bahwa Allah membukakan hatinya di dalam ibadahnya, dan segala anugerah yang melimpah pada mereka berupa kemesraan denganNya." Keindahan taat dan kemanisan mesra bersama Allah dalam munajat merupakan anugerah dan sekaligus balasan ngsung atas kepatuhaan kita kepadaNya, bahkan kebeningan jiwa yang memancarkan cahaya di ruang batin kita. Oleh sebab itu sebagian Sufi mengatakan, "Di dunia ini ada syura, siapa yang masuk syurga di dunia ini, ia tidak lagi rindu pada syurga di akhirat bahkan tidak pada sesuatu pun yang diinginkan, dan syurga itu adalah Taat kepada Allagh Azza wa-Jalla." Yang lain menegaskan, "Tak ada yang menyerupai nikmat syurga, kecuali dirasakan kalangan yang bergantrung hatinya kepada Allah di malam hari melalui lezatnya munajat." Dalam Al-Qur'an dijelakan: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh maka Yang Maha Rahman akan menjadikan bagi mereka rasa cinta yang dalam." (Maryam: 96).

Antara Hambatan dan Anugerah

Pemberian dari makhluk itu bisa merupakan penghalang, sedangkan halangan dari Allah itu adalah anugerah. Kenapa demikian? Karena halangan dari Allah justru mendorong seseorang untuk kembali cepat menuju kepadaNya dan terus mengabadikan diri di hadapanNya, disamping memberikan peluang ikhtiar bagi diri anda. Karena mana mungkin Dia menghalangimu, sedangkan Dia tidak pernah pelit, tidak butuh apa-apa, dan selalu Ada? Bahwa Dia menghalangimu semata karena kasih sayang-Nya kepadamu. Karena pemberian dari-Nya itulah pemberian yang sesungguhnya dan terhalangnya keinginanmu itulah kenyataan dari anugerah pemberian-Nya. Pandangan ini hanya bisa dimengerti oleh orang yang memahamiNya. Tidak ada yang memahami kecuali orang yang benar hatinya. Syeikh Muhyiddin Ibnu Araby mengatakan, "Apabila Allah menghalangimu, maka itulah pemberian-Nya. Dan manakala Allah memberi sesuatu padamu, maka itulah halangan-Nya. Maka pilihlah untuk tidak mengambil." Maksudnya jika pemberian itu justru menghalangimu dari Allah maka itu bukan pemberian yang hakiki, karena itu harus dihindari. Sedangkan kata-kata Ibnu Athaillah, bahwa pemberian dari makhluk itu dinilai sebagai penghalang, menurut Syeikh Zarruq karena tiga alasan :

  1. Terjadinya ketergantungan dengan makhluk. Seorang bijak berkata, "Sabar terhadap ketiadaan itu lebih mudah ketimbang orang yang tergantung dengan anugerah orang."
  2. Lebih berpihak kepada makhluk dan merasa senang dengan pemberian makhluk (bukan pemberian Allah). Manakala seseorang mulai bergantung pada makhluk, itulah awal dari bencana penjauhan dirimu dengan Allah Ta'ala. Na'udzubillah.
  3. Lebih banyak bersibuk ria dengan mereka dengan asumsi adanya rasa selamat manakala bergantung dengan mereka. Si bijak berkata, "Harga diri yang bersih itu lebih utama ketimbang kesenangan yang berbuntut dibaliknya."

Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily menegaskan, "Hendaknya lari dari kebaikan sesama itu lebih anda utamakan dibanding lari dari keburukan mereka. Sebab kebaikan mereka itu bisa menimpa hatimu, sementara keburukan mereka hanya menimpa badanmu. Musuh yang bisa mengembalikan dirimu kepada Allah itu lebih baik ketimbang sahabat yang menghalangimu menuju Allah Ta'ala." Sayyidina Ali Karmomallahu Wajhah mengatakan, "Jangan jadikan seorang pemberi nikmat antara dirimu dengan Allah, sebab jika engkau mengukur nikmat selain dari Allah berarti engkau terpuruk."

"Quantum Leap" Melipat Ruang Waktu yang Hakiki Sapu Jagad Dunia Sufi

"Lipatan (ruang waktu) yang hakiki, adalah hendaknya anda menempuh lipatan dunia dari dirimu, sehingga engkau lihat akhirat lebih dekat padamu dibanding dekatnya pada dirimu."

Sebuah statemen ruhani yang luar biasa dari Ibnu Athaillah as-Sakandary, menghentak perjalanan ilmu pengetahuan, amaliyah, maqomat dan haal (kondisi ruhani). Inilah yang saya sebut sebagai "kejutan spiritual" yang hakiki dari seluruh perjalanan dan kehebatan para penempuh Jalan Allah (thoriqoh). Dalam ilustrasi fiktif yang pernah ditayangkan dalam kisah bersambung dari Amerika Serikat, mengenai kehebatan manusia menembus waktu masa depan dan masa lalu dalam film serial Quantum Leap dua dasawarsa silam, menggambarkan kemampuan ilmu pengetahuan manusia - dalam sekejap - bertemu dengan manusia ribuan tahun yang lampau dengan segala peradabannya, sekaligus juga menembus dimensi waktu ribuan tahun di masa depan. Kemudian secara teknikal muncul fiksi-fiksi ilmiyah dalam dunia cinema yang erat hubungannya dengan fisika quantum ini, yang secara teknologis digambarkan dalam film-film Perang Bintang, maupun film popular Matrix. Sebuah peradaban manusia yang imajinal, kreatif dan jenius. Gambaran-gambaran kemasadepanan peradaban, bahkan evolusi pengetahuan yang sangat transparan dipaparkan begitu dramatik oleh para seniman besar dari Barat. Kemudian ditiru dalam sinetron Lorong Waktu di televisi kita.Lalu dunia seperti tersihir begitu saja oleh kemampuan imajinasi tersebut, dan sebegitu ironis, ketika manusia modern melihat ilustrasi-ilustrasi di atas, tanpa terbesit sedikitpun kohesi dan keterlibatan Allah dalam seluruh proses saintis tersebut.Semuanya baru menggambarkan eksplorasi kekuatan alam fikiran manusia, tetapi belum menyentuh eksplorasi kekuatan qalbu, apalagi ruh dan rahasia-rahasia Ilahi dalam ruh (asrar) manusia. Tetapi, sesungguhnya - tanpa harus berapologia - dimensi-dimensi teknikal dan sains modern dimata kaum Sufi dinilai sebagai sesuatu yang sudah kuno. Bedanya, kaum Sufi telah melampaui bahkan atas kemampuan-kemampuan "ajaib" dari para saintis modern, tanpa harus menjelaskan secara iptek.Para Sufi generasi kuno telah sampai pada batas fiksi kaum modern. Jika kaum modern baru tahap imajiner fiksional, maka kaum Sufi dahulu kala telah sampai pada realitas yang dialami dengan sesungguhnya.

Carilah Kemuliaan yang tak Sirna

"Apabila dirimu ingin meraih kemuliaan yang tak pernah sirna, maka janganlah berusaha mendapatkan kemuliaan melalui kemuliaan yang sirna."

Syeikh Zarruq menegaskan, setiap kemuliaan di dunia ini sesungguhnya fana dan sirna. Sebaliknya sebagaimana dikatakan Ibnu Athaillah dalam kitabnya At-Tanwir, "Jika anda meraih kemuliaan bersama Allah maka abadilah kemuliaanmu. Tetapi jika anda meraih tanpa Allah, tiada abadi atas kemuliaanmu." Imam Al-Ghazali dalam statemennya menyebutkan bahwa Allah swt mengecam dunia ini 115 kali lebih dalam Al-Qur'an. Perburuan duniawi begitu kuat di alam modern dewasa ini, dan hampir seluruh aktivitas peradaban dunia diarahkan pada perburuan meraih puncak global: kekuasaan duniawi, kemuliaan duniawi, prestasi duniawi, yang secara keseluruhan akan sirna. Karena itu pasti yang serba duniawi tidak abadi, kemuliaannya pun sirna. Lalu alibi apalagi yang harus kita ajukan bagi sebuah kemuliaan yang tak abadi? Peristiwa-peristiwa bencana alam, peristiwa perang, peristiwa persaingan global, bahkan pada tingkat lokal, semacam Pilkada, Pilkades, Pemilu, pun sangat tidak tampak unsur-unsur Ukhrowinya, kecuali hanya memanfaatkan jargon-jargon akhirat untuk melegitimasi kepentingan duniawi. Cobalah anda tengok diri anda dari lompatan waktu di akhirat. Lihat diri anda sedang menelusuri jalan-jalan dunia, lorong-lorong pengap yang menyesakkan dada anda. Lihatlah diri anda sedang mengais sampah, mengendus-endus tumpukan sampah tidak ubahnya seperti anjing yang meraih sisa-sisa. Dimana hatimu ketika itu? Dimana jiwa bersama Tuhanmu ketika itu? Dimana jatidirimu saat-saat seperti itu? Apa yang memperdayaimu hingga dirimu durhaka pada Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Semestinya jiwamu, hatimu, ruhmu berada di singgasana kemuliaan bersama Allah, di Istana Allah, di lembah-lembah Malakut dan mengarungi Lautan Jabarut. Semestinya hatimu berada dalam Majlis bersama Rasul saw, para sahabat, para Sufi agung, para Ulama saleh, dalam limpahan Cahaya dan pencerahan. Semestinya pula dunia ini hanyalah wilayah dimana kita menjalankan perintah-perintahNya, menjauhi laranganNya, memancarkan peradabanNya, mengekspresikan kekhalifahanNya, dalam Khoiro Ummah (sebaik-baik ummat) di muka bumi. Dunia adalah limbah paling gelap dan paling kotor dari kemahklukan ini, dan di sinilah justru kita diuji, disempurnakan, dikokohkan agar bisa dan siap menghadap kepadaNya, dengan hati dan jiwa.

Lihatlah Alam dengan Mata Batin

Alam semesta ini tampak mempesona secara lahiriyahnya, sedangkan batin (dibaliknya) adalah pelajaran mulia. Nafsu hanya memandang pesona lahiriyahnya sedangkan hati memandang pada batin pelajaran mulia yang tersembunyi

Syeikh Zarruq dalam syarah Hikam mengatakan, siapa yang memandang lahiriyahnya akan terpenjarakan, dan siapa yang memandang batinnya semesta akan mendapatkan petunjuk. Jika orang tenggelam pada alam semesta ia akan terlempar dariNya, dan jika merasa tenteram dengan dunia itu ia akan menentangNya. Apabila ia berpaling hati dari alam semesta maka ia akan dibukakan petunjuk di dalamnya. Orang yang cerdas akan lebih senang jika menghindari dunia dibanding menerima dunia, dan sangat hati-hati menerima dunia dibanding menghindarinya. Mereka, para Ulama Salaf - semoga Allah meridloi mereka -- manakala dunia menghadap mereka, mereka mengatakan, "Duh, semua dosa telah dicepatkan siksanya." Sebaliknya jika kefakiran menghadap mereka, maka mereka katakana, "Selamat datang syi'ar kaum sholihin…" Begitu pula Rasulullah SAW. yang telah maksum dari segala kesalahan dan kealpaan ketika dihadapkan pada tawaran kunci seluruh kekayaan di bumi, malah beliau menolaknya. Melainkan beliau memilih lapar sehari, makan sehari. Ketika putri tercintanya, Fathimah ra, memohon agar diberi seorang pembantu untuk menggiling gandum, karena sangat menderita dengan pekerjaan itu, malah beliau menunjukkan agar mengingat kepada Tuhannya ketika menjelang tidurnya, sembari bersabda beliau: "Maukah kamu saya beri petunjuk yang lebih baik dibanding seorang pembantu bagimu? Yaitu ketika kalian berdua ingin masuk ke tempat tidur, bertasbihlah tiga puluh tiga kali, bertakbirlah tiga puluh tiga kali, dan bertahmidlah tiga puluh empat kali, dan itu lebih baik dibanding seorang pembantu…." Semua itu demi upaya agar berlari dari hingar bingar duniawi, dan kembali kepada apa yang tersembunyi dibalik dunia ini. Bukankah dunia ini tak lebih dari kefanaan, kehancuran, tempat yang serba kurang dan tempat berjalan belaka? Namun seorang hamba diuji dirinya dengan kehidupan menempuh dunia ini, sekadar untuk memenuhi bekal kebutuhannya saja. Selebihnya, dunia hanyalah mimpi buruk belaka. Oleh sebab itu jika seseorang menuruti nafsunya, dunia pasti tampak mempesona. Sementara kalau menuruti hatinya, dunia hanyalah pelajaran berharga, karena yang tampak dihati adalah yang tersembunyi di balik semesta. Sebagian Sufi mengatakan, "Aku tinggalkan dunia ini karena begitu cepat sirnanya dunia, sedikit sekali kekayaannya, banyak sekali penderitaannya dan sangat hina sekali kawan-kawannya." Sebagian Ulama mengatakan, "Setiap aku memandang bentangan dunia berupa riasan indah, melainkan selalu dibukakan apa yang tersembunyi di dalamnya, berupa kesirnaan di dalamnya." Syeikh Abu Tholib al-Makky menegaskan, "Ini semua merupakan pertolongan Allah Ta'ala kepada orang yang dilimpahiNya dari para wali-waliNya yang sangat dekat kepadaNya. Siapa yang menyaksikan dunia pada awal sifatnya tidak akan meraih pelajaran di akhirnya. Siapa yang mengenal dunia dengan batin hakikatnya tidak akan terpengaruh oleh sifat lahiriyahnya. Siapa yang dibukanan dampak dunia tidak akan dipermainkan oleh hingar bingarnya. Nabi Isa as, bersabda, "Celaka wahai Ulama buruk, kalian seperti binatang set, fisiknya menjijikkan dan dalamnya berupa nanah." Allah memerintahkan kepada NabiNya SAW agar tidak memandang dunia: "Janganlah kamu menjulurkan pandangan matamu pada apa yang kami hiaskan pada dunia berupa pasangan-pasangan dari hangar binger dunia dimana Kami akan menguji mereka di dalamnya." (Thaha 131). Ayat tersebut menunjukkan bahwa dunia adalah ujian (fitnah), dan memandangnya sangat tercela, walau pun kategorinya tidak haram.

Nafsu, Keleluasaan & Himpitan

"Nafsu cenderung meraih keleluasaan (al-Basth), sebagai bagiannya dengan munculnya rasa senang, sedangkan nafsu tidak memiliki bagian dalam keterhimpitan (al-Qabdl)."
Itulah kelanjutan dari pilihan kaum 'arifun yang lebih senang pada nuansa keterhimpitan, disebabkan sirnanya bagian-bagian konsumsi nafsu di sana. Dalam kitab Lathaiful Minan dikatakan, "Keleluasaan sering mentergelincirkan kaki para tokoh Sufi, dan karenanya mereka sangat hati-hati, sedangkan pada keterhimpitan itu lebih dekat dengan keselamatan, karena ia berada dalam Genggaman lahi, dan Allah Maha Meliputi di dalamnya. Basth atau keleluasaan adalah kenyataan yang keluar dari sang waktu Sufi, sementara Al-Qabdl merupakan kenyataan yang layak di negeri dunia ini. Negeri dunia adalah tempatnya menjalankan tugas, memikul beban, dalam ketidakpastiannya, dan negeri dimana para Sufi berjuang untuk berselaras dengan kewajiban Ilahi."
Para Sufi menjelaskan, "Keterhimpitan adalah bagi arwah, sedang al-Basth adalah keleluasaan arwah. Qobdl adalah Hak Allah diperuntukkan darimu, sedangkan al-Basth adalah hakmu dariNya. Hak Allah tentu harus lebih diutamakan dibanding hakmu dariNya. Instrumen-instrumen Qobdl dan Basth ini kembali pada soal pemberian dan halangan akan harapan pemberian itu sendiri, sehingga Ibnu Athaillah melanjutkan:
"Terkadang Allah memberikan anugerah kepadamu, padahal Dia sedang menghalangimu. Terkadang Allah menghalangi harapanmu, padahal sesungguhnya Allah memberikan anugerah padamu".
Kadang Allah memberikan anugerah berbeda dengan cover dan bungkusnya. Kelihatannya jelek covernya, tapi dalamnya ada mutiara, begitu juga kadang bungkusnya indah dan mulia, tapi dalamnya kehinaan. Kita tidak boleh terjebak oleh itu semua. Jika bungkusnya jelek, jangan susah dan gelisah, begitu juga jika bungkusnya bagus jangan tiba-tiba bergembira. Semua harus dipandang bahwa baik pemberian maupun halangan, sama-sama dari Allah Ta'ala. Jangan keduanya membuat kita terbelenggu lalu lupa pada Allah Ta'ala. Menurut seorang Sufi, "Apa pun yang menyibukkan dirimu dari Allah Ta'ala, berupa pekerjaan duniawi harta, keluarga, anak-anak, maka hal itu mengundang kecaman dari Allah Ta'ala." Karena itu Ibnu Athaillah melanjutkan: "Kalau anda dibukakan pintu kefahaman jiwa, maka keterhalangan cita-cita anda hakikatnya adalah pemberian." Karena halangan itu pun hakikatnya juga pemberian dan anugerah dari Allah, dan sekaligus menjadi nikimat manakala keterhalangan itu justru menyambungkan hatimu dengan Allah, dan memutuskan hatimu dari makhluk Allah. Disiniliah kuncinya Ridlo, sebagaimana dikatakan Syeikh Abdul Wahid bin Zaid, "Ridlo itu pintu Allah teragung dan tempat istirahatnya para ahli ibadah serta syurga dunia."

Responsi Kaum ‘Arifun terhadap Qabdl & Basth

Orang-orang yang ma'rifat kepada Allah manakala mereka diberi keleluasaan jiwa (albasth) itu dinilai lebih menakutkan, dibanding ketika mereka diberi kesempitan jiwa (al-Qabdl), dan sedikit sekali orang yang bisa menepati aturan adab (bersama Allah) ketika diberi keleluasaan. Syeikh Zaruq mengatakan, hakikat ma'rifat itu menuntut si Arif (orang yang ma'rifat) untuk konsentrasi pandangannya kepada Tuhannya, mengambil pelajaran dari Sifat-sifatNya atas apa yang dilimpahkan kepada si Arif. Manakala si Arif dihadapkan pada perspektif keIndahanNya, ia segera mengingat keBesaranNya. Dan bila dihadapkan pada kebesaranNya, ia segera mengingat keIndahanNya. Karena ia senantiasa tidak pernah putus asa dari Allah, apa pun yang terjadi. Juga tidak merasa aman, kecuali hanya dari Allah. Sebab fenomena yang tampak, tidak mengharuskan sebagai kesamaan batin dari sifat-sifatnya. Karena itu tidak ada yang aman dari ujian Allah kecuali orang-orang yang tersesat (karena meremehkan cobaan Allah). Sehingga Abul Abas al-Mursy menegaskan, "Umumnya orang ketika diberi ketakutan, mereka akan sangat takut, ketika diberi harapan, mereka sangat berharap. Sedangkan orang arif ketika diberi ancaman ketakutan malah mereka mengharapkan, dan ketika diberi harapan malah ketakutan." Hal demikian bisa dilihat dari peristiwa Badar dan hadits ketika Nabi di gua Tsur, ketika Abu Bakr ash-Shiddiq mengatakan, "Wahai Rasulullah, jika mereka melihat pada jejak-jejak, mereka pasti mereka melihat kita," Lalu Nabi saw, menjawab, "Jangan gelisah sesungguhnya Allah bersama kita…" Pada perang Badar Nabi SAW penah mengadu kepada Allah, "Oh Tuhan, bila sisa-sisa pasukan ini hancur, Engkau tidak bakal disembah lagi." Lalu Abu Bakr berkata, "Tinggalkan keluhmu pada Tuhanmu. Karena Allah telah menjanjikan pertolongan kepada kita." Dalam peristiwa ini Abu Bakr Ash-Shiddiq ra, berada dalam maqom "berpegang teguh pada janji Allah." Sedangkan Rasulullah saw, berada di posisi memandang, dimana pandangan itu tidak bisa meliputi Ilmu Allah yang Luas. Pandangan ini lebih sempurna, karena setiap yang sempurna dinilai dari kadar orang yang menampakkan kesempurnaan itu di dalamnya. Renungkan, dan Allahlah Yang Maha Menolong. Diantara sesuatu yang mengkhawatirkan keleluasaan Ilahi, adalah munculnya kesalahan atau terpleset, disamping seseorang tidak berpegang teguh pada adab. Karena itu disebutkan, "Tidak ada yang bisa konsisten di dalam keleluasaan Ilahi kecuali hanya sedikit orang." Maksudnya ketika kita diberi keleluasaan oleh Allah, maka mengalirlah rasa hangat dalam tubuh, yang tidak jarang mengundang kepentingan hawa nafsu di sana, yang tentu saja relevan dengan su'ul adab dalam gerak dan praktek ruhani. Semua itu akan lebih sulit kecuali orang yang benar-benar mengendalikan nafsunya, mewujudkan kehormatan di hadapan Allah Ta'ala. Suatu ketika ada lelaki yang dating bertanya kepada Abu Muhammad al-Jurairy , -- rahimahullah - "Suatu ketika saya berada di alam keleluasaan mesra Ilahi (al-basth) dan Allah memang membuka pintu keleluasaan. Lalu saya terpleset sekali, kemudian aku terhijab dari maqomku. Bagaimana jalan kembali ke posisi semula? Tunjukkan diriku hingga sampai ke posisi semula?" Lantas Abu Muhammad menangis, lalu berkata, "Saudaraku semua itu ada dalam ketergenggaman sejenak, namun aku dendangkan sebuah syair kepada mereka, :

Tinggal di rumah-rumah
Inilah bekas-bekas peninggalan mereka
Kau tangisi orang yang kau cinta
Dengan duka dan kerinduan
Berapa telah aku kupijaki seperempatnya dengan hati-hati
Atau bertanya pada ahlinya atau menghiba
Lalu ajakan nafsu memanggilnya
Kau pisah orang yang kau kasihi, maka betapa
Mulyanya orang yang bertemu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar